Ia bermimpi laki-laki itu lagi. Seperti yang sudah-sudah, mereka berhadapan, dan Rani bisa melihat garis wajahnya dengan jelas. sangat jelas. Seperti dalam mimpi-mimpi sebelumnya, sosok dengan rahang keras itu terlihat sedih dan berduka.
Mereka cuma bersitatap, tanpa kata-kata. Tapi itu lebih dari cukup, untuk membuat Rani bangun keesokan harinya, dengan perasaan bersalah yang pekat.
Ia tak pernah memimpikan lelaki manapun sebelumnya. Baik dalam masa-masa kuliah hingga menikah. Hidup perempuan beranak satu itu mengalir mulus. Lulus kuliah, menikah, dan tanpa menunggu terlalu lama, memperoleh momongan.
Namun empat tahun terakhir ini, Rani dikejar mimpi-mimpi yang aneh. Mimpi yang sama dan berulang, pada sosok yang itu juga, dengan ekspresi yang tak pernah berubah. Lelaki dengan wajah murung, menatapnya tanpa bicara.
Laki-laki itu, ia mengenalnya. Dulu sekali.
*****
Ia mengenal sosok Cepy, ketika mereka masih anak-anak. Rani masih kelas empat sekolah dasar, sementara Cepy dua tahun lebih tua. Keduanya bertemu pertama kali dalam acara Jambore Nasional Pramuka.
Ketika itu seluruh peserta Jambore sedang sibuk memburu sebanyak-banyaknya data dan tanda tangan dari sesama peserta, ketika sebuah celetuk keras ditujukan padanya, “Rani… Rani…”
Lalu gelak tawa lima anak lelaki berseragam penggalang terdengar. Rani menoleh, tapi cepat melengoskan wajah. Ia tak yakin mengenal gerombolan yang barusan menyebut namanya. Lagipula mungkin saja kan panggilan itu diarahkan ke Rani-Rani yang lain? Lebih dari seribu pramuka berkumpul di sini. Lumrah.
Rani tak mau terpengaruh. Panggilan itu kemungkinan besar memang bukan untuknya, jadi gadis berambut panjang yang dikepang dua itu masih menunggu dengan sabar kertas di tangannya ditandatangani beberapa anak dalam balutan seragam coklat, sambil tangannya bergerak cepat menandatangani kertas-kertas yang disodorkan kepadanya,
“Rani!” Suara itu kini terdengar lebih dekat. Mau tak mau gadis berkulit hitam manis itu menoleh. Seorang anak lelaki bertubuh kurus, dengan rambut lurus dibelah pinggir tersenyum menatapnya. Matanya bersinar menyenangkan. Mengingatkan Rani pada kerlip bintang-bintang di langit. Cerah.
Tahu-tahu Rani sudah membalas senyum anak lelaki yang berdiri di sampingnya, bahkan tanpa bertanya lagi meraih pulpen pilot yang disodorkan, lalu menuliskan nama, tanggal lahir, alamat dan terakhir tandatangan di atas kertas kerja si mata bintang. Anak lelaki itu tersenyum. Hidungnya mancung, kulitnya kuning langsat.
“Ganteng!” bisik Susan, teman satu kelompok. Sementara sorak sorai di belakang, menyambut si mata bintang. Lalu celutukan keras yang membuat Rani mengernyitkan dahi. “Gila, si Ceppy dapat lima dari Rani!”
Lima? Lima tandatangannya? Kok bisa?
“Dari tadi kan kita udah ketemu sama dia, Ran berkali-kali. Kamu aja nggak sadar!” Penjelasan Susan melahirkan rona merah jambu di pipi Rani, yang untungnya sedikit tersembunyi karena suasana langit yang menggelap.
Pertemuan hari itu terulang berkali-kali selama Jambore. Setiap mereka berpapasan, ketika mengambil air, mengikuti halang rintang, bahkan menjelang upacara Bendera.
Dari jauh Rani memperhatikan anak lelaki kurus jangkung itu terampil melakukan tugas-tugas yang diberikan kakak pramuka. Tali temali, tandu, smaphore, bermain dengan morse, pun ketika mengibarkan bendera. Cekatan!
“Dia ketua regu, Ran!” Lapor Susan sebelum acara Jambore Nasional ditutup.
Ketika meninggalkan bumi perkemahan Cibubur, Rani melepaskan pandang terakhir kali ke belakang, berharap bisa melihat bayangan si mata bintang sebelum truk mereka bergerak. Sia-sia. Saat itu Rani mengira tak akan bertemu lagi dengan Cepy dan gerombolan yang dipimpinnya.
0 komentar:
Post a Comment