Loading
Showing posts with label Cerita Silat. Show all posts
Showing posts with label Cerita Silat. Show all posts

Ksatria Negeri Salju - Sujoko

Yu Liang Pay

Pegunungan Fan Cing san merupakan pegunungan yang sangat terkenal di Cina Tengah.Salah satu daya tarik pegunungan ini adalah puncak awan merah atau Hung Huang Teng yang merupakan salah satu dari tiga puncak pegunungan yang berada di sebelah utara kota Kwei Yang yang termasuk propinsi Kwei chow (Guizhou). Jika ada awan yang berarak ke puncak ini pawa waktu fajar atau sore, tampaklah semburat kemerah-merahan pada awan itu. Pada jaman kisah ini dituturkan yaitu masa dinasti Sung utara, puncak ini juga dikenal dengan nama puncak Tiong Kiam atau pedang tengah, karena memiliki pemandangan yang unik di puncak yaitu adanya bukit pagoda, yang menjulang di antara bebukitan. Pada waktu awan berarak dan menyelimuti bebukitan, maka puncak ini dilihat dari kejauhan seperti pedang raksasa yang tinggi menembus langit.

Memandang jauh kebawah dari puncak ini terlihat bentang alam yang sungguh mempesona. Bagian dasar pegunungan yang hijau rapat oleh belantara hutan subtropis, bagian atasnya ditumbuhi hutan campuran luruh daun, bagian tengah yang ditumbuhi pohon pinus dan bagian puncak tumbuh pohonan yang mulai jarang diselingi semak dan rerumputan disela-selanya yang pada musim panas menghijau bak beludru.

Pucak Tiong Kiam berketinggian 340 m dan diameter 50 m dari pangkal punggung suatu bukit. Puncak ini dikelilingi bebukitan. Bukit-bukit di sebelah barat dan di sebelah timur dibelah oleh sungai Wu (anak sungai Yang Ce Kiang) yang mengalir dari pegunungan Shao Tong san di wilayah Kwei chow selatan menuju ke kota Chuan Sing, dan bertemu dengan sungai Yang Ce Kiang di timur kota ini, terlihat dari puncak seperti lekuk tubuh naga. Sungai ini pula yang memisahkan propinsi Hunan disebelah timur dengan Propinsi Kwei chow di sebelah barat. Dari puncak ini di sebelah timur meski berjarak ribuan li masih terlihat kota Shao Yang, di sebelah selatan terdapat kota Kwei Yang, yang merupakan kota terbesar di wilayah Kwei chow.

Berlawanan dengan tamasya alam disekelilingnya yang demikian penuh pesona. Pemandangan di bukit pedang itu sendiri sungguh mengerikan. Pada akhir jaman Tang, orang-orang Tionggoan sangat gemar membentuk sekte-sekte magis. Sekte-sekte seperti ini belum mengenal mengubur mayat atau membakarnya secara layak. Mereka memang mengubur badan namun setelah sepuluh tahun lebih, kuburan tersebut dibongkar, dan tengkoraknya dibuatkan lubang-lubang pada dinding bukit pedang, dan menjadikan puncak pedang sebagai berhala sesembahan. 
 
Karena letaknya yang ditengah-tengah dan dianggap strategis, selama ratusan tahun pengunungan ini dijadikan rebutan untuk menjadi markas perkumpulan kaum bulim dan kangouw. Sudah berpuluh perkumpulan atau partai muncul dan runtuh di pegunungan ini. Karena selalu jadi rebutan, tak terhitung pula berapa ribu manusia telah binasa menjadi korban nafsu angkara ingin mendapatkan posisi di tengah ini, meski pada kenyataannya dibandingkan keuntungan lebih banyak kerugian yang ditangguk oleh mereka yang tinggal di pegunungan ini. Satu dapat, yang lain beramai-ramai mengeroyoknya bagaikan seekor harimau dikeroyok puluhan serigala. Dengan melihat deretan relung tengkorak di bukit pedang yang sangat tinggi bagai jendela-jendala pagoda, orang akan tahu betapa di tempat yang mestinya damai itu telah banyak nyawa manusia melayang. Maka lambat laun karena sudah terlalu bosan dan lelah, puncak ini akhirnya ditinggalkan oleh rombongan penghuni terakhir dari sekte Shin.

Setelah puluhan tahun kosong, di akhir dinasti Tang puncak ini kembali di datangi oleh berbagai golongan karena terjadi pergolakan di mana-mana. Kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian akhirnya kembali berbondong-bondong ke Fan Cing san. Salah satu rombongan yang kembali datang adalah orang-orang dari sekte Shin yang dipimpin oleh Huang Shin. Dulu Huang Shin muda dan kawan-kawannya termasuk yang menolak untuk meninggalkan Fan Cing san, namun tak mampu menolak keputusan tetua. Rombongan lainnya berasal dari berbagai kota. Dua rombongan yang terbesar adalah golongan Duang yang dipimpin oleh Tan Hong Bu dari Siang Tan dan golongan Im Yang Pay yang dipimpin Kang Kiu Yang dari Kwei Yang. Untuk menghindari perebutan demi perebutan Huang Shin, memutuskan untuk menyatukan berbagai golongan yang berebut itu. Huang Shin membagi wilayah-wilayah yang bisa ditempati dengan cukup adil, dan menawarkan kepada tiga kelompok terbesar untuk menyatu membentuk satu perkumpulan besar. Huang Shin membangun pusat perkumpulan di puncak bukit di sebelah selatan Tiong Kiam. Singkat cerita terbentuklah satu perkumpulan besar gabungan beberapa golongan yang dipimpin tiga golongan, yang bernama Yu-liang-pay.

Untuk menghindari bentrokan maka Huang Shin membuat peraturan bahwa ketua partai harus dijabat secara bergiliran dari ketiga golongan. Dengan urutan sekte Ming, Duan dan Im Yang. Adapun para anggota dibebaskan untuk mempelajari ilmu dari ketiga perkumpulan itu. Untuk menyatukan berbagai kelompok, maka selama beberapa tahun Huang Shin bersama kedua tetua yang lain menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dinamakan Yu Liang Kiamhoat. Pada masa inilah tradisi menyimpan tengkorak di dinding bukit dihapuskan. Itulah sekilas sejarah Yuliang-pay, tempat kisah ini dimulai.

Pagi itu, tanggal ke enam bulan ke lima, tahun 978 merupakan suatu pagi yang cerah di musim semi. Burung-burung yang beterbangan, kupu-kupu yang menari disela-sela semak dan bunga-bunga yang bermekaran, kesegaran udara musim semi yang melapangkan dada dan urat-urat kepala.

Beberapa pepohonan yang semula tinggal batang dan ranting seperti bayi yang bugil, kembali dihiasi daun-daun baru. Sedangkan pohon yang lain menyambut datangnya musim semi  dengan menumbuhkan kuncuk-kuncup bunga yang sebagian telah bermekaran. Bagi mereka yang pernah mengujungi keindahan musim semi di puncak ini tak heranlah mengapa tempat ini menjadi rebutan. Fan Cing san adalah gunung yang menyimpan keragaman bunga yang paling tinggi seluruh daratan Cina waktu itu, lebih dari empat per lima bunga yang ada di Tionggoan dapat dijumpai di sini, mulai bunga siang, bunga lee, bunga kiok, bunga anggrek, bunga jit dan yang lainnya. Namun kedamaian pagi itu terusik dengan suara kaki-kaki manusia yang menapaki puncak secara berombongan. Berbondong-bondong rombongan orang berpakaian singsat menaiki dari berbagai jurusan. Sebagian naik dengan berjalan lambat sambil menikmati wisata alam gunung Fan Cing san yang sangat indah. Kelompok yang datang belakangan menaiki punggung bukit dengan gerakan yang sangat gesit. Beberapa orang dari setiap kelompok terlihat membawa pedang atau golok. Dari gerakan dan dandanan, tampak mereka adalah orang-orang kangouw yang berkepandaian. Ada apakah yang terjadi di puncak sana?
 
Di awal musim semi ini, Yu-liang-pay mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 100. Ulang tahun yang spesial sehingga dirayakan cukup meriah oleh Yu-liang-pay. Tamu dari berbagai golongan semua diundang dalam pesta itu. Dari rombongan putih terlihat tamu dari Siauw-lim Pay, Kun-lun-pay, dan Kong Thong Pay, ketiga perguruan ini merupkan perguruan tua yang sudah berdiri pada masa itu. Dari rombongan lain dari berbagai golongan, sedangkan dari golongan hitam juga ikut menghadiri pesta yang berasal dari kelompok Pek Tung Pang, Ang Lian Pang, Hek In Pang, dan Tok Nan-hai Pang. Saat itu di halaman depan Yu-liang-pay yang luas telah dipasang tenda, dan ditata kursi secara setelah lingkaran. Tanpa dipersilakan para tamu langsung mengambil posisi duduk masing-masing, seolah-oleh sudah tahu dimana tempat mereka seharusnya. Kelompok hitam dan putih tanpa dikomandopun mengambil posisi yang memisah, kelompok pendekar berada di sebelah kanan sedang kelompok penjahat berada di sebelah kiri. Riuh rendah obrolan yang diucapkan oleh semua orang seperti pasar. Harap maklum mereka jarang sekali dapat kesempatan bertemu dengan anggota partai atau perguruan lain, apalagi dalam jumlah yang boleh dikatakan lengkap seperti saat itu. Obrolan paling hangat tentu saja kabar burung mengenai ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat yang berhasil disempurnakan oleh Yu Liang Pangcu. Seperti apakah gerangan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itulah yang membuat penasaran kaum kangouw, sehingga mereka rela berlelah-lelah menempuh perjalanan ribuan li. Di tengah-tengah ruangan yang bertenda berdiri sebuah panggung, tempat berbagai pertunjukan.

Pada waktu itu Yu-liang-pay dipimpin oleh Kwan Liong Ping, generasi ke empat dari golongan Duang. Jika melihat betapa besarnya Yu-liang-pay yang memiliki banyak anggota, area gedung-gedung yang luas dan usia yang cukup tua untuk ukuran partai saat itu, maka para tetamu memandang heran dengan penampilan Yu Liang Pangcu Kwan Liong Ping ini. Usia Liong Ping saat itu tidak lebih dari lima puluh lima tahun, suatu umur yang termasuk sangat muda untuk ukuran pemimpin partai besar saat itu. Sebagai perbandingan ketua Siauw-lim Pay sudah berusia seratus sepuluh tahun, sedangkan ketua Kong Thong Pay berusia sembilan puluh lima tahun.

Setelah tamu berdatangan Liong Ping memasuki ruangan dan duduk di kursi yang telah disediakan. Ia memakai jubah sutera biru tua yang bersulam, tampak gagah berwibawa. Sinar matahari pagi yang mulai terang membuat wajah ketua ini tampak dengan jelas oleh seluruh hadirin. Meskipun sudah berusia di atas lima puluh tahun, namun wajah itu masih tampak tampan dan padat. Janggut dan kumis pria yang agak kurus dan jangkung tetapi masih kelihatan gagah bersemangat ini dicukur rapi. Rambutnya disisir rapi dan kelimis, disanggul ke belakang, dan ditali kain yang menjuntai. Di sebelah kirinya duduk Sam Pangcu Siong Hok Cu seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermuka mulus, berjenggot tipis dan bertubuh tinggi gagah. Kepalanya ditutup kopyah pada bagian belakang terlihat mencuat ke samping khas gaya Tang. Sedangkan di sebelah kanan duduk Ji Pangcu Lauw Kian Bu, pria berusia lima puluh tiga tahun, berwajah dusun berbaju hijau tua sederhana dari kain katun. Di belakang ketiga orang ketua ini duduk para tetua yang berusia lebih dari enampuluh tahun dengan sikap keren, semuanya berbaju hitam dan berpenutup kepala kain warna merah. Mereka tokoh kawakan dari generasi tua. Setelah hampir semua perwakilan yang diundang datang, Ji Pangcu menaiki panggung dan berkata dengan lantang:

“Cuwi sekalian, mewakili tuan rumah kami mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam atas kehadiran cuwi memenuhi undangan kami. Perkenalkanlah saat ini kami bertiga adalah pimpinan di Yu-liang-pay, toa pangcu kami adalah Kwan Liong Ping, aku sendiri ji pangcu dan yang duduk di samping kiri toa pangcu adalah sam pangcu Siong Hok Cu. Berbahagia sekali pada kesempatan yang baik ini kami dapat merayakan ulang tahun Yu-liangpay yang ke seratus. Pertama-tama perkenankanlah kami untuk menghormati leluhur kami terutama adalah sucouw kami Huang Shin.”

Dengan dipimpin oleh Kwan Liong Ping yang membawa tiga biting dupa, para murid Yuliang-pay kemudian berlutut menghormat meja sembah yang di atasnya masih disimpan abu Huang Shin dan kedua pendiri lainnya. Pada bagian yang biasa ditempati cermin pada meja itu ditempel gambar Huang Shin dalam ukuran cukup besar. Setelah selesai bersembahyang ji pangcu berseru:
 
“Silahkan dicicipi hidangan arak dan makanan yang telah kami siapkan, dan hiburan tari-tarian yang sebentar lagi akan kami panggungkan.”

Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan memuji keberhasilan Yu-liang-pay membentuk partai yang besar dan kuat, mereka kembali duduk ke tempat masing-masing sambil  terus saling bercerita tentang pengalaman mereka di dunia persilatan. Dengan cekatan pelayan mengedarkan arak dan makanan. Mereka semua makan minum dengan gembira sambil menikmati hiburan tari-tarian baik tarian yang berasal dari timur maupun dari barat. Sampai kemudian terdengan celetukan dari salah seorang tamu. 

“Wahh...kapan pertunjukkan Kiamhoatnya?”

Celetukan itu segera ditingkahi berbagai cecowetan tamu lainnya. Toa pangcu memberi kode pada seorang murid. Selanjutnya seorang murid wanita maju ke atas panggung. Ia berumuran tigapuluh tahunan, wajahnya terlihat cukup cantik dan montok, namun baju hitam dan pedang yang berwarna gelap pekat yang dikenakannya membuat kesan yang menggiriskan. Setelah memberi hormat ke semua sisi dengan bersoja, mulailah ia memainkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat. Gerakannya mula-mula lembut dan indah, seperti tarian bidadari, tapi lama-kelamaan gerakannya makin hebat, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata penonton yang tingkat ilmunya rendah berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang gelap itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuh mangsanya. Ujung pedangpun seolah berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga. Gerakan itu seakan-akan memancarkan hawa magis yang dasyat sehingga penonton yang jaraknya jauh terlihat menggoyang kepala dan badannya karena seakan-akan serangan pedang itu mengarah ke dirinya. Pada jurus ke enampuluh setelah bersalto dua kali secepat kilat wanita itu berteriak sambli melontarkan pedangnya ke belakang.


Ikuti Cerita Selanjutnya....!!!


( Password : Novel I-One )



Pendekar Cinta - Widi Widayat

Pemandangan gunung Thai San di musim semi sangat indah, dimana-mana akan tercium harum bunga dan rerumputan dalam tiupan angin sepoi-sepoi. Juga tidak ketinggalan gemericik air terjun dan sejuknya belaian angin gunung.
 
Di lereng-lereng gunung dan jurang bermekaran bunga-bunga liar seolah menyambut kedatangan tamu dari jauh. Bunga-bunga di Gunung Thai San kebanyakan tumbuh tebing-tebing terjal, maka hanya dapat dipandang dari jauh. Hanya mereka yang memiliki ginkang yang tinggi dapat memetik dan merasakan harum semerbaknya bunga gunung Thai San.

Setiap musim semi, gunung-gunung di sini menjadi lautan bunga persik, ada yang warna putih, ada pula yang merah. Lembah-lembah di sini penuh ditumbuhi pohon persik.
 
Setiap musim semi, dilihat dari jauh, bunga-bunga persik warna merah jambu menghias seluruh pemandangan."
 
Udara cerah dan jarang kabut membuat pelancong jarang melewatkan kesempatan untuk melihat matahari terbit dari lautan awan di puncak gunung.
 
Di gunung Thai San ini terdapat lebih 300 puncak, 260 sungai.Dan untuk mencapai puncak-puncak gunung itu tidaklah mudah, hanya ahli silat kelas satu yang dapat mendaki puncak gunung Thai San.Parapemburu umumnya hanya berburu sampai di sekitar kaki gunung, jarang yang mampu sampai ke puncak gunung.
 
Pagi hari, awan dan kabut tipis membubung perlahan-lahan menyelimuti seluruh Gunung Thai San.Dilihat dari bawah gunung, puncak gunung tampak samar-samar, kadangkadang tertutup oleh awan, dan dilihat dari puncak gunung, tampak lautan awan.Kadangkadang di atas gunung kabut tebal menutup pemandangan, sedang di bawah gunung hujan rintik-rintik; setelah kabut buyar, terhampar di depan mata pemandangan yang indah menawan.

Jauh di atas puncak tertinggi gunung Thai San terdengar sayup-sayup suara beradu denting logam. Ternyata suara itu berasal dari dua pasang pedang yang berkilauan di timpa sinar matahari pagi.
 
Terlihat seorang pemuda tujuh belasan tahun dengan tubuh yang kekar dan kuat sedang berlatih sejenis ilmu pedang sedang menyerang dengan sepenuh hati lawan tandingnya seorang tua berkisar 75 tahunan dengan rambut dan jenggot yang sudah putih semua melayani serangan si pemuda dengan sungguh hati. Yang mengherankan untuk orang setua itu masih memiliki daya tahan yang kuat untuk menahan dan membalas serangan pedang si pemuda dengan ilmu pedang yang sama.
 
Teknik pedang yang dipergunakan jelas merupakan salah satu ilmu pedang terhebat. Gerakan ilmu pedang tersebut seolah-olah awan-awan yang menutupi matahari. Sepintas ilmu pedang ini terlihat sangat dasar dan biasa-biasa saja. Namun bagi mereka yang pernah merasakan langsung gerakan ilmu pedang ini terasa timbul medan energi pelindung yang dapat menahan semua serangan lawan dan bahkan dapat menjadi serangan senjata makan tuan bagi siapa saja yang berada dalam lingkupan cahaya pedang.

Si pemuda memiliki kecepatan yang mengagumkan sedangkan si orang tua memiliki pertahanan yang sangat kokoh bak gunung Thai San yang tak tergoyahkan.


Download Novel Pendekar Cinta
( Password : Novel I-One )
 

Banjir Darah di Borobudur

Banjir Darah Di Borobudur adalah salah satu cerita silat karya sang legenda Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Pada masa jayanya dulu, sang legenda ini mampu membuat para pembaca merelakan sudut-sudut kamarnya untuk dipenuhi ratusan judul karya sang legenda tersebut.

Setting cerita Banjir Darah Di Borobudur dibangun pada masa dimana di Jawa Tengah berkuasa dua kerajaan besar yaitu kerajaan Syailendra dan kerajaan Mataram. Kerajaan Syailendra adalah kerajaan Buddha yang dipimpin oleh raja Samaratungga sementara kerajaan Mataram adalah kerajaan Hindu dengan rajanya yang terkenal yaitu, Prabu Sanjaya. Pada masa itu pula sering terjadi konflik antara pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Buddha. Konflik inilah yang kemudian berkembang menjadi permusuhan antara kedua kerajaan. Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan masalah ini dan menciptakan kerukunan diantara pemeluk agama Hindu dan Buddha : Perkawinan.

Kho Ping Hoo yang dengan tangkas meracik kisah sejarah dengan unsur-unsur fiktif menjadikan cerita ini menarik untuk disimak. Gaya penuturannya yang sangat sederhana bukan merupakan kelemahan, tapi menjadi suatu daya tarik tersendiri.
 
 

Kelelawar Iblis Merah

 

Serial Pendekar Gila
dalam episode 05:
Kelelawar Iblis Merah
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
128 hal. ; 12 x 18 cm




Cit! Cit! Ciiit...!
Setelah mencicit keras, kelelawar merah itu menukik ke bawah. Lalu, kedua sayapnya berkelebat cepat. Wusss!

"Edan! Kelelawar itu benar-benar hendak membunuhku!" maki Pendekar Gila sambil menundukkan tubuhnya, mengelakkan serangan sayap kelelawar itu.

Brak! Krak! Pohon yang terkena hantaman sayap kelelawar itu tumbang seketika.
Begitu pula dunia persilatan digoncangkan oleh kemunculan kelelawar raksasa itu. Korban banyak berjatuhan, dan terus menjadi mangsanya.

Mampukah Pendekar Gila menghadapi Kelelawar Iblis Merah yang terkenal ganas dan buas itu? Dan, siapa sesungguhnya pemilik kelelawar itu?



Pedang Keramat Thian Hong Kiam

 

Pada tahun 870 sampai 873 rakyat Tiongkok menderita hebat sekali karena buruknya pemerintah yang dipegang oleh Dinasti Tang. Pembesar-pembesar dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terendah sampai yang tertinggi, semua melakukan korupsi besarbesaran, hingga tenaga dan harta benda rakyat diperas habis-habisan.




Di antara sekalian pembesar-pembesar koruptor tinggi, kaum Thaikam (orang kebiri) yang paling hebat menjalankan peranan. Mereka ini tidak saja berpengaruh di dalam istana kaisar, tapi meluas sampai keluar hingga boleh dibilang, semua pembesar militer dan sipil berada dalam genggaman tangan mereka. Lebih dari setengah bagian dari pada seluruh tanah di ibukota dikuasai oleh para Thaikam ini.

Para petani, atau lebih tepat disebut buruh tani, bekerja di atas tanah tuan-tuan besar ini melebihi kerja seekor kerbau. Sedangkan para petani yang memiliki sedikit tanah, dikenakan pajak yang sangat tinggi. Untuk tiap mou sawah, seorang petani harus membayar pajak dari 50 sampai 100 kati gandum.

Tentu saja ini merupakan delapan bagian dari pada hasil tanah mereka. Apalagi ketika dalam tahun 873 di daerah Shantung dan Honan terserang musim kering yang hebat, sedangkan pajak yang telah ditetapkan itu sama sekali tidak berubah atau dikurangi.

Celakalah nasib kaum tani. Siapa yang tidak kuat membayar pajak sebagaimana yang telah ditetapkan, dihukum berat.

Hukuman yang paling ringan adalah hukum cambuk lima puluh kali. Tapi hukuman yang disebut paling ringan inipun sering mengantar nyawa seseorang ke alam baka, karena siapakah yang kuat menahan pukulan cambuk besar sampai lima puluh kali, sedangkan tubuh yang dicambuk itu telah begitu kurus kering karena kurang makan?

Ada nasehat-nasehat kuno yang menyatakan bahwa rakyat jelata akan tunduk dan menurut apabila perut mereka kenyang, maka kenyangkanlah dulu rakyat jelata jika menghendaki Negara tenteram dan aman. Pada tahun 874, terbuktilah betapa tepatnya kata-kata itu.

Para petani yang terjepit dan menderita dengan perut kosong, tak dapat bertahan lagi dan menjadi nekad. Maka pecahlah pemberontakan pertama di Cang-yuang (Shantung) yang dipimpin oleh Ong Sien Ci, dan pemberontakan ini didukung oleh hampir seluruh rakyat kecil. Pada tahun berikutnya, rakyat di Coa-chau memberontak pula, dipimpin oleh seorang patriot bernama Oey Couw.

Empat tahun kemudian, Ong Sien Ci tewas dalam sebuah pertempuran melawan tentara kerajaan Tang di Hupeh. Akan tetapi dalam sesuatu revolusi suci, tewasnya seorang dua orang, bahkan ratusan atau ribuan orang, tak menjadi soal dan sama sekali takkan memadamkan api revolusi yang menggelora. Mati satu maju dua, gugur seratus maju seribu.

Demikianlah, setelah Ong Sien Ci tewas, Oey Couw segera menggantikan dan memegang pimpinan atas barisan pemberontak yang berjumlah tidak kurang dari enam puluh laksa orang. Oey Couw yang gagah perkasa menjalankan taktik gerilya di sepanjang propinsi Hupeh, Kiangsi, Cekiang dan An hwei lalu memutar dan kembali ke Honan, hingga dalam operasinya ini, Oey Couw telah melakukan semacam “long march” yang jauhnya sepuluh ribu li lebih.

Akhirnya, berkat semangat para tentara rakyat yang gigih melawan tentara Tang yang hanya pandai menerima suapan dan sogokan serta merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang itu dapat dipukul hancur.

Kaisar Tang melarikan diri mengungsi ke Secuan dan pasukan petani memasuki ibukota Cang-an, disambut oleh penduduk dengan gembira dan penuh harapan.


 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: