Loading

Sepercik Cahaya Keindahan Islam - Ustadz Muhammad Arifin Badri

Akidah (Keyakinan)

Bagian ini adalah bagian yang paling banyak diperhatikan dan ditekankan dalam syari’at Al Qur’an. Bahkan permasalahan ini telah disatukan dengan segala urusan setiap muslim dan dijadikan sebagai tujuan dari segala gerak dan langkah kehidupan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Az Dzariyat: 56)

Dan pada ayat lain Allah berfirman,

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (ajal/kematian).” (QS. Al Hijr: 99)

Inilah akidah Al Qur’an, yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala macam bentuk peribadatan kepada selain-Nya, baik peribadatan dengan pengagungan, kecintaan, rasa takut, harapan, ketaatan, pengorbanan, atau lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An Nisa’: 36)

Akidah Al Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam menjadi kuat dan perkasa bak gunung yang menjulang tinggi ke langit, tak bergeming karena terpaan angin atau badai. Akidah Al Qur’an mengajarkan mereka untuk senantiasa yakin dan beriman bahwa segala yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah, tiada yang dapat menghalang-halangi rezeki yang telah Allah tentukan untuk hamba-Nya dan tiada yang dapat memberi rezeki kepada orang yang tidak Allah Ta’ala beri.

“Apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 116)

Dan pada ayat lain Allah berfirman,

“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS. Thoha: 6)

Dengan keyakinan dan iman semacam ini, setiap muslim tidak akan pernah menggantungkan kebutuhan atau harapannya kepada selain Allah, baik itu kepada malaikat, atau nabi atau wali atau dukun atau ajimat. Tiada yang mampu memberi atau mencegah rezeki, keuntungan, pertolongan atau lainnya selain Allah Ta’ala:

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2)

Pada ayat lain Allah berfirman,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (kehendak) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu.’ Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.” (QS. Al Ahzab: 17)

Dan bukan hanya menanamkan keimanan dan tawakal yang kokoh kepada Allah semata, akan tetapi akidah Al Qur’an juga benar-benar telah meruntuhlantahkan segala keterkaitan, ketergantungan, mistik, takhayul dan segala bentuk kepercayaan kaum musyrikin kepada sesembahan selain Allah, sampai-sampai digambarkan bahwa sesembahan -atau apapun namanya- selain Allah tidak berdaya apapun bila ada seekor lalat yang merampas makanan mereka. Mereka tidak akan pernah mampu menyelamatkan makanan yang telah terlanjur dirampas oleh lalat, seekor mahluk lemah dan hina.

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj: 73-74)

Akidah Al Qur’an juga mengajarkan bahwa sumber kelemahan dan kegagalan umat manusia ialah karena mereka jauh dari pertolongan dan bimbingan Allah, semakin mereka menjauhkan diri dari Allah dan semakin menggantungkan harapannya kepada selain-Nya maka semakin rusak dan hancurlah harapan dan kepentingannya,

“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6)

Akidah Al Qur’an juga mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki keyakinan yang kokoh bahwa tidaklah ada di dunia ini yang mampu mengetahui hal yang gaib selain Allah. Sehingga dengan keimanan semacam ini umat islam terlindungi dari kejahatan para dukun, tukang ramal dan yang serupa.

“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui kapankah mereka akan dibangkitkan.” (QS. Fathir: 65)

Dengan akidah Al Qur’an ini, seseorang akan memiliki kejiwaan yang tangguh, pemberani dan bersemangat tinggi, pantang mundur dan tak kenal putus asa dalam menjalankan roda-roda kehidupan dan mengarungi samudra kenyataan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan kepada saudara sepupunya akidah Al Qur’an di atas dengan sabdanya,

“Jagalah (syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa dihadapanmu. Bila engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah, bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah (yakinilah) bahwa umat manusia seandainya bersekongkol untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat melainkan dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu, dan seandainya mereka bersekongkol untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan suatu hal yang telah Allah tuliskan atasmu. Al Qalam (pencatat taqdir) telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Ahmad, dan At Tirmizi)
 
 
 

Supernova Akar - Dewi Lestari


Kesejatian hidup ada pada batu kerikil yang tertendang ketika kau melangkah menyusuri jalan. Kesejatian hidup ada pada selembar daun kering yang gugur tertiup angin. Kesejatian hidup ada air susu ibu yang yang merelakan puting payudaranya diisap oleh bayi manapun. Di Vihara Pit Yong Kiong, Pasuruan, di pelabuhan Belawan, di Penang, di Bangkok, di Laos, di Golden Triangle, di Cambodia, di Bandung, di manapun kau hidup.

Tapi, dia mungkin tak terlihat pada arus politik yang menyudutkanmu pada pilihan kedigdayaan. Dia menyembunyikan diri dari teriakan-teriakan yang menggemakan perubahan. Kesejatian hidup tak memerlukan perubahan, namun juga tak menampiknya. Dia rebah pada semua kesederhanaan yang ada di sekelilingmu. Maka, carilah, dan kamu akan mendapatinya. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Mintalah, maka kau akan diberi.

Demikianlah Dewi Lestari mewakilkan sebuah upaya pencarian kesejatian hidup pada seorang tokoh bernama Bodhi. Seorang bayi yang di suatu pagi tergeletak di pintu Vihara. Dipungut, diasuh, dan dididik oleh seorang Pandita, Guru Liong. Merasa bahwa karma pada hidup masa lalunya sangat berat. 18 tahun dididik dengan ketat, termasuk penguasaan terhadap sebuah ilmu bela diri, Bodhi mengalami penyempurnaan bathin. Pemurnian spirit. Termasuk sejumlah pengalaman uniknya yang "merasa" menjadi ulat, tikus got, kucing, dan sapi.

18 tahun adalah waktu yang cukup, dan Bodhi mohon pamit. Bersama serombongan pendeta Buddha, Bodhi menyeberang ke Sumatera dan memutuskan menetap di daerah Belawan. Tanpa KTP, tak juga faham mengenai asal usul dan tanggal kelahirannya. Bekerja tiga bulan, mendapat upah, dan dibantu oleh Ompu Berlin untuk mendapatkan sejumlah dokumen identitas termasuk paspor, Bodhi menyeberang ke Penang. Disana dia bertemu dengan sejumlah backpackers yang kemudian "memberi" arah perjalanan berikutnya: Bangkok.

Bangkok surga bagi para backpackers. Ratusan pengelana dari mancanegara tumpah di sana. Bodhi tinggal di semua rumah penginapan Srinthip bersama sejumlah backpakers multi etnis. Penghuninya datang dan pergi. Masuklah Kell, seorang lelaki tampan, peranakan Irlandia dan Mesir. Lelaki tertampan yang mungkin pernah ada di bumi ini yang mempunyai tugas kehidupan untuk membubuhkan 617 tatto pada 617 orang untuk membuat dirinya menyongsong kemerdekaan paripurna setelah orang ke-617 membubuhkan tato yang ke-618 ke tubuhnya. Lelaki yang kerap menyenandungkan Eye in The Sky-nya Alan Parson Project. Kell kemudian mengajarinya tattoo. Lalu, jadilah Bodhi seorang tattooist dan menjadikan itu sebagai cara untuk mendapatkan uang bagi biaya hidup sehari-hari.

Seorang backpacker perempuan bernama Star, berasal dari Hollywood, peranakan Eropa Timur dan Timur Tengah masuk dan menginap di Srinthip. Perempuan cantik dan tercantik yang pernah dilihat Bodhi. Perawakan tubuhnya sempurna. Perempuan inilah yang memperkenalkan dirinya dengan sebuah perasaan lain yang belum pernah dia rasakan sepanjang hidup. Star minta Bodhi mentattoonya tepat di payudara.Dan bergetarlah kulit semesta. Bergerolalah gelombang samudera. Erangan kesakitan Star sewaktu ditattoo adalah hasrat dedaunan yang mendambakan sapuan sinar matahari. Waktu berlalu dan mereka berpisah. Entah kenapa.

Bodhi meneruskan pencarian kesejatiannya. Star seolah menggenap kesempurnaan tattoonya dan pergi menyongsong kelana berikut. Keterserakan yang tak menyenangkan. Tapi hidup adalah keping-keping misteri yang baru terbuka setelah rebah sepenuhnya. Bodhi membiarkan semesta menuntun perjalanan selanjutnya. Bertemu dengan lelaki tua pengasuh Bob Marley, yang mengumandangkan reggae seolah cuma itu yang ada di bumi dan kahyangan. Bertemu kembali dengan Tristan, backpacker yang ditemuinya pertama kali di Penang. Mereka berdua bekerja di ladang ganja di Golden Triangle dengan upah USD 700 per minggu. Sekian bulan di sana Bodhi memiliki cukup uang untuk melanjutkan kembara berikutnya. Pulang ke Srinthip didapatinya Kell sudah tak ada. Ah, lelaki yang telah memberinya keceriaan dan sebuah warna baru.

Rasa kangennya memuncak. Diputuskannya untuk pergi mencari Kell. Tak ada petunjuk. Tak ada berita. Dan dia pergi. Suara semesta dan kerinduannya adalah dua buah kompas sejati yang dia percaya akan mengantarkannya tepat waktu - tepat arah kepada Kell. Bodhi terdampar di sebuah pertarungan antar manusia ala Golden Triangle ditonton oleh ribuan petaruh. Diadu secara barbar di atas ring melawan gladiator raksasa. Pertarungan dahsyat dengan menggunakan sejumlah jurus wushu yang mendebarkan pun digelar.

Perjalanan itu begitu panjang dan melelahkan. Menembus belukar di antara desingan peluru. Menyusuri daratan ranjau. Disana dia betemu Epona, gadis penakluk ranjau. Disana pula ia bertemu kembali dengan Kell. Lalu, pada sebuah kunjungan ke lokasi ranjau, tattoo ke 618, angka kebebasan paripurna Kell, dirajahkan. Dalam dialog cerdas, konyol, menggelikan, dan bertabur air mata. Adegan mengejutkan, dan merupakan bagian terindah. Kebebasan itu datang dan menyapa dalam damai. Nikmati adegan ini sambil mendengarkan You Take My Breath Away-nya QUEEN. Berani sumpah, kau akan hening berjam-jam sesudahnya.


( Password : Novel I-One )


Komik Asterix - Hadiah Dari Caesar




Ikuti cerita selanjutnya Download :
( Password : Novel I-One )

Islamku Islam Anda Islam Kita - Abdurrahman Wahid

Pada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di kawasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulisan disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indonesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih pagi, kira-kira pukul 8 ketika saya datang ke rumah Gus Dur. Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi ketika saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberitahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil saja, ya Mas ...sambil jalan-jalan ...,” ujarnya dengan rileks.

Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran mantan presiden RI ke-empat ini, meskipun senang juga karena Gus Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya, tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil dengan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang-orang yang ingin bertemu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa karena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak apa-apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa menunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka maklum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Akhirnya saya pun tak dapat menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling naik mobil, berputar-putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu.
 
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputarputar di kawasan tersebut, sementara saya sibuk merekam dan mencatat hasil wawancara. Kadang-kadang kami berdua tertawa tergelak-gelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumen-argumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan jawabannya. Ketika sopir menghentikan mobil di rumah Gus Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlama-lama lagi karena mempertimbangkan banyaknya orang yang sudah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpulan artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa menggunting-gunting kumpulan tulisan itu.”

Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apa-apa, di satu sisi saya merasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengantar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan sederhana. Masalahnya bukan saja karena waktu saya yang terbatas, tapi juga karena saya merasa bukan tokoh yang pas untuk mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur, baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, tetapi itu tidak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi pernyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontrover sial, bahkan tidak jarang menimbulkan polemik dan perdebatan antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang berlatar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin. 
 
Terus terang pada awalnya saya khawatir, jangan-jangan editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti justru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan dan tindakannya. Bukan saja karena ia adalah cucu pendiri NU Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur adalah ulama-intelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmopolitan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam.Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.
 
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh sejarah sebagai tokoh terkemuka, tetapi ia bukan seorang wali atau figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang punya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju terhadap gagasan dan sepak terjangnya, tetapi kita tetap harus fair untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di Indonesia. Bagi saya, Gus Dur bersama-sama dengan intekletual Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia.
 
Karena itu ketika dia menawari untuk mengedit dan memberi kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku, secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma berkeyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, ketika tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan teman-teman, mereka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima. Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan  agar saya mengerjakan pekerjaan
editing dan memberi kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA
intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberikan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara” bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhammadiyah,” ujar Haidar.

Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh modernis Muslim,  terutama Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan ketika menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh Islam modernis, walaupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3 Yang jelas saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Muslim lainnya. Karena sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indonesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif, Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lain-lain. Tentu saya juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan tokoh-tokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual kepada mereka semua. 
 
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehormatan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sendiri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua pikiran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur, jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,” ujarnya ketika kami bertemu di National University of Singapore, tahun 2004 yang lalu. 
 
 
( Password : Novel I-One )

Ibu Sinder - Pandir Kelana

WARUNG CLIMEN

Tidak jauh dari Pasanggrahan Ambarukmo, di tepi jalan raya antara Yogya dan Sala, berdiri sebuah bangunan rumah setengah batu yang tampaknya masih agak baru, dihuni oleh  seorang wanita berusia lewat setengah abad. Bagian depan rumah yang berbentuk Joglo itu sudah diubah menjadi sebuah warung sederhana, lengkap dengan papan nama berhuruf Jawa berbunyi "Warung Climen", yang artinya warung sederhana. Keistimewaan warung itu adalah hidangan opor bebeknya. Orang yang semula apriori menolak daging bebek, setelah mencoba opor bebek "Warung Climen", berubahlah seleranya. Ia menjadi penggemar masakan daging bebek.

Letak rumah kediaman yang telah menjadi restoran kecil itu memang agak menyendiri, jauh dari tetangga dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya. Halamannya luas, disediakan untuk tempat parkir kendaraan. Perabot-perabot warung seperti meja, kursi, lincak, tempat  sendok-garpu, tempat abu rokok, semuanya terbuat dari bahan bambu tutul. Ruangan tampak bersih, terawat, rapi dan teratur, mampu memberikan suasana akrab-santai kepada pengunjungpengunjungnya.

Tidak hanya hidangan masakannya saja yang menjadi buah bibir, tapi si pemilik warung pun mengundang perhatian orang. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab "Warung Climen" oleh penduduk desa dan kampung di sekitarnya diberi julukan "Warung Ndoro Ayu". Karena  salah dengar, tersebar luas menjadi "Warung Ayu". Orang lalu mengira pemiliknya seorang wanita muda yang cantik menggiurkan.

Munculnya seorang wanita usia senja misterius di tempat itu sendiri, sudah menimbulkan  tanda tanya. Kabut teka-teki menyelubungi kehadirannya. Siapa sebenarnya wanita itu?  Pribadinya memang sangat menarik. Setua itu ia masih tampak cekatan, langsing berisi, dan atraktif. Ia selalu mengaku sebagai orang desa biasa, tapi wajah cantik, mata  membelalak dengan sorotnya yang berwibawa itu, sulit menyembunyikan asal-usulnya. Tingkah laku dan sikapnya tak ubahnya seperti kebanyakan pemilik warung—sopan-santun, grapyak (ramah tamah), andapasor (merendah)—namun, wibawa yang memancar dari Wajah yang menarik itu memaksa orang untuk menaruh hormat kepadanya.

Berbagai cerita dan kisah bermunculan. Ada yang berkata bahwa wanita itu masih kerabat Keraton. Ada juga desas-desus, bahwa ia janda seorang bupati daerah pesisiran. Lain  orang, lain ceritanya. Namun pemilik "Warung Climen" itu membiarkan saja cerita khayal bertebaran, sebab hal itu malah meningkatkan jumlah pengunjung yang berdatangan. Bahkan akhirnya pemilik warung itu menerima panggilannya yang tetap. Ia terkenal sebagai Ibu Climen.
 
Pagi itu Ibu Climen sedang menikmati pemandangan indah di belakang rumahnya. Di kejauhan, kebiru-biruan, berdiri megah Gunung Merapi, gagah, perkasa, penuh misteri. Asap tebal menjulang tinggi keluar dari puncaknya yang tajam, bermandi-mandi sinar matahari pagi.

Tampak di hadapannya desa dan dukuh, tenang dan damai dalam pangkuan kaki gunung yang sulit diramalkan kemungkinan erupsinya. Tanaman padi kememping (berbutir muda)  bergerakgerak, mengangguk-angguk, mengikuti arah embusan angin. Gumam wanita usia senja itu, 
 "Selamat jalan, Anak-anakku."

MADUGONDO
 
Bersandar pada tongkat kayu kesayangannya, seorang laki-laki berkulit putih, berambut pirang, tubuh tinggi, kokoh, kekar, berdiri mematung melepaskan pandangannya jauh ke ufuk timur.

Bulan berbentuk sabit yang sedang diamatinya, sudah agak tinggi letaknya di atas cakrawala. Angin kumbang meniup-niup berputar-putar, menggerak-gerakkan lautan daun kecoklat-coklatan, tanaman tebu yang hampir siap tebang. Tinggi di udara sekelompok burung bangau santai terbang menyongsong kehadiran sang bulan, seolah-olah mereka belum sadar, bahwa malam telah tiba. Bintang-bintang berkedip-kedip berhamburan di angkasa raya. "Indah, misterius, Insulinde, mijn tweede Vader-land (Indonesia, tanah airku yang kedua)," gumam lakilaki itu.

Sekonyong-konyong tanpa disadarinya, gambaran peristiwa besar yang sedang berlangsung di dunia Barat begitu saja mendesak penampilan keindahan alam yang sedang dikaguminya itu. 

Terbayang-bayang di hadapannya topan peperangan yang sedang menyapu bumi Eropa. Bohemia dan Moravia begitu cepatnya jatuh dalam kekuasaan Jerman Nazi. Sementara itu Polandia sedang mati-matian bertempur menghadapi Divisi-divisi Lapis Baja Adolf Hitler di front barat dan Divisi-divisi Artileri Joseph Sta-lin di front timur. Sebenarnya nasib Polandia sudah dapat diramalkan sebelumnya. Negeri yang patriotik itu akan bertekuk lutut dalam beberapa hari saja.

"Blitzkrieg, blitzkrieg... Quo Vadis, Europa (Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa)?" desahnya.

Van Hoogendorp, begitu nama orang itu, tergugah dari lamunannya ketika mendengar teguran, "Apa yang sedang kaupikirkan, Pap?"

Menoleh, melihat anak tunggalnya yang bernama Ivonne, Van Hoogendorp menjawab, "Kau, Ivo? Indie (Indonesia) begitu indah, ya?"Lalu ajak Ivonne, "Mari, Pap, pulang. Makan malam sudah siap."

"Mari, mari," tanggap ayahnya.

Melewati jalan inspeksi di tengah-tengah tanaman tebu, ayah dan anak santai berjalan menuju sebuah bangunan besar—megah dan anggun. Rumah kediaman resmi Administrator Perkebunan dan Pabrik Gula Madugondo. Rumah besar itu terletak tepat di  tengah-tengah kota Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa? Indonesia kecil yang juga bernama Madugondo. Lahan perkebunan itu merupakan bagian dari Tanah Partikelir, Particuliere Landerij Gondo Arum, milik sebuah perusahaan Belanda, CV. Gebroeders van Zanten.

Memasuki halaman luas berkerikil halus, diayomi oleh sepasang pohon regenboom (pohon trembesi) besar dan rindang, lima ekor anjing Dalmatia menyongsong kedatangan Jonkheer dan Freule van Hoogendorp. Anjing-anjing itu melonjak-lonjak kegirangan, seperti majikan-majikannya itu baru kembali dari suatu perjalanan yang jauh saja.

"Bimo, kom, kom, Bimo! Jangan nakal, ya!" tegur insinyur pertanian lulusan Wageningen itu sambil membelai kepala anjing yang terbesar di antara anjing-anjing yang lain. Sesudah lulus dari Landbouwkundige Hoge-school—Sekolah Tinggi Pertanian di Negeri Belanda, Hendrik van Hoogendorp yang berdarah biru itu langsung mengabdikan dirinya pada perkebunan gula. Berpindah-pindah dari pabrik gula yang satu ke pabrik gula yang lain. Administrator itu masih baru di Madugondo.

Nyonya Van Hoogendorp sudah menunggu kedatangan suaminya di pendapa rumah yang berlantaikan marmer Carara, putih bersih mengkilat, dengan saka-saka guru yang bergaya Yunani—mengenakan gaun panjang berwarna ungu muda. Dia seorang wanita Belanda-Indo, berwajah cantik, atraktif, namun memberikan kesan agak tinggi hati. Kalau sang suami pandai menyesuaikan diri dengan tradisi dan adat-istiadat lingkungannya, sebaliknya istrinya yang berdarah campuran Belanda-Jawa itu malah bertingkah laku kebelanda-belandaan yang berlebihan. Logat, lafal, gaya bahasanya meniru-niru ucapan Belanda totok yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Nederlands-Indie (Hindia-Belanda).

( Password : Novel I-One )

Sumber : ac-zzz.blogspot.com
 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: