Loading

Sayap Bidadari - Bios


Cinta buta dan cinta sejati

Tut! Nat! Net! Not! Nat! Net! Not! Di hari minggu yang cerah, di sebuah telepon umum,
seorang gadis tampak asyik berbincang-bincang. Rupanya Angel sedang menelepon Raka guna mengabarkan perihal naskah yang sudah dibacanya. Tak lama kemudian, “Nah, begitulah Kak. Tanpa terasa, akhirnya cerita itu selesai juga kubaca ," kata Angel mengabarkan. 
"Gila... Cepat juga kau membacanya," komentar Raka kagum.
"Iya dong. Memangnya Kakak, biarpun sudah bulukan dan dimakan rayap tak akan pernah membacanya."
"Eit, jangan salah! Itu hanya berlaku untuk karangan penulis lain, tapi kalau untuk karangan Bobby tentu ada pengecualian. Dia itu kan sahabat baikku, dan aku merasa berkewajiban untuk bisa menyelesaikannya walaupun dengan waktu yang agak lama."
"Benarkah?" "Tentu saja. Ketahuilah! Selama ini Bobby sudah begitu sering membantuku, bahkan dia rela untuk mengalahkan kepentingannya sendiri. Sungguh dia itu sahabat yang baik, dan tidak sepantasnya aku membalasnya dengan menyakiti perasaannya. Karenanyalah, biarpun aku tidak hobi membaca, tapi aku tetap berusaha untuk menyelesaikannya. Ya, seperti yang aku bilang tadi, walaupun dengan waktu yang agak lama. Tapi untunglah, Bobby bisa memahamiku sehingga dia pun tidak merasa kecewa karenanya."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, aku baca lanjutannya dong! Sebab, kata Kak Bobby ada lanjutannya."
"Lanjutan apa?" "Lanjutan dari cerita yang kubaca ini. Kalau tidak salah, judulnya Demi Buah Hatiku" "Lha... Naskah itu sih tidak ada padaku."
"Lantas, naskah yang ada pada Kakak itu apa?" "Yang ada padaku itu, Menuai Masa Lalu." "Ya... Bagaimana dong?" "Telepon dia saja!" "Aduh, Kak. Aku kan baru kenal. Masa sih langsung menelepon dia." "Mmm... Bagaimana ya?" Raka tampak berpikir
keras. "Aduh, telmi amat sih nih kepala. Masa masalah begitu saja tidak bisa mikir," kata Raka seraya melangkah berputar-putar sambil terus menggenggam telepon selularnya. "Eng… Nanti saja deh, An. Biar aku pikirkan dulu," kata Raka menyerah.
"Iya, deh. Nanti kalau sudah kabari aku ya!" Setelah berkata begitu, Angel pun langsung
memutus sambungan dan melangkah pergi meninggalkan telepon umum yang hanya berjarak lima meter dari rumahnya. Kini gadis itu sudah merebahkan diri di tempat tidur. Kali kini dia tidak memikirkan soal perasaannya kepada Bobby, melainkan lebih kepada lanjutan cerita dari naskah yang sudah dibacanya. "Hmm... Lanjutannya seperti apa ya? Kata Kak Bobby waktu itu sih soal anak-anak dari tokoh utama yang sudah remaja dan menginjak dewasa. Pasti ceritanya akan lebih seru dari cerita yang baru kubaca itu, dan isinya pun tentu mengenai cinta anak remaja yang masih seumuran denganku." 

Angel terus memikirkan itu, hingga akhirnya dia pun kebelet pipis. Sementara itu di tempat berbeda, Bobby tampak sedang memikirkan gadis yang mau dijodohkan dengannya. Siapa lagi kalau bukan Wanda. "Hmm... Kata ibuku, dia itu gadis yang patuh kepada orang tua. Dan katanya lagi, dia itu tidak mungkin menolak jika orang tuanya memang setuju. Aku heran, pada zaman modern ini masih ada saja gadis yang seperti itu. Dan aku sendiri, mau saja dijodoh-jodohkan. Hmm... Apakah itu karena aku sudah putus harapan karena tak mampu mencari sendiri? Dan itu karena aku yang senantiasa berkata jujur, bahwa aku akan langsung menikahi gadis yang kucintai. Dan akibatnya, kebanyakan wanita justru merasa takut karena belum siap, atau merasa takut kalau segala yang kukatakan adalah sebuah kebohongan. Apalagi jika mereka tahu kalau aku adalah salah seorang yang mengerti dan setuju dengan poligami, maka akan semakin menjauh saja mereka. Padahal mengerti dan setuju itu kan belum tentu akan menjadi pelakunya. Justru karena kemengertianku soal poligamilah yang membuatku justru merasa takut untuk berpoligami. Sebab, bagi orang yang mengerti kalau berpoligami itu tidak mudah, tentu dia akan lebih mencari selamat, yaitu dengan hanya beristri satu. 

Hmm... Bagaimana dengan Angel? Apakah dia juga akan seperti itu? Ya... Aku rasa dia pun seperti itu. Kalau begitu, memang tidak ada salahnya jika aku dijodohkan oleh orang tuaku. Aku sadar, kini aku sudah semakin bertambah usia, dan orang tuaku tentu sangat mengkhawatirkan aku yang hingga kini belum juga menikah. Padahal, hampir semua teman sebayaku sudah membina mahligai rumah tangga, malah dari mereka ada yang sudah dikarunia tiga orang anak. Mungkin juga orang tuaku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu—anak dari buah hatinya tercinta. Tapi... Bisakah aku bahagia bersama gadis pilihan orang tuaku itu tanpa dasar cinta sama sekali. Terus terang, aku takut membina hubungan tanpa didasari cinta. Beruntung jika kelak aku mencintainya, kalau tidak... Bukankah itu akan menimbulkan masalah."

Bobby terus memikirkan perihal perjodohan itu, hingga akhirnya dia merasa pusing sendiri. Begitulah Bobby yang senang sekali mendramatisasi keadaan sehingga membuat kepalanya semakin mau pecah. Maklumlah, dia itu kan seorang penulis yang biasa mendramatisir peristiwa yang biasa saja menjadi peristiwa yang luar biasa. Dan memang hal seperti itulah yang dituntut bagi seorang penulis agar bisa menghasilkan karya sastra yang bagus dan bisa dinikmati oleh pembacanya.

Dua hari kemudian, Bobby menelepon Raka lantaran dia sudah sangat merindukan sang Pujaan Hati. Maklumlah, selama dua hari ini dia selalu memimpikan Angel dan membuatnya merasa perlu untuk terus mencintainya.

"Eh, nanti malam dia mau main ke rumahku,” jelas Raka mengabari. “Eng… Katanya, dia juga mau ke rumahmu untuk mengembalikan naskah kemarin dan mau membaca cerita lanjutannya.”
"Benarkah?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
“Benar, Bob. Tapi sayangnya, saat ini motorku lagi ada masalah, dan karenanyalah aku tidak mungkin mengantarnya sampai ke rumahmu."
Mengetahui itu, Bobby pun segera merespon, “Eng... Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana.”
“Baiklah, Bob. Kalau begitu, kami akan menunggumu di warung tempat biasa. ”
“Iya, Ka. Sampai nanti malam ya. Bye..." pamit Bobby dengan perasaan senang bukan kepalang. Maklumlah, nanti malam rindunya tentu akan segera terobati.

Kini pemuda itu tampak duduk di ruang tamu sambil memikirkan perihal pertemuannya malam nanti. Ketika sedang asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba ibunya datang menemui. "Bob, Ibu mau bicara," kata sang Ibu seraya duduk di sebelahnya.
"Soal apa, Bu?" tanya Bobby seraya berusaha menerka dalam hati.
"Begini, Bob. Tadi, ibu baru pulang dari rumah Wanda, dan Ibu kembali berbincang-bincang perihal niat lamaran itu. Sungguh ibu tidak menduga, kalau kedatangan ibu telah disambut dengan begitu berlebihan. Sampai-sampai mereka membuat kue spesial segala hanya demi menyambut kedatangan ibu. Sungguh saat itu Ibu merasa tidak enak, belum apa-apa mereka sudah menyambut seperti itu. Bagaimana jika nanti ibu datang melamar, pasti mereka akan menyambutnya dengan begitu meriah. O ya, Bob. Kata ibunya Wanda, sebelum Ayah dan Ibu datang melamar sebaiknya kau dan Wanda dipertemukan dulu. Sebab katanya, pernikahan itu bukanlah perkara main-main. Setelah menikah, kalian tentu akan hidup bersama untuk selamanya—saling setia dalam mengarungi bahtera rumah tangga hingga ajal memisahkan. Karenanyalah, agar tidak menyesal nantinya, kalian harus saling mengenal lebih dulu. Karena itulah, mereka sangat mengharapkan kedatanganmu. Ketahuilah, Bob! Malam Kamis besok mereka mengundangmu untuk datang menemui Wanda," jelas sang Ibu panjang lebar. 

"Tapi, Bu..." "Sudahlah… Tidak ada tapi-tapian! Soalnya tadi
Ibu sudah berjanji, kalau kau akan datang Malam Kamis besok. Malah Ibu sudah memberitahu, kalau kau itu anak yang berbakti pada orang tua dan tidak mungkin mau menolak keinginan kami yang menghendaki Wanda menjadi istrimu," potong sang Ibu tak mau mendengar alasan Bobby.
"Jadi, itu artinya Bobby memang harus menemuinya?"
"Tentu saja, memangnya kini kau sudah tidak mau berbakti kepada orang tuamu lagi. Lagi pula, apa lagi  yang masih kau pikirkan, Bob? Wanda itu jelas gadis yang manis, baik, dan juga patuh kepada orang tua."
"Bu... Se-sebenarnya. Bo-Bobby..." pemuda itu tampak menggantung kalimatnya, "Eng... Bobby malu datang ke sana, Bu," lanjut pemuda itu tak mau mengungkap hal yang sebenarnya, kalau dia itu sudah mempunyai gadis pilihannya sendiri, dialah Angel—gadis yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.
"Kau tidak perlu malu, Bob! Atau... Kalau perlu Ibu akan menyuruh Randy untuk menemanimu." 

Saat itu Bobby tak mempunyai pilihan lain yang terbaik, tampaknya dia memang harus datang ke rumah Wanda demi baktinya kepada orang tua. "Duhai Allah... Kenapa harus seperti ini? Padahal kini aku sudah begitu mencintai Angel, seorang gadis yang menurutku baik dan bisa mengerti aku. Entahlah... Ini cinta buta atau bukan, yang jelas aku sudah mempertimbangkannya dengan matang dan sudah menerima apa pun kekurangannya. Jika demikian adanya, benarkah itu cinta buta, bukannya cinta sejati yang tumbuh karena bertemu sang Belahan Jiwa?" ratap pemuda itu membatin.


Ikuti cerita selanjutnya.....!!!


( Password : Novel I-One )



Merah Muda & Biru - Bios


Pada suatu hari, disaat Bobby sedang berjalan seorang diri, tiba-tiba DUG CRAAAKKK!!! terdengar suara mobil yang bertabrakan. Sebuah bis kota menabrak bumper belakang sedan mewah yang berada di depannya. Pada saat yang sama, beberapa pasang mata langsung melihat ke asal suara, termasuk seorang petugas polantas yang saat itu sedang tidak begitu sibuk. Lalu, dengan segera dia menghampiri kedua pengemudi yang sudah beradu mulut membela kebenarannya masing-masing. “Tenang… tenang !” kata petugas polantas itu melerai mereka, suaranya pun terdengar begitu berwibawa, kemudian petugas itu menyuruh mereka untuk merapatkan kendaraan masing-masing di sisi jalan.
 Tak lama kemudian, kedua pengemudi tadi sudah kembali adu mulut. “Andalah yang salah! Anda sudah menabrak mobil saya hingga rusak begini…!” tuduh pengemudi sedan mewah kepada pengemudi Bis kota.

Tampaknya sopir bis kota tidak menerima tuduhan itu, dia justru menuduh pengemudi sedan mewahlah yang telah bersalah. Namun pengemudi sedan mewah itu terus saja ngotot, “Pokoknya, anda tetap salah! Bukankah tadi Pak Polisi sudah memberi tanda untuk berhenti,” jelas pengemudi sedan mewah menangkis serangan mulut pengemudi bis kota.

Pak Polantas kembali melerai mereka, kemudian dengan berwibawa dia kembali berkata-kata. “Daripada bapak-bapak saya bawa ke kantor, lebih baik bapak-bapak tidak saling menyalahkan! Cobalah berperilaku sopan di tempat umum! Ini jalan raya, masa mau ribut di sini. Kalau kalian ribut kapan selesainya, iya kan ?” jelas petugas itu tegas.

Kemudian Pak Polantas segera menangani perkara itu dengan menganalisa kronologi kejadian. Dan tak lama kemudian, dia sudah mengetahui duduk perkaranya. “Begini, bapak-bapak...” Pak Polantas segera memberikan penjelasan panjang lebar kepada keduanya. Setelah memberikan penjelasan itu, akhirnya putusan pun diambil. Pengemudi bis kota dinyatakan bersalah karena sudah melakukan kecerobohan, yaitu telah lengah tidak menginjak pedal rem tepat pada waktunya. Saat itu sopir bis kota tampak kecewa dan terpaksa menerima putusan itu, sedangkan pengemudi sedan mewah tampak  senangdia tersenyum akan kemenangannya. “Nah, sekarang sebaiknya Bapak selesaikan masalah ini dengan cara damai,” kata Pak Polantas sambil menepuk pundak pengemudi bis kota, “Eng… Bapak berikan saja alamat perusahaan Bapak kepada Bapak ini, agar nantinya bisa dihubungi! O ya, sekarang sebaiknya kalian saling bersalaman!” anjur Pak Polantas kemudian. 

Pengemudi sedan dan pengemudi bis kota saling berpandangan, kemudian dengan berat hati pengemudi bis kota mengulurkan tangannya. “Saya minta maaf, saya akan ganti kerusakan mobil Bapak itu,” kata pengemudi bis kota dengan wajah lesu.

“Lain kali hati-hati ya!” kata pengemudi sedan mewah merasa benar sendiri.
Lantas dengan terpaksa, pengemudi bis kota itu tampak menuruti anjuran Pak Polantas, dia segera memberikan alamat perusahaannya kepada pengemudi sedan mewah. Di benaknya timbul segala perasaan khawatir, khawatir jika bosnya tidak mau mengerti dengan kejadian yang telah menimpanya. “Aduh, bos pasti akan besar dan akan memecatku. Soalnya yang kutabrak itu mobil mewah. Kalau dilihat dari kerusakannya, pasti akan memakan biaya perbaikan yang tidak sedikit,” keluh pengemudi bis kota membatin. 

Bobby yang menonton kejadian itu cuma geleng-geleng kepala, dan dia betul-betul kasihan melihat pengemudi bis kota yang terpaksa harus mengganti kerusakan. Padahal, ketika mengikuti penjelasan kronologi dari kejadian tadi, dia berpendapat kalau kecelakaan itu bukanlah semata-mata kesalahan si Pengemudi bis kota, namun karena kesalahan dari beberapa pihak yang menurutnya perlu juga dimintai pertanggungjawaban. Pada saat yang sama, dia sempat bertanya-tanya perihal pengemudi sedan mewah yang sepertinya dikenal. 

“Bobby!” seru pengemudi sedan mewah seraya menghampirinya.
Saat itu Bobby mencoba tersenyum sambil terus berusaha mengingat-ingat pemuda itu.
“Bob, kau lupa padaku? Aku Johan, teman SMPmu dulu.”
“Johan? O ya, aku ingat. Kau kan yang pertama kalinya mengajariku merokok dan memperkenalkan narkoba.”
"Ah, kau ini. Masa yang diingat cuma itu, memangnya tidak ingat apa ketika kita sama-sama mengejar Nina. Walaupun pada akhirnya aku mengaku kalah, karena ternyata Nina memang mencintaimu.”
“Nina?” Bobby kembali teringat dengan cinta pertamanya, cinta yang telah membuat masa SMPnya agak berantakan karena tidak konsen belajar. Bagaimana tidak, setiap hari dia pergi sekolah hanya karena ingin bertemu Nina, dan ketika jam pelajaran sedang berlangsung, dia pun ingin cepat selesai lantaran ingin bertemu Nina. Pulang sekolah adalah saat yang paling dia tunggu-tunggu. Dengan sang  Pujaan hatinya, dia berduaanngobrol di taman hingga sering pulang terlambat. 

“Bob!” seru Johan membuyarkan ingatan Bobby. “Eh, apa Han?” tanya Bobby agak terkejut. "Eng... ngomong-ngomong apa kau pernah  bertemu Nina?” “Tidak pernah, Jo! Bahkan, hingga saat ini aku  tidak tahu di mana rimbanya.” "Mmm... apa kau masih mencintainya?” “Tentu saja, Jo. Dia kan cinta pertamaku.” “Eh, Bob! Sebenarnya...” Johan menggantung kalimatnya, saat itu dia tampak berat mengatakan hal yang sebenarnya.
“Apa, Jo?” tanya Bobby. “Sudahlah... lupakan saja! O ya, ngomong-ngomong sekarang kau bekerja di mana?” tanya Johan mengalihkan pembicaraan.

"Mmm... aku masih menganggur, Jo,” jawab Bobby. “O ya, kalau kau sendiri kerja di mana?” Bobby balik bertanya..
“Eng, a-aku bekerja di sebuah perusahaan, Bob.” “Iya, tapi perusahaan apa?” “Perusahaan Elektronik.” “Eng... kalau begitu, boleh aku minta kartu namamu! Mungkin kapan-kapan aku bisa main ke kantormu.” 

Saat itu, Johan seperti enggan memberikan kartu namanya. Namun karena Bobby terus mendesak, akhirnya dia pun terpaksa memberi.
“Gila! Ternyata kau seorang direktur, Jo?” kata Bobby seakan tidak percaya ketika membaca kartu nama yang dipegangnya.
“Sebenarnya itu perusahaan ayahku, Bob.” “Sama saja, Jo. Walaupun perusahaan itu punya ayahmu, suatu saat perusahaan itu juga bakal milikmu. O ya, Jo. Apa mungkin aku bekerja di kantormu?” tanya Bobby berharap.
"O ya, ngomong-ngomong kau lulusan apa?”
“Aku cuma lulusan SMK, Jo.” “Aduh, sayang sekali, Bob. Coba kalau kau S1, aku pasti bisa membantumu. Maafkan aku, Bob. Bukannya aku tidak mau memberikan pekerjaan untukmu. Tapi, demi untuk keprofesionalan, yang bisa bekerja di kantorku itu minimal berpendidikan S1.”
“Walaupun untuk seorang cleaning service?” tanya Bobby lagi.
"Wah, perusahaanku tidak merekrut cleaning service, Bob. Soalnya selama ini cleaning service di perusahaanku adalah karyawan kontrak yang disalurkan oleh perusahaan lain.”
"O, begitu ya?” “Maaf ya, Bob! Aku tidak bisa membantumu,” ucap Johan yang sebenarnya tidak mau menerima Bobby bekerja di kantornya bukan lantaran hal itu, melainkan ada hal lain yang sebenarnya enggan diberitahukan.
“Sudahlah, Jo! Mungkin untuk saat ini, aku memang harus menganggur.”


Ikuti Cerita Selanjutnya.....!!!!


( Password : Novel I-One )


Topeng Sang Puteri

Raja Leland duduk di Ruang Rekreasi sambil bersantai membaca koran dan menikmati hangatnya kopi hitam. Itulah kebiasaannya di pagi hari.

Seharian mengurus banyak urusan kerajaan membuatnya lelah dan hanya di pagi hari seperti inilah ia bisa beristirahat.

Tengah ia menikmati istirahatnya, seseorang mengetuk pintu.
“Masuk!” kata Raja Leland jengkel.
“Lapor, Paduka,” kata prajurit itu, “Menteri Luar Negeri Kerajaan
Skyvarrna ingin bertemu Anda. Katanya ini urusan yang sangat penting yang menyangkut dua kerajaan.”
“Sepenting apakah urusannya?” gumam Raja Leland jengkel.
“Maafkan saya, Paduka,” kata prajurit itu, “Saya telah mengatakan
padanya bahwa Anda tidak senang diganggu pada pagi hari tetapi ia mengatakan Raja Elleinder memberinya tugas yang sangat penting dan ia harus bergegas kembali ke Kerajaan Skyvarrna.”
“Baiklah,” kata Raja Leland, “Katakan padanya untuk menungguku di Ruang Tahta. Aku akan menemuinya di sana .”
“Baik, Paduka.”
Prajurit itu pergi untuk melakukan tugas yang diperintahkan padanya. Tak lama kemudian pintu diketuk lagi.
“ Ada apa lagi?” kata Raja Leland geram. Calf terkejut melihatnya. “ Ada apa, Paman?”
“Kukira engkau adalah prajurit itu lagi.”
“ Ada apa Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna datang sepagi ini?”
“Aku tidak tahu. Katanya sangat penting.”
Calf ingin tahu apa yang dibawa Menteri itu dari kerajaannya yang luas.
“Boleh aku ikut?” tanyanya hati-hati.
“Justru aku mengharapkan engkau ikut,” kata Raja Leland, “Engkaulah calon penggantiku.”
Calf senang mendengarnya. Ribuan kali ia mendengarnya, ia tidak akan bosan. Memang sejak dulu itulah yang diharapkannya, menggantikan pamannya. Berdua mereka menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna di Ruang Tahta.
“Selamat pagi, Paduka,” sapa Perkins ketika melihat mereka, “Maafkan saya yang telah menganggu Anda sepagi ini.”
“Selamat pagi,” kata Raja Leland sambil tersenyum ramah, “Urusan penting apakah yang membuatmu datang sepagi ini?”
“Saya diperintahkan oleh Paduka Raja Elleinder untuk menyampaikan surat pada Anda. Sebelumnya ia minta maaf karena tidak dapat datang sendiri.”
“Katakan padanya aku mengerti. Memang sulit memerintah kerajaan yang seluas itu.”
Perkins merogoh sakunya dan mengeluarkan surat itu. “Ini suratdari Paduka Raja Elleinder,” katanya sambil menyerahkan surat itu.
Calf menerima surat itu kemudian memberikannya pada Raja Leland. Raja Leland membuka surat itu dan membacanya.
Calf yang ikut membaca terkejut melihat isi surat itu yang berbunyi:
Kepada Yang Terhormat Paduka Raja Leland,

Hubungan antara Kerajaan Aqnetta dan Kerajaan Skyvarrna telah terjalin dengan baik sejak lama. Persahabatan yang telah berlangsung selama lebih dari tiga abad ini telah mempererat hubungan kedua kerajaan. Sebagai kerajaan yang bertetangga, saya merasa tidak ada salahnya kalau kita semakin mempererat hubungan itu.

Saya telah banyak mendengar tentang Putri Anda. Banyak yang mengatakan ia sangat cantik sehingga Anda tidak rela ia dilihat oleh orang lain. Sayapun kemudian merasa tidak pantas untuk mendampinginya. Tetapi demi mempererat hubungan dua kerajaan yang bertetangga ini, saya memberanikan diri untuk melamarnya.

Dengan pernikahan ini, Kerajaan Aqnetta yang makmur dan Kerajaan Skyvarrna yang luas dapat lebih saling mendukung. Pada akhirnya kedua kerajaan ini akan mempunyai hubungan yang sangat erat yang kelak akan sangat bermanfaat bagi generasi mendatang.

Melalui pernikahan antara saya sebagai Raja Kerajaan Skyvarrna dan Putri Mahkota Kerajaan Aqnetta, dapat dikatakan Kerajaan Skyvarrna menjadi wilayah dari kerajaan Kerajaan Aqnetta demikian pula sebaliknya. Hal ini selain dapat memperluas hubungan kerjasama antara dua negara juga dapat menghilangkan perbedaan yang selama ini ada di kedua kerajaan.

Pada akhirnya, pernikahan ini akan menguntungkan kedua belah kerajaan.

Hormat saya,
Elleinder

Calf mengawasi raut tak percaya Raja Leland dengan cemas.
“Hal ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya,” kata Raja Leland tak percaya. “Katakan pada Raja Elleinder aku setuju dengan pendapatnya.”
“Paman?” bisik Calf cemas, “Raja Elleinder hanya ingin menguasai kerajaan kita.”
“Mengapa engkau cemas, Calf?” Raja Leland balas bertanya dengan berbisik, “Kedua kerajaan akan menjadi satu dengan pernikahan ini. Sejak dulu aku ingin menguasai kerajaan yang luas seperti Kerajaan Skyvarrna dan dengan pernikahan ini impianku terwujud.”
“Tetapi kerajaan kita menjadi milik mereka.”
“Tidakkah engkau mengerti, Calf? Pernikahan dua Putra Mahkota dari dua kerajaan akan mempersatukan dua kerajaan. Seperti yang dikatakan Raja Elleinder dalam suratnya, Kerajaan Skyvarrna menjadi wilayah Kerajaan Aqnetta dan Kerajaan Aqnetta menjadi wilayah Kerajaan Skyvarrna.”
“Berarti aku bukan lagi pengganti Paman?” tanya Calf tak percaya.
“Maafkan aku, Calf. Aku tidak ingin mengecewakanmu tetapi inilah yang akan terjadi dengan pernikahan ini,” kata Raja Leland, “Demi kemajuan Kerajaan Aqnetta, engkau harus merelakan hal ini.”
Calf kecewa bercampur geram karenanya. Tanpa mengatakan apapun, ia meninggalkan Ruang Tahta.
Perkins kebingungan melihat pemuda itu berlalu begitu saja dengan marah.
“Abaikan dia,” kata Raja Leland, “Sekarang kita akan membicarakan isi surat Raja Elleinder.”
“Katakan padanya aku sepenuhnya setuju padanya. Aku menerima lamarannya,” kata Raja Leland dengan gembira, “Atau aku harus menulis surat untuknya.”
“Menurut saya, lebih baik kalau Baginda membalas surat Paduka Raja Elleinder sehingga tidak akan ada keraguan ketika saya menyampaikan balasan Anda.”
“Tentu. Tentu saja,” kata Raja Leland, “Tunggulah sebentar.”
Raja Leland memerintahkan kepada prajurit untuk mengambilkan kertas dan pena dari Ruang Gambar yang dekat dengan Ruang Tahta.

Sambil menunggu prajurit itu kembali, Raja Leland mengajak Perkins bercakap-cakap.
“Raja Elleinder memang seorang raja yang cakap walau ia masih muda. Aku tidak pernah menyangka ia mempunyai pikiran yang sangat jauh tentang hubungan dua kerajaan ini.”
“Anda benar, Paduka,” sahut Perkins, “Ketika Raja Fahrein meninggal, Kerajaan Skyvarrna menjadi kacau tetapi Raja Elleinder dapat segera menguasai keadaan.”
“Aku tidak pernah memikirkan bahwa dengan menikahkan putriku dengannya, kedua kerajaan ini akan mempunyai hubungan kerabat bahkan kedua kerajaan tetangga ini dapat menjadi satu kerajaan. Sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi kerajaan kecil ini untuk dapat menjadi satu dengan Kerajaan Skyvarrna yang luas.”

Akhirnya Perkins mulai dapat memahami mengapa Elleinder melamar Putri Kerajaan Aqnetta. Tetapi ia tetap tidak mengerti mengapa demi menguasai Kerajaan Aqnetta , ia rela mengorbankan dirinya sendiri untuk menikah dengan Putri yang konon sangat tidak cocok menjadi seorang Putri sejati.

“Juga merupakan keberuntungan bagi Kerajaan Skyvarrna untuk dapat bergabung dengan Kerajaan Aqnetta yang makmur dan kaya hasil alam,” kata Perkins merendah.
Raja Leland tertawa karenanya. “Kerajaan Skyvarrna beruntung memiliki seorang menteri sepertimu.”
Lagi-lagi Perkins merendahkan diri. “Kerajaan Aqnetta juga beruntung memiliki seorang Raja yang sebijaksana Anda, Paduka.”
Raja Leland senang melihat sikap Perkins yang penuh rasa hormat dan kesopanan. Prajurit yang ditugaskan Raja Leland untuk mengambil kertas beserta pena itu akhirnya tiba. Dengan setengah membungkuk hormat, ia menyerahkan benda-benda itu pada Raja Leland. Segera setelah menerimanya, Raja Leland menulis suratjawabannya. Tidak sampai sepuluh menit ia telah selesai menuliskan semua kegembiraan dan persetujuannya atas lamaran Elleinder.
“Berikan ini pada Raja Elleinder,” katanya sambil menyerahkansurat itu pada Perkins.
“Baik, Paduka,” jawab Perkins.
“Apakah engkau mau sarapan pagi di sini bersamaku?” Raja Leland tiba-tiba mengundang Perkins sebagai wujud kegembiraannya.

“Saya akan senang sekali tetapi maafkan saya, Baginda. Paduka Raja Elleinder memerintahkan saya untuk segera kembali setelah menerima jawaban Anda atas suratnya.”
“Ya… ya tentu saja,” kata Raja Leland berulang-ulang. “Bila demikian halnya, aku tidak dapat memaksamu lagi. Sampaikan juga salam dan hormatku pada Raja Elleinder.”

“Baik, Baginda,” kata Perkins sambil membungkuk hormat, “Semua perkataan Anda akan saya sampaikan pada Paduka Raja Elleinder.”

Tak lama kemudian Perkins meninggalkan Istana Vezuza dengan berbagai perasaan. Lamaran telah diterima. Untuk hubungan kedua kerajaan sudah jelas tetapi tidak untuk masa depan Raja dari Kerajaan Skyvarrna. Perkins tidak dapat membayangkan seperti apakah rupa Putri Kerajaan Aqnetta. Dan kalau apa yang dikatakan banyak orang tentangnya itu benar, Perkins tidak dapat membayangkan bagaimana kebahagiaan Elleinder yang harus berdampingan dengan Putri itu.

Perkins telah menjadi Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna sejak Elleinder masih kecil. Dan hubungan mereka sudah akrab seperti ayah dan anak.


Ikuti Cerita Selanjutnya ..........!!!


( Password : Novel I-One )

Sumber : ac-zzz.tk

Pelangi Retak - Dewi Anjani


Pagi yang indah di Citra Persada.....
Ada selengkung pelangi yang mengantar keberangkatanku tadi. Jalanan juga tak seramai biasanya. Ah...pagi yang menyenangkan.
"Rien...kamu terlihat lebih segar pagi ini. Selamat ya!"
Sapaan bu Indah yang selalu ramah seperti biasanya. Heran juga, tiga bulan di sini aku tak pernah bisa menyainginya untuk tiba lebih awal di kantor.
Tapi apa tadi katanya? Selamat? Atas apa? Padahal kemarin aku sudah menyiapkan diri untuk menerima keluhannya atas hasil presentasiku yang kurang memuaskan. Ditambah lagi kemarin aku nggak masuk dengan alasan sakit, padahal aku menjenguk Hilma.
"Makasih, bu..." sahutku masih dalam ketidakmengertian.
"Sudah sehat, ya?"
"Ee... iya. Alhamdulillah. Tapi...selamat untuk apa, Bu?"
"Hm...masa sih belum tahu? Presentasimu kemarin berhasil meyakinkan pihak Mitra Mandiri dan mereka menyetujui kontrak kerja dengan kita. Semua design program, testing dan controling intern ekstern mereka percayakan ke kita. Dan ini... adalah proyek besar yang harus kamu tangani sungguh-sungguh. Ibu sudah memilihmu sebagai pimpinan konseptornya. Untuk aplication software yang tidak bisa kita buat sendiri bisa ibu carikan dari luar. Yang penting, sekarang kamu siapkan energi sebanyak-banyaknya untuk proyek ini."
"Mm...kenapa harus saya, Bu?"
"Karena Ibu tahu kamu mampu. Jangan panik gitu dong! Be Confidence! Kamu masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Proyek ini baru akan mulai satu bulan lagi."
"Satu bulan lagi?"
"Iya. Delegasi Mitra Mandiri yang menangani proyek ini masih mengurusi saudaranya yang sakit. Lagipula anak perusahaan yang akan kita tangani itu baru bisa beroperasi sekitar satu tahun ke depan. Oh ya, sudah tahu orangnya belum? Nanti kamu akan banyak bekerja sama dengannya."
Aku hanya menggeleng meski sebuah nama sudah melintas di otakku.
"Janindra Setiawan. Biasa dipanggil Pak Indra."
Deg! Kerongkonganku tercekat. Dugaanku tepat. Nama itulah yang tadi melintas di pikiranku. Makanya, laki-laki itu begitu yakin bahwa kami akan bertemu lagi dalam proyek selanjutnya. Ah..., sebuah tantangan baru menghadang jalanku.
Ya, Tuhan... bantu aku menstabilkan emosi... Jangan hanya karena ini aku akan punya pikiran untuk meninggalkan Citra Persada.

*****

Akhir pekan.
Aku berharap pekerjaanku tak terlalu banyak hari ini. Agar aku bisa pulang lebih awal dan menjenguk Hilma di rumah sakit. Sudah empat hari aku tak tahu keadaannya.
Aku baru akan memulai pekerjaan ketika Siemens-ku berdering. Kutatap sejenak nama yang terpampang di layar mungil itu. Mas Indra? Ada apa dia meneleponku sepagi ini? Tentang Hilmakah? Atau tentang proyek itu?
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikum salam... Li! Kamu bisa ke rumah sakit sekarang juga? Hilma mencoba bunuh diri. Dia butuh kamu saat ini. Emosinya sangat labil."
"Hah? Bunuh diri?" darahku terkesiap. Inikah arti dari diamnya kemarin? Hilma...kenapa kau berubah sejauh ini?
"Li, bisa kan? Biar aku yang minta izin ke Bu Indah. Akan kukatakan bahwa ini ada hubungannya dengan proyek kita."
Nah, benar kan? Mas Indra sampai bela-belain menunda proyek ini demi Hilma. Ada apa sebenarnya dengan mereka?
"Ng...nggak usah, Mas. Kukira Mas Indra nggak perlu berbohong. Biar aku sendiri yang minta izin, " Tukasku cepat. Untuk apa pula dia membohongi atasanku? Bodoh! Kenapa pula aku tadi memanggilnya dengan sebutan mas bukan bapak. Ini kan kantor dan sekarang dia adalah mitra kerjaku.
"Yakin? Ya sudah, kalo gitu. Aku tunggu di rumah sakit."
Klik. Telepon terputus setelah terdengar ucapan salam. Aku hanya bisa menarik nafas berat. Lalu melangkah gontai ke ruangan bu Indah.
"Permisi, Bu..."
"Eh, Rien. Masuk! Ada apa?"
"Sa...saya mau minta izin, Bu..." entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Ada segumpal perasaan tak enak di hatiku. Kemarin aku sudah nggak masuk. Sekarang minta izin pulang lebih awal... mana tanggung jawabku?
"Kenapa, Rien? Wajahmu pucat. Kamu sakit lagi?"
Aku menggeleng. Tapi wanita anggun itu memang punya empati yang cukup besar pada siapapun.
"Seharusnya kamu istirahat dulu di rumah. Sebelum benar-benar pulih kamu bisa izin. Mungkin badanmu terlalu lelah karena persiapan presentasi kemarin. Sudahlah, kesehatanmu jauh lebih penting. Sekarang, ibu izinkan kamu pulang. Segera ke dokter dan istirahat sebanyak mungkin. Makan yang bergizi. Oh ya, satu lagi... tenangkan pikiran!"
Duh, bu Indah...aku sampai bingung bagaimana caranya berterima kasih. Hanya hatiku yang tiada henti mengucapkan syukur bisa memiliki atasan sebaik dia. Sebenarnya aku ingin menjelaskan hal yang sebenarnya tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat...
Aku segera beranjak dari ruangan bu Indah. Tujuanku sekarang adalah rumah sakit!

*****

Kamar Hilma kosong. Apa dia dipindahkan ya? Mas Indra juga tidak kelihatan. Ponselnya tidak aktif.
"Sus, kok pasien di kamar ini nggak ada ya? Apa dia dipindahkan?" tanyaku pada seorang perawat yang kebetulan lewat di depan kamar Hilma.
"Oh, mbak Hilma... lho, Mbak ini siapa ya? Mbak Hilma kan sudah dibawa pulang?" seru suster itu heran mendengar pertanyaanku. Aku ikut-ikutan heran mendengar jawabannya.
"Dibawa pulang? Apa dia sudah sembuh? Kapan dibawa pulang?"
"Baru sekitar sejam yang lalu, Mbak. Belum sembuh total tapi menurut dokter...sebenarnya fisiknya sudah sembuh. Dia hanya mengalami depresi. Jadi, dokter menyarankan agar mbak Hilma ditangani psikiater." Takut-takut perawat itu melontarkan penjelasannya.
"Berapa lama dia dirawat di sini, Sus?"
"Mm...kira-kira dua puluh hari, mbak."
Dua puluh hari? Selama itukah? Kenapa Mas Indra baru menghubungiku empat hari yang lalu?
"Hm.. Sus, maaf, ini pertanyaan terakhir... Selama di sini, siapa saja yang sering menjenguknya?"
"Mm... sepertinya nggak ada, Mbak. Selama di sini hanya ada seorang laki-laki yang katanya kakak sepupunya. Laki-laki itulah yang selalu menemaninya saat dia di sini."
Oohh... terjawablah sudah kebingunganku. Tapi aku tetap tak boleh mengambil keputusan karena emosi sesaat. Mungkin Mas Indra melakukannya karena kasihan. Hilma kan tidak punya saudara di sini. Mungkin juga, karena mereka memang punya hubungan khusus...

Pagi terasa begitu dingin ketika pelan-pelan kubuka jendela kamar. Tak seperti biasanya. Entah karena memang udara yang dingin atau justru hatiku yang dingin. Saat ini aku tak hanya merasa kehilangan, tapi juga kecewa. Hilma. Dia pergi entah ke mana. Ponsel Mas Indra juga nggak pernah aktif sejak kemarin. Aneh.
Aku merasa dibohongi oleh mereka. Sahabatku sendiri. Tapi aku masih berharap suatu saat akan menemukan mereka. Setidaknya ada banyak misteri yang terus menderaku dalam rantai belenggu tanda tanya.
"Kriing..."
Lamunanku terhenti ketika bel pintu depan berbunyi. Ada seseorang yang datang. Entah siapa. Tapi suara bel itu justru mengingatkanku untuk segera mandi dan bergegas ke kantor.
"Rien...! Ada kiriman untukmu!" teriak Rita. Teman sebelah kamarku yang biasanya rajin menjadi penerima tamu.
"Dari siapa, Ta?" tanyaku penasaran.
"Kata pak posnya, si pengirim nggak mau menyebutkan namanya. Di bingkisan ini juga tidak ada tulisannya..."
"Lho, kok? Memangnya kamu udah nanya ke pak posnya?"
"Iya, dong. Kamu kan jarang dapat kiriman. Jadi wajar kalo aku penasaran..."
Rita nyengir melihat aku mengernyitkan alis. Tangannya menyerahkan bingkisan itu ke arahku. Sebuah kotak bersampul putih. Terikat pita berwarna merah jambu dan sekuntum mawar kuncup di ujungnya. Elegan. Pasti pengirimnya adalah orang yang romantis. Tapi siapa? Dalam rangka apa? Aku tidak punya pacar...
Di dalam kamar, kubuka kotak itu perlahan. Sebuah kue tart berwarna putih bersih dengan ornamen berbentuk benang terpilin. Kue itu dikelilingi tumpukan mahkota mawar berwarna senada. Sehelai kartu ucapan berwarna merah jambu terselip di antara tumpukan mahkota mawar itu.

Selamat Ulang Tahun
Semoga kau tak pernah lupa pada hari kelahiranmu hingga terus dapat berpikir tentang hari kematianmu...

Deg! Darahku seperti berhenti mengalir. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kulirik kalender meja yang terletak di sisi pembaringan. Hari ulang tahunku? Ah, ya. Hari ini usiaku tepat dua puluh lima tahun. Hampir saja aku melupakannya kalau saja bingkisan itu tidak pernah datang...
Lagipula buat apa diingat. Momen itu hanya tahun-tahun yang berulang, tapi...
Hari kematian? Bukankah itu satu-satunya kepastian dalam kehidupan. Selain kematian, semuanya hanyalah jalinan dari begitu banyak benang kemungkinan yang kadang terpintal tak karuan. Begitu rumit menguraikannya. Bayangan ibu, Hilma, Mas Indra, Bu Indah, Pak Aan dan beberapa orang yang akhir-akhir ini menyapa hari-hariku melintas satu persatu di layar pikiranku. Laksana pemutaran slide yang telah terprogram secara otomatis...
Tubuhku lemas seketika. Semangatku untuk berangkat ke kantor menghilang tiba-tiba.

*****

Bingkisan tanpa nama pengirim itu membuatku menyadari banyak hal. Begitu banyak kejadian tak terduga yang kualami akhir-akhir ini. Semuanya menyita perhatianku. Hingga sering kali aku lalai mengingat kematian. Aku tak lagi berpikir apa tujuan sesungguhnya dari hidup yang melelahkan ini. Kusadari, banyak hal yang kulakukan tanpa tujuan. Hanya menuruti ke mana emosiku meminta kepuasan.
Sepotong kalimat dalam bingkisan itu memaksaku menelusuri kembali kejadian demi kejadian yang kulalui...
Lili kecil adalah gadis mungil yang lincah, murah senyum namun suka menjahili orang. Dia menjalani kesederhanaan hidupnya dengan riang. Tanpa perlu mengerti beragam masalah yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan dalam lingkungan keluarganya. Yang dia tahu hanyalah sosok ibu yang tegar membesarkannya seorang diri. Dia juga tak pernah merasa kekurangan kasih sayang meski tak mengenal sosok ayah seperti teman-temannya. Harapan kecilnya yang sederhana adalah bisa menjadi seperti kuntum bunga Lili yang tumbuh subur di bawah jendela kamarnya. Tetap tersenyum dan selalu merekah menyambut kejora yang berganti pelangi pagi. Dia ingin seperti daun-daun bunga Lili yang tumbuh rimbun. Kelihatan lemah namun tak mudah tercabut meski oleh terpaan banjir sekalipun...
Lili remaja adalah seorang gadis yang enerjik. Dan kemampuan berpikirnya yang mulai mengalami dinamisasi memaksanya untuk belajar menghadapi badai. Membantu ibunya mencari nafkah dan tetap giat belajar. Dia tak ingin terkalahkan oleh apapun dan siapapun. Dan itu membawanya ke puncak prestasi. Namun, Lili remaja ternyata gagal meraih cintanya. Saat itu dia mulai kehilangan impian kecilnya. Dan terobsesi untuk mengubah apapun yang pernah menjadi masa lalunya. Dia bertekad untuk menjadi wanita berpendidikan tinggi, memiliki karir yang sukses dan tidak pernah bergantung pada siapapun, termasuk pada seorang lelaki.
Akhirnya gadis itu meraih pendidikan tinggi meski tanpa dukungan sedikitpun dari sang ibu. Wanita bijak yang sangat dihormatinya masih berpikir bahwa tempat seorang wanita hanyalah di dapur, kasur dan sumur. Ah, sesuatu yang sangat kolot bagi Lili. Bahkan, wanita yang sangat dicintainya pun tak pernah mau menghadiri event terbesar dalam hidupnya, tak mau mendampinginya saat wisuda sarjana. Kecewa memang. Tapi hal itu tak pernah membuat Lili mengurangi cintanya sedikitpun terhadap wanita yang mulai renta itu.

Baca Cerita Selanjutnya......!!!



( Password : Novel I-One )




Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa

PART ONE – ME AND MYSELF
Aku adalah seorang gadis yang berjuang untuk hidupku sendiri di Ibukota. Walaupun, kalau dipikir”, keluargaku masih mampu membiayai aku hidup. Tapi aku lebih memilih untuk membiayai hidupku sendiri, merasakan hasil peluhku sendiri.

Aku masih ingat semua kejadian yang membuatku memilih hidup sendiri.

“Hanna, denger yang Mas Yudi bilang….”
“Gak, Hanna pokoknya gak mau rumah ini dijual!!”
“HANNA !!!!”….Brruukkk…

Kejadian itu masih terngiang di telingaku. Kala itu, Aku harus mempertahankan apa yang Almh. Ibuku amanatkan untukku.

“Hanna, rumah ini jangan sampai dijual. Simpan semua surat – surat dan kotak perhiasan Ibu ini di bunker rahasiamu.Baca surat dari Ibu saat keadaan sudah stabil. Ibu percaya Hanna bisa.”

Tak lama setelah itu Ibu tiada. Banyak hal berkecamuk di hatiku. Sanggupkah aku?

Ketika keadaan mulai stabil, Aku teringat pesan Ibu dan bunker rahasiaku. Malam itu, aku membaca suratnya dan terkesima. Ibu meninggalkanku banyak amanat, diantaranya beliau ingin rumah tidak dijual dan menitipkan surat – surat rumah padaku. Ada sekotak kado terbungkus kertas kopi bertuliskan “Untuk Hanna” dan itu tertulis di dalam surat Ibu sebagai “Kado Pernikahan” untukku dan Ibu menginginkan agar aku membukanya pada saat aku akan menikah. Terlalu cepat dan terlalu panjang Ibuku berpikir tentang masa depanku. Seorang Hanna bisa menikah?? Apa mungkin ??

Seorang Hanna adalah gadis yang tertutup, pemurung, minder, perasa, rapuh tapi manja. Aku selalu merasa nyaman bercerita tentang segala hal pada Ibuku. Namun sejak Ibuku meninggal, aku lebih sering bercerita pada “Jurnalku” yang kuberi nama “Kintan”.

Kintan atau Jurnalku adalah sahabatku. Segala keluh kesah kuuraikan secara jujur pada Kintan. Tapi kalau aku sedang malas cerita, aku menyimpan semua itu sendirian. Sejak aku tahu rumah ingin dijual, aku berpikir betapa piciknya kakak – kakakku. Malam itu, aku putuskan menyimpan semua yang Ibu amanatkan padaku dan menaruhnya kembali dengan rapi di bunker rahasiaku. Kotak bertuliskan “Untuk Hanna” kutaruh diatas semua benda milik Ibuku. Aku mengakhiri malam itu dengan menyegel rapi bunker rahasiaku dan mengepak pakaianku karena keesokan harinya, aku ingin pergi…ya…pergi.!

Aku pergi keluar dari rumah keesokkan harinya dengan membawa apa yang aku punya, pakaian dan kintan. Berkat sahabatku, Ari, aku bisa pergi dengan mudah dari rumah. Di sepanjang perjalanan, Ari sempat menanyakan tentang apa yang terjadi. Sedang aku hanya berkomentar,

“NO COMMENT…”

Ari yang sudah lama mengenalku hanya mendengus kesal mendengar aku berkata itu dan itu berulang kali. Aku memang malas untuk menjawab tentang itu semua karena bagiku itu buang – buang waktu. Aku sedang berpikir akan hidup seperti apa diluar sana.Seorang Hanna yang….aahhh…Ari pun berpikir bahwa aku tidak bisa bertahan.

Sampai malam hari datang, hari pertamaku tanpa AC, tanpa TV, tanpa telepon, tanpa kasur empuk dan tanpa makan malam, aku berpikir untuk berubah. Aku bercerita tentang ini pada Kintan dan aku memutuskan untuk mempersiapkan “Alter Ego” ku.

Ya, Alter Ego, jati diri keduaku. Malam itu kuputuskan menamai alter egoku dengan Laras, Laras Anggun Anindya. Karakter Laras 180° berbeda denganku. Laras adalah wanita yang anggun, cantik, lembut, open minded, dewasa, easy going dan punya sifat – sifat manis lainnya.

Aku hidup dalam jati diri Laras bertahun – tahun sampai kadang aku merasa kalau aku adalah Laras, terlahir sebagai Laras bukan Hanna. Hanna sepertinya sudah hilang, terkubur disudut hatiku paling dalam dan aku seperti terbuai dengan itu semua. Sampai aku tak memikirkan apapun, bahkan KTP dengan status asal – asalan Hanna pun tak jadi masalah buatku. Aku seperti bukan Hanna, tapi sepenuhnya Laras.

Kadang aku berpikir untuk mengakhiri perjalanan Laras, tapi aku tak bisa. Laras seperti mendarah daging di dalam diriku. Kadang sifat Hanna-ku berontak tapi kuabaikan. Yang tak bisa kuabaikan hanya Kintan. Dia tetap sahabatku, baik aku Hanna ataupun Laras. Hanya pada Kintan, aku bisa jadi sosok Hanna dan Laras sekaligus. Mungkin kalau Kintan bisa bicara, dia pasti berteriak marah padaku. Hanya pada Kintan aku tuliskan syair – syair kegundahanku dan cerita – cerita hidupku. Entah cerita kegundahan Hanna yang ingin mengakhiri perjalanan Laras maupun kegundahan Laras tentang cerita – cerita cinta.

Sejak ada Laras, cinta datang silih berganti di hidupku sebagai Hanna. Tapi semua hanya selintas lalu, tidak ada yang benar – benar tulus. Hanna ingin rasakan “cinta” seperti yang dipunyai Ibu. Ibu dan ayahku adalah 2 manusia yang punya sifat yang sangat bertolak belakang. Ibu yang ceria, tak kenal kata lelah, supel, easy going, lembut namun tegas tampak seperti Laras untukku. Sedang Ayah, seorang yang punya dedikasi tinggi pada pekerjaan, tidak ngoyo, punya dunia sendiri, lembut dan tegas. Ibu dan Ayah bias berjalan beriringan sampai maut memisahkan. Cinta seperti itu yang ingin aku, sebagai Hanna miliki.

Aku ingin belajar menjadi Ibu dan laras tampak menguasai itu. Sekarang aku mencari sosok “ayah” tapi apa ada manusia yang sama seperti Ayahku???

Oke, I’ll find it but sebagai siapa?? Hanna?? Laras?? Sepertinya aku belum bisa menonjolkan sosok Hanna, diriku sendiri. Aku menjadikan Laras sebagai tamengku, tameng andalanku, untuk mencari cinta sejatiku. Aku menemukan media yang bagus untuk mencari ‘cinta’ ku itu. Internet!.

Ya, Internet!

Mungin aku bisa mencarinya lewat friendster atau facebook yang sedang booming akhir – akhir ini. Untukku yang bekerja di sebuah business centre tampak mempermudah semuanya. Aku bias online 3 kai sehari untuk cek friendster dan facebook-ku dan tampaknya, aku tidak menemukan masalah.
Masalah timbul ketika partner kerjaku sekaligus kakak angkatku, Andi, memperkenalkan aku dengan game online. Mas Andi memperkenalkan aku dengan Idolstreet dan RF Online. Namun aku terkesima dengan idolstreet yang punya tampilan char selayaknya ‘barbie’, membuat aku terhubung dengan Laras dan mengabaikan RF Online.

Di Idolstreet, awal pergaulan aku sebagai Laras dimulai. Di situ akubersahabat dengan Satria. Satria buatku sahabat selain Kintan walaupun Kintan tetap nomor wahid di hidupku. Satria membuka pintuku sebagai Laras ke pergaulannya. Sejak itu, charku yang bernama sama denganku pun mulai dikenal orang.

Sampai aku bertemu Yudha. Yudha adalah sahabat sekaligus kakak angkat Satria. Yudha yang kutahu adalah lajang, punya gamecenter mungil, baik, perhatian dan penyayang. Sejak itu aku akrab dengan Yudha, dia menjadi “couple” ku di Idolstreet. Sampai suatu ketika kebenaran terbuka. Aku sebagai Laras selalu bilang selalu bilang kalau aku bekerja di luar negeri tapi teman bermain idolstreetku tidak bias bohong dan menyembunyikan keberadaanku. Sampai terkuaklah dimana aku berada dan Yudha pun berubah.
Saat itu aku benar – benar kalut dan ingin mengetahui kebenaran dibalik sikap Yudha yang berubah. Aku dan temanku nekat dating ke tepat Yudha dan taraaaaa….Yudha ternyata buan Yudha yang ada di profil friendster-nya selama ini. Yudha adalah kakak dari laki – laki yang fotonya terpampang di friendster yang selama ini kulihat.

Motif si kakak yang memang bernama Yudha adalah ingin menjodohkan adiknya yang bernama Rian denganku. Saat itu, harapanku untuk dapatkan cinta buyar. Seolah – olah memang dunia sedang memperolok – olok Hanna dan Laras bersamaan, tidak ada yang sejati tampaknya, tulus pun tidak. Setelah aku tahu semuanya, aku sebagai Hanna hanya bias berlapang dada walaupun aku sebagai Laras merasa tidak terima. Jujur, aku terlanjur sayang pada sosokRian yang ternyata bersifat Yudha.

Enta mengapa, hati ini bilang kalau perjalanan cintaku baru akan dimulai. Sepertinya, Kintan pun mengatakan hal yang sama, tapi mana mungkin. Yudha sudah beristri dan mempunyai 1 orang anak laki – laki bernama Alief. Aku bukan tipe perusak rumah tangga orang jika sebagai Hanna tapi Laras pun akan berpikiran sama, no no no thanks.

Tapi kenapa hatiku sebagai Hanna dan Laras berkata bahwa perjalanan cintaku baru akan dimulai?? Dengan Rian?? Tampaknya tidak. Lalu dengan siapa?? Apa ada laki – laki lain selain Yudha?? Kalau memang ada, kuharap ini yang terakhir untuk Laras dan Hanna, tapi siapa??

Kegundahanku akankah seperti ini selama hidupku?? Apakah benar kerapuhanku ini dapat membuat hidupku lebih baik??
 
 
 
( Password : Novel I-One )
 
 
 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: