Loading

Islamku Islam Anda Islam Kita - Abdurrahman Wahid

Pada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di kawasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulisan disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indonesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih pagi, kira-kira pukul 8 ketika saya datang ke rumah Gus Dur. Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi ketika saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberitahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil saja, ya Mas ...sambil jalan-jalan ...,” ujarnya dengan rileks.

Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran mantan presiden RI ke-empat ini, meskipun senang juga karena Gus Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya, tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil dengan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang-orang yang ingin bertemu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa karena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak apa-apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa menunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka maklum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Akhirnya saya pun tak dapat menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling naik mobil, berputar-putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu.
 
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputarputar di kawasan tersebut, sementara saya sibuk merekam dan mencatat hasil wawancara. Kadang-kadang kami berdua tertawa tergelak-gelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumen-argumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan jawabannya. Ketika sopir menghentikan mobil di rumah Gus Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlama-lama lagi karena mempertimbangkan banyaknya orang yang sudah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpulan artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa menggunting-gunting kumpulan tulisan itu.”

Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apa-apa, di satu sisi saya merasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengantar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan sederhana. Masalahnya bukan saja karena waktu saya yang terbatas, tapi juga karena saya merasa bukan tokoh yang pas untuk mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur, baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, tetapi itu tidak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi pernyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontrover sial, bahkan tidak jarang menimbulkan polemik dan perdebatan antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang berlatar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin. 
 
Terus terang pada awalnya saya khawatir, jangan-jangan editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti justru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan dan tindakannya. Bukan saja karena ia adalah cucu pendiri NU Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur adalah ulama-intelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmopolitan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam.Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.
 
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh sejarah sebagai tokoh terkemuka, tetapi ia bukan seorang wali atau figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang punya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju terhadap gagasan dan sepak terjangnya, tetapi kita tetap harus fair untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di Indonesia. Bagi saya, Gus Dur bersama-sama dengan intekletual Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia.
 
Karena itu ketika dia menawari untuk mengedit dan memberi kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku, secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma berkeyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, ketika tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan teman-teman, mereka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima. Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan  agar saya mengerjakan pekerjaan
editing dan memberi kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA
intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberikan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara” bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhammadiyah,” ujar Haidar.

Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh modernis Muslim,  terutama Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan ketika menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh Islam modernis, walaupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3 Yang jelas saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Muslim lainnya. Karena sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indonesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif, Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lain-lain. Tentu saya juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan tokoh-tokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual kepada mereka semua. 
 
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehormatan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sendiri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua pikiran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur, jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,” ujarnya ketika kami bertemu di National University of Singapore, tahun 2004 yang lalu. 
 
 
( Password : Novel I-One )


Artikel Terkait:

18 komentar:

October 6, 2012 at 6:37 AM Penyuluh said...

postingan yg sangat bagus, menambah ilmu penegetahuan dan wawasan buat saya kawan
terima kasih
selamat pagi dan salam bahagia kawan

October 10, 2012 at 1:13 PM Berkas Askep said...

gusdur mah islamnya sudah batal

October 10, 2012 at 3:22 PM Unknown said...

wawasan buat kita semua... moderat itu bijaksana.
kang Askep batal gimana ya?

October 10, 2012 at 3:41 PM Berkas Askep said...

moderat itu kufur, jika antum buka youtube, banyak fakta membuktikan bahwa gusdur sudah demikian kebablasan salah satu contoh dengan menghadiri seminar kafir kristen dan secara terant-terangan mendukung acara tersebut

October 10, 2012 at 7:42 PM Staff Administrator said...

Klw saya suka akan banyolan aja..khas bgt punya dia.. :)

October 10, 2012 at 8:11 PM Hermanbagus said...

Hahah aku setuju dengan mas budi,

October 12, 2012 at 10:40 AM creativoltz said...

ijin unduh ya sob....

October 16, 2012 at 9:29 PM Penyakit Gagal Ginjal said...

islam kita semua ya gan ...

October 18, 2012 at 1:40 PM aris said...

alhamdulilah ane islam gan

October 18, 2012 at 11:23 PM Icahbanjarmasin said...

Di gramedia ada ga buku ini bang?

October 22, 2012 at 1:57 PM BERBAGI said...

MANTAP POST nya MASSSS

October 22, 2012 at 3:29 PM Anonymous said...

to ASkep>>> kamu punya tetangga / samping rumah pas yang agamanya lain gak??
punya saudara yang agama lain gak??
punya ktp Indonesia gak?

October 23, 2012 at 12:27 AM penyuluh perikanan said...

kunjungan malam sahabatku

November 5, 2012 at 10:30 PM Anonymous said...

Askep mungkin belum pernah haji.... jadi belum rukun islam.

November 6, 2012 at 1:16 PM Wawasanku said...

hello teman apa kabar

November 9, 2012 at 11:34 AM Pak Guru said...

Kontribusi pemikiran Gusdur cukup berpengaruh thdp perkembangan politik Islam di Indonesia. Sukses utk sahabatku...

November 9, 2012 at 9:52 PM Kangmush said...

Yah mudah mudahan amal baiknya di terima dan diampuni segala dosanya,,walaupun sosok gusdur sangat kontroversial,,mudah mudahan dia tenang dikuburnya

November 12, 2012 at 1:52 PM Unknown said...

wow, keren bgt gan :)

nitip lapak ya
http://teman-blogger.blogspot.com

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: