Loading
Showing posts with label Novel Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Novel Indonesia. Show all posts

Riwayat Soeharto di Majalah Tempo

SETELAH DIA PERGI

DENGAN tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah tiang-lain soal Anda patuh atau keberatan-Soeharto yang berpulang Ahad dua pekan lalu sudah menjadi "pahlawan". Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan kemudian, ia masih seorang master dengan kuasa penuh.

Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan berita kematian pedagang "gorengan" Slamet, yang putus asa lalu bunuh diri akibat harga kedelai ekstra tinggi. Semua stasiun televisi-beberapa memang milik anak-anaknya mengarahkan moncong kamera ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah perjalanannya ketika mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja. 
 
Di rumah sakit, keluarga menetapkan "protokoler" ketat: hanya mereka yang mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota lingkaran dekat lolos seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos, entah kenapa tak masuk hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut Soeharto sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu.

Ketika ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat mengalahkan sinetron mana pun-artinya iklan pasti datang berduyun-duyun. Usaha "menggoreng" perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil.

Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati dan dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya, seakan keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah "dunia" yang diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat.

Sebentar lagi, setelah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak lagi menjadi berita, yang tersisa adalah kasus perdata yayasan Soeharto, dan debat tentang status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya. Setelah apa yang diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir untuk menolak waris itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam perkara perdata.

Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah tinggal menyatakan kebijakan zaman Soeharto yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, melawan hukum, atau membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan diri dan kelompok sendiri. Siapa pun yang menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa langsung ditetapkan sebagai obyek pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar. Selama ini mereka tidak melakukan usaha apa pun untuk menolak "madu" privilese yang mereka isap dengan riang.

Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber dari privilese, atau yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa ke pengadilan. Secara prinsip, menikmati keuntungan dari kebijakan yang melawan hukum termasuk perbuatan melawan hukum juga.

Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti tambahan untuk mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu.

Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang badan dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang kini mereka puja dan sudah begitu banyak memberikan "gula-gula" kepada mereka. Hanya pengecut tulen yang sanggup "menusuk" sang tuan yang sudah di alam baka.

Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin menegakkan keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk menjamin persamaan kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa tindakan apa-apa, fasilitas istimewa dan kenikmatan yang selama ini diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah berakhir. Hanya kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung.

Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni-tindakan yang diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan kasus ini lebih penting ketimbang sibuk mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto-usul yang dipekikkan lantang Priyo Budi Santoso, orang Golkar yang pernah tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi itu.


LEGASI TAK BERJUANG

Jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar.

Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, setelah jenazahnya dikebumikan di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu terus mengharu biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ.

Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif ketika separatisme mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini.

Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini?

Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat baik maupun buruk-ia melakukannya, silih berganti. Namun ada proses yang seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang panjangnya hanya bisa dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu sentralisasi, bahkan kemudian  personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri.

Tak aneh, para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru dengan kerajaan Jawa Mataram-sistem politik dengan konsep yang menempatkan raja sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja adalah sosok sakti, sangat sakti. Dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson dalam bukunya yang klasik The Idea of Power in Javanese Culture, legitimasi tidak datang dari manusia. Dengan kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar atau tidak, tampaknya yakin dialah titik pusat itu. 
 
Proses sentralisasi mungkin bisa tercium sejak dini. Tepatnya tatkala ia menyederhanakan partai-partai-kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah peninggalan demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Pada Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, partai yang jumlahnya puluhan itu menjadi hanya sepuluh partai. Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar. 
 
Waktu itu, para demokrat pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66 yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. "Kami tahu dia tentara yang tidak senang politik," kata Arief Budiman, salah seorang aktivis.

Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan pada pundaknya. Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan surat kabar yang dibredel Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat "menjelma" menjadi koreksi terhadap Orde Lama; dan Soeharto sendiri merupakan koreksi terhadap Soekarno. Ia terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintah yang gemar mengutarakan slogan-slogan, pemerintah yang sibuk berseru ganyang Malaysia dan membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai 600 persen. Sebuah program pembangunan direntangkan, inflasi dikendalikan, dan Indonesia mulai memasuki pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Modal asing berdatangan.

Tapi pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata tidak berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar pengikisan selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu golongan. Peristiwa Malari (1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan gagasan Tien Soeharto, Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi. Tantangan para mahasiswa kali ini dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah yang dulu toleran dan terbuka itu pun digantikan wajah galak dan represif. Beberapa tahun kemudian, 1978-1979, tantangan yang frontal dari mahasiswa dijawab dengan NKK/BKK-larangan berpolitik bagi para mahasiswa di kampus.

Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu pun mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri Presiden Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel dan terjun ke dunia bisnis berbekal "hak-hak istimewa" sebagai anak presiden. Sebuah edisi majalah Forbes memberitakan, setelah krisis moneter 1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai US$ 16 miliar.
Dalam memoarnya yang tebal, From Third World to First, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyebut, "Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya perlu menjadi begitu kaya." Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto telah mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani pada akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan aneka privilese bisnis.

Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Eriyanto dalam buku Kekuasaan Otoriter, Soeharto adalah tipe manusia yang mendasarkan diri pada an act of faith-perbuatan berdasarkan keyakinan-dan bukan tipe jenis an act of reason, perbuatan berdasarkan akal. Karena itu, banyak ucapan dan tindakan Soeharto yang mengejutkan, tapi ia tidak pernah ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak perlu pertimbangan rasional ketika membubarkan PKI, tapi karena keyakinannya sendiri. Dalam biografi yang disusun O.G. Roeder, ditunjukkan betapa yakin Soeharto ketika mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat. "Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri."

Dan agaknya dengan keyakinan yang sama pulalah ia memutuskan untuk melancarkan operasi "petrus" alias penembakan misterius untuk membasmi preman. Sikap keras yang sama boleh jadi mendasari keputusan untuk melakukan tindakan drastis yang melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan sejumlah tempat lain. Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia ini sungguh tak mudah dihapuskan begitu saja.

Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk yang begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu berarti hampir separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini. Dalam Kabinet Pembangunan VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat menjadi Menteri Sosial. Dan manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada seorang Menteri Sosial kemudian terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan sebuah suksesi yang tidak berbeda dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung mengambil alih peran ayahnya.

Gaya Soeharto memang sentralistis, nepotistis, dan kerap kali represif. Tapi dari cara itu lahir pula program kesejahteraan yang berhasil-dan ujung-ujungnya menampilkan citranya yang populis. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, buku yang berisi kumpulan tulisan yang membahas periode itu, menyebut keberhasilan Keluarga Berencana, program yang bermula pada 1970 dan bertumpu pada pertimbangan nilai-nilai ekonomi semata. Soeharto percaya setiap anak membutuhkan sandang, pangan, pendidikan; dan segenap kebutuhan itu tak mungkin terpenuhi jika negeri ini mengalami ledakan pertumbuhan penduduk.

Pelaksanaan program Keluarga Berencana bersifat top-down dan sama sekali tidak berasal dari aspirasi masyarakat. Dengan Tien Soeharto pada puncak organisasi, dan didukung istri pemimpin tertinggi di daerah-daerah, mesin birokrasi menggerakkan program Keluarga Berencana sampai ke desa-desa terpencil. Di dalamnya ada represi yang berbuah sejumlah kisah pedih, walau dunia melihatnya sebagai prestasi.

Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat serta keluarga dekat tumbuh menjadi satu-satunya kalangan yang bertanggung jawab atas aneka gejala sosial ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan, korupsi yang demikian mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter 1997-1998.

Ahad dua pekan lalu, hidupnya yang panjang berakhir sudah, tapi lakon dan legasinya-baik yang lama maupun yang belum lagi terungkap-terus menghantui negeri ini.


Ikuti Kisah Selanjutnya....!!!
 

( Password : Novel I-One )




Bung Karno Pejambung Lidah Rakjat Indonesia


TJARA jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannja seorang jang maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan melebihi daripada segala-galanya ia tjinta kepada dirinya sendiri.

Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas pandjang apabila menjaksikan pemandangan jang indah. Djiwanja bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menjanjikan lagu spirituil orang negro.

Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banjak memiliki darah seorang seniman."Akan tetapi aku bersjukur kepada Jang Maha Pentjipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa mendjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 djuta rakjat menjebutku ? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak-azasinja, setelah tiga setengah abad dibawan pendjadjahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi ditahun 1945 dan mentjiptakan suatu Negara Indonesia jang bersatu, jang terdiri dari pulau Djawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda ?

Irama suatu-revolusi adalah mendjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki djiwa seorang arsitek. Dan didalam djiwa arsitek terdapatlah unsur-unsur perasaan dan djiwa seni. Kepandaian memimpin suatu revolusi hanja dapat ditjapai dengan rnentjari ilham dalam segala sesuatu jang dilihat. Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia-perasaan dan bukan manusia-seni barang sedikit ?

Namun tidak setiap arang setudju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua orang menjadari, bahwa djalan untuk mendekatiku adalah semata-mata melalui hati jang ichlas. Tidak semua orang menjadari, bahwa aku ini tak ubahnja seperti anak ketjil. Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati jang keluar dari lubuk-hatimu, tentu aku akan mentjintaimu untuk selama-lamanja.

Akan tetapi berilah aku seribu djuta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini njawa tantangannja aku akan berkata kepadamu, "Persetan !"

Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu-satunja bangsa didunia jang mempunjai sedjenis bantal jang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Disetiap tempat-tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal ketjil berbentuk bulat-pandjang jang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanja hanja untuk dirangkul sepandjang malam.

Aku mendjadi orang jang paling menjenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus persahabatan, sirnpati terhadap persoalan-persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menjambutku. Sekalipun ia tak diutjapkan, ia dapat kurasakan. Dan sekalipun rasa-tidak-senang itu tidak diutjapkan, aku djuga dapat merasakannja. Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink. Dengan satu perkataan jang lembut, aku akan melebur. Aku bisa keras seperti badja, tapi akupun bisa sangat lunak.

Seorang diplomat tinggi Inggris masih belum menjadari, bahwa kuntji menudju Sukarno akan berputar dengan mudah, kalau ia diminjaki dengan perasaan kasih-sajang. Dalam sebuah suratnja belum lama berselang jang ditudjukan ke Downing Street 10 ia menulis, "Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus jang terdesak.

"Suatu utjapan jang sangat bagus bagi seseorang jang telah mempersembahkan seluruh hidupnja kepangkuan tanah-airnja, orang jang 13 tahun lamanja meringkuk dalam pendjara dan pembuangan, karena ia mengabdi kepada suatu tjita-tjita. Mungkin aku tidak sependapat dan sependirian dengan dia tetapi seperti seekor tikus ? Djantungku berhenti mendenjut ketika surat itu sampai ditanganku. Ia mengachiri suratnja dengan mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan jang paling buruk dalam surat-surat kabar.

"Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekedjap. Kadang-kadang, dilarut tengah malam, aku menelpon seseorang jang dekat denganku seperti misalnja Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, "Bandrio, datanglah ketempat saja, temani saja, tjeritakan padaku sesuatu jang gandjil, tjeritakanlah suatu lelutjon, bertjeritalah tentang apa sadja asal djangan mengenai politik. Dan kalau saja tertidur, ma'afkanlah." Aku membatja setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi djam lima pagi. Untuk pertamakali dalam hidupku aku mulai makan obat-tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.

Aku bukan manusia jang tidak mempunjai kesalahan. Setiap machluk membuat kesalahan. Dihari-hari keramat aku minta ma'af kepada rakjatku dimuka umum atas kesalahan jang kutahu telah kuperbuat, dan atas kekeliruan-kekeliruan jang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahanku ialah, bahwa aku selalu mengedjar suatu tjita-tjita dan bukan persoalan-persoalan jang dingin. Aku tetap mentjoba untuk menundukkan keadaan atau mentjiptakan lagi keadaan-keadaan, sehingga ia dapat dipakai sebagai djalan untuk mentjapai apa jang sedang dikedjar. Hasilnja, sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakjatku, aku mendjadi korban dari serangan-serangan jang djahat.

Orang bertanja, "Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu ?" Sudah tentu aku merasa tersinggung. Aku bentji dimaki orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti djuga setiap manusia lainnja ? Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin disenangi orang. Aku mempunjai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorangpun tanpa ego dapat menjatukan 10.000 pulau-pulau mendjadi satu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula jang tidak angkuh ? Bukankah setiap orang jang membatja buku ini ingin mendapat pudjian ?

Aku teringat akan suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan jang bertentangan tentang diriku. Kadang-kadang seorang Kepala Pemerintahan tidak tahu, mana jang harus dipertjajainja. Jang pertama berasal dari madjalah "Look". "Look" menjatakan, bahwa rakjat Indonesia semua menentangku. Madjalah ini memuat sebuah tulisan mengenai seorang tukang betja jang mengatakan seakan-akan segala sesuatu di Indonesia sangat menjedihkan keadaannja dan orang-orang kampungpun sekarang sudah muak terhadap Sukarno.

Kusudahi membatja artikel itu pada djam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap hendak berdjalan-djalan selama setengah djam, seperti biasanja kulakukan dalam  lingkungan istana-inilah satu-satunja matjam gerak badan bagiku seorang pedjabat polisi jang sangat  gugup dibawa masuk. Sambil berdjalan kutanjakan kepadanja, apa jang sedang dipikirkannja."Ja, Pak," ia memulai, "Sebenarnja kabar baik." "Apa maksudmu dengan sebenarnja kabar baik ?" tanjaku. "Ja," katanja, "Rakjat sangat menghargai Bapak. Mereka mentjintai Bapak. Dan terutama rakjat-djelata. Saja mengetahui, karena saja baru menjaksikan sendiri  suatu keadaan jang menundjukkan penghargaan terhadap Bapak. Kemudian ia berhenti. "Teruslah," desakku, "Katakan padaku.

Darimana engkau dan siapa jang kautemui dan apa jang mereka lakukan ?" "Begini, Pak," ia mulai lagi. "Kita mempunjai suatu daerah, dimana perempuan-perempuan latjur semua ditempatkan setjara berurutan. Kami memeriksa daerah itu dalam waktu-waktu tertentu, karena sudah mendjadi tugas kami untuk mengadakan pengawasan tetap. Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak tahu apa jang mereka temui - Mereka menjaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan didinding." "Dimana aku digantungkan ?" tanjaku kepadanja. "Ditiap kamar, Pak. Ditiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat-tidur. Dekat tiap randjang ada medja dan tepat diatas medja itu disitulah gambar Bapak digantungkan. "Dengan gugup ia mengintai kepadaku sambil menunggu perintah. "Pak, kami merasa bahagia karena rakjat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wadjar kalau gambar Presiden kita digantungkan didinding rumah pelatjuran. Apa jang harus kami kerdjakan ? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu ?" "Tidak," djawabku. "Biarkanlah aku disana. Biarkan mataku jang tua dan letih itu memandangnja! "Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini jang menimbulkan demikian banjak perasasn pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipudja bagai Dewa.Tidak djarang kakek-kakek datang berkundjung kepadaku sebelum mereka imengachiri hajatnja. Seorang nelajan jang sudah tua, jang tidak mengharapkan pudjian atau keuntungan, berdjalan kaki 23 hari lamanja sekedar hanja untuk sudjud dihadapanku dan mentjium kakiku. Ia menjatakan, bahwa ia telah berdjandji pada dirinja sendiri, sebelum mati ia akan melihat wadjah Presidennja dan menundjukkan ketjintaan serta kesetiaan kepadanja. Banjak jang pertjaja bahwa aku seorang Dewa, mempunjai kekuatan-kekuatan sakti jang menjembuhkan.

Seorang petani-kelapa jang anaknja sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan minta air untuk anaknja. Hanja air-leding biasa dan jang diambil dari dapur. Ia jakin, bahwa air ini, jang kuambil sendiri, tentu mengandung zat-zat jang menjembuhkan. Aku tidak bisa bersoal-djawab dengan dia. karena orang Djawa adalah orang jang pertjaja kepada ilmu kebatinan, dan ia jakin bahwa ia akan kehilangan anaknja kalau tidak membawa obat ini dariku. Kuberikan air itu kepadanja. Dan seminggu kemudian anak itu sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan perdjalanan kepelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri jang paling utara dari pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat dan jang paling timur. Beberapa tahun jang lalu aku mengundjungi sebuah desa ketjil di Djawa Tengah. Seorang perempuan dari desa itu mendatangi pelajanku dan membisikkan, "Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah kepada saja sisanja. Saja sedang mengandung dan saja ingin anak laki-laki. Saja mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Djadi tolonglah, biarlah saja memakan apa-apa jang telah didjamah sendiri oleh Presidenku."

Dipulau Bali orang pertjaja, bahwa Sukarno adalah pendjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa Hudjan dalam agama Hindu. Karena, bilamana sadjapun Bapak datang ketempat istirahat jang ketjil, jang kurentjanakan dan kubangun sendiri diluar Denpasar, bahkan sekalipun ditengah musim kemarau, kedatanganku bagi mereka berarti hudjan. Orang Bali jakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka. Dikala terachir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim kering. Tepat setelah aku sampai disana, langit tertjurah. Berbitjara setjara terus-terang, aku memandjatkan- do'a sjukur kehadirat Jang Maha-Pengasih manakala turun hudjan selama aku berada di Tampaksiring. Karena, kalaulah ini tidak terdjadi, sedikit banjak akan mengurangi pengaruhku.Namun, dunia hanja  membatja  tentang satu-orang  tukang betja. Dunia hanja tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi. Itu memang benar. Aku bukan ahli ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni ? Apakah Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alasan bagi madjalah-madjalah Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menudju kepada keruntuhan ekonomi ? Atau bahwa kami adalah "bangsa jang bobrok". Atau untuk mendjuduli sebuah tjerita: "Mari kita bergerak  menentang Sukarno"? Kalau para wartawan membentji Djepang atau Filipina, mereka dapat menjebut suatu daerah disana, dimana seluruh keluarga ibu, bapak dan anak-anaknja—bunuh diri, karena menderita kelaparan. Ini semua sudah diketahui orang. Tapi tidak! Hanja mengenai "Orang Djahat dari Asia" mereka membuat foto-foto dari  penderitaan rakjat, karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama tikus, sementara dilatarbelakangnja digambarkan hotelku jang indah.  Lalu kepala karangannja: "Indonesia  kepunjaan Sukarno". Tapi itu BUKAN Indonesia  kepunjaan Sukarno. Indonesia kepunjaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa jang 10051 bebas butahuruf dibawah umur 45  tahun. Pada waktu Negara kami dilahirkan duapuluh  tahun jang lalu hanja 6% dari
kami jang pandai tulis-batja. Indonesia kepunjaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa jang dua intji lebih tinggi daripada generasi terdahulu. Apakah masuk diakal, anak-anak bisa tumbuh lebih subur dalam keadaan kelaparan ?


Akan tetapi wartawan-wartawan terus sadja menulis, bahwa aku ini seorang "Budak Moskow". Marilah kita perbaiki ini sekali dan untuk selama-lamanja. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin mendjadi seorang Komunis. Aku menjembah ke Moskow ? Setiap orang jang pernah mendekati Sukarno mengetahui, bahwa egonja terlalu besar untuk bisa mendjadi budak seseorang—ketjuali mendjadi budak dari rakjatnja. Namun para wartawan tidak menulis tentang apa-apa jang baik dari Sukarno. Pokok-pokok jang dibitjarakan hanja tentang jang djelek dari Sukarno.Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku jang penuh gairah dan dibelakangnja gambar-gambar daerah pinggiran jang miskin. Alasan dari "orang jang menghamburkan uang" mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa jang tidak dapat kami tjari dengan djalan lain. Kami menghasilkan dua djuta dollar Amerika setelah hotel itu berdjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami masih mempunjai daerah pinggiran jang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri-negeri jang kajapun punja hotel jang gemerlapan, empuk dari jang harganja djutaan dollar, sedang disudutnja terdapat bangunanbangunan jang tertjela penuh dengan kotoran, busuk dan djelek. Aku melihat orang-orang kaja dengan segala kemegahannja berdjalan dengan sedan-sedan jang mengkilap, akan tetapi aku djuga melihat mereka-mereka jang malang mentjakar-tjakar dalam tong-sampah mentjari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran jang miskin diseluruh kota didunia. Bukan hanja di Djakarta kepunjaan Sukamo. Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada Negara-Negara Sosialis. "Ooohh," kata mereka, "Lihatlah Sukarno lagi-lagi bermain-main sahabat dengan Blok Timur."



Ikuti Kisah Selanjutnya.....!!!!

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Tatar Sunda

PURWAYUGA

Sedemikian jauh, di Tatar Sunda belum ditemukan fosil manusia yang berasal dari lapisan Pleistosen‑Bawah, maupun dari lapisan Pleistosen‑Tengah. Akan tetapi, dengan ditemukannya fosil manusia Pithecanthropus Mojokertemis dan Meganthropus Palaeojavanicus dari lapisan tanah PleistosenvbTengah di Jetis dekat Sangiran (Mojokerto), kemudian ditemukan pula fosil manusia dari lapisan Pleistosen‑Tengah di Trinil tepi Bengawan Solo dari jenis Pithecanthropus Erectus kemungkinan yang sama, bisa saja terjadi di Tatar Sunda.

Sebelum kemungkinan itu terbukti, berdasarkan Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa I Sarga 1, dikemukakan kisah tentang Purwayuga (Zaman Purba), antara lain sebagai berikut:

...// witan sarga kala niking bhumitala / bhumitala pinakagni dumilah mwang usna //prayuta warsa tumuli kukm peteng rat bhumandala canaih canaih dumanarawata sirna / bhumi mahatis yadyastun mangkana/ tatan hang jang gama / ateher bhumandala nikang dadi prawata lawan sagara//prayuta warsa tumuli dadi to sthawarahalit ateher dadi to janggama prakara satwa / ateher satwekang hanengsagara/makadi mina mwang sarwa mina // ri huwus ika prayuta warsa tumuli sthawarekang nanawidha mwang ring samangkana dadi to jang gama satwa raksasanung nanawidha prakaranya/atehersanuwa jang gama satwa binturun mwang sadwa lenya waneh/ kadi waraha / turangga mwang lenya manih // ateher prayuta wana tumuluy dadi to janggama prakara manusadhama lawan tatan pcmna// liana Pwa Purwwajanma purusa satwa/ atelier lawasira mewu iwu warsa manih / akre ti saparwa satwa sapxarwa manusa// lawas ri huwus ika dadi to purusakara/ ateher manusadhama mwang wekasan dadi ta purusa pumna // (Wangsakerta,1677: 2422)

Terjemahan:
Pada awal masa penciptaan permulaan bumi (bhumitala), permukaan bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta juta tahun kemudian asap gelap di seluruh muka bumi secara berangsur‑angsur dan terus menerus seluruhnya menghilang. Bumi menjadi dingin. Namun demikian, belum ada mahluk hidup. Kemudian, permukaan bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan.
Beberapa juta tahun kemudian muncullah tumbuh‑tumbuhan kecil, lalu muncul mahluk hidup berupa hewan; kemudian hewan yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya. Beberapa juta tahun kemudian, muncul berjenis‑jenis tumbuhan dan hewan raksasa yang beraneka ragam jenisnya; kemudian bermacam‑macam mahluk hewan unggas serta hewan lainnya seperti babi hutan dan kuda.
Berjuta juta tahun kemudian, muncullah mahluk hidup berwujud manusia tingkatan rendah dan belum sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah beribu‑ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh jenis manusia sempurna.


Kira‑kira 1.000.000 tahun sampai 600.000 tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup manusia yang masih rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan. Ada juga yang menyebutnya manusia hewan (satwa‑purusa) dari zaman purba, karena mereka berlaku seperti setengah hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera, besar dan tinggi sosok tubuhnya, tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa, tubuhnya berbulu dan kejam perangamya.

Ada jenis lain lagi di daerah hutan dan pegunungan yang lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon, di lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa menggunakan senjata, hanya menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian dan tidak memiliki budi pekerti seperti manusia sekarang. Kesenangannya ialah berayun‑ayun pada cabang pohon. Manusia hewan ini terdapat di hutan pulau Jawa, hutan Sumatera, hutan Makasar, dan hutan Kalimantan (Bakulapura).

Di daerah lain di Pulau Jawa, antara 750.000 sampai 300.000 tahun yang silam, hidup manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya baik dan lebih cerdas dibandingkan dengan manusia hewan yang berjalan seperti hewan. Tiap hari mereka membuat senjata dari bahan tulang dan batu. Mereka selalu diserang oleh sekelompok manusia hewan yang menyerupai kera. Pertempuran di antara kedua kelompok itu selalu seru. Akan tetapi, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu lebih mahir dalam teknik berkelahi, sehingga akhirnya mahluk manusia hewan yang berjalan seperti hewan itu habis terbunuh tanpa sisa dan lenyap dari muka burni. Manusia hewan yang berjalan seperti manusia itu, disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa). Mereka tinggal di dalam goa di lereng gunung.

Manusia jenis ini akhirnya punah karena sejak 600.000 tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh manusia pendatang dari benua utara. Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Pulau Jawa. Kira‑kira 250.000 tahun yang silam, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu habis binasa. Zaman ini oleh para mahakawi dinamai masa purba yang pertama (prathama purwwayuga).

Sementara itu, antara 500.000 sampai 300.000 tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa Tengah, hidup manusia yaksa (yaksapurusa) karena rupa mereka seperti yaksa atau danawa. Mereka bertubuh tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya, musuh, ataupun binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas. Mahluk jenis ini pun akhirnya punah karena banyak terbunuh dalam pertempuran dengan kaum pendatang baru dari benua utara.

Seterusnya, antara 300.000 sampai 50.000 tahun yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah pernah hidup manusia berwujud setengah yaksa (manusia yaksa mantare). Kelompok manusia ini belum diketahui asal-usulnya sebab hampir sama rupanya dengan manusia yaksa yang punah. Akan tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kuit agak gelap, tidak banyak berbulu, serta susila dan cerdas jika dibandingkan dengan manusia yaksa yang telah punah. Kelompok inipun akhirnya punah karena didesak, diburu, dan akhirnya dibinasakan oleh kaum pendatang dari benua utara. Periode ini oleh para mahakawi (pujangga besar) disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).

Selanjutnya, pernah pula hidup manusia kerdil (wamanapurusa) atau danawa kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh para mahakawi dinamakan manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai 25.000 tahun yang silam. Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya terbuat dari batu, tetapi buatannya tidak bagus, mahluk jenis inipun akhimya punah. Zaman ini oleh para mahakawi disebuf masa purba pertengahan (madya ning purwwayuga) atau masa purba ketiga (tritiya purwwayuga).

Ke dalam zaman tersebut, termasuk pula masa hidup jenis manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana purusagheng) atau manusia Jawa‑purba. Mereka menetap di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 40.000 sampai 20.000 tahun yang silam. jumlahnya tidak banyak. Mereka ini pun akhirnya punah karena bencana alam, saling bunuh di antara sesamanya, dan akhirnya seperti juga nasib penghuni Pulau Jawa yang lain, dihabisi oleh kaum pendatang dari benua utara. 
 

 
PENDATANG DARI UTARA

Dalam buku Geografi Kesejarahan II Indonesia (1984), yang mengacu kepada hasil penelitian para akhli, Daldjoeni mengemukakan pendapatnya tentang asal‑usul ras Melayu, antara lain:

Di Hindia belakang ada dua pusat persebaran bangsa. Dari daerah Yunnan di Cina Selatan, berangkatlah suku‑suku yang tergolong Proto Melayu tua dan dari dataran Dongson di Vietnam Utara (Daldjoeni,1984:1).

Yunnan, yang disebut-sebut sebagal daerah asal kelompok Melayu tua di Cina Selatan, dijelaskan pula oleh Ales Bebler, antara lain:

Merupakan dataran tinggi kering dengan ketinggian rata‑rata 1000 meter di atas permukaan laut. Alamnya tertutup oleh rerumputan, pepohonan yang rendah dan semak belukar. Wilayahnya terbelah‑belah oleh jurang-jurang yang cukup dalam sehingga membatasi gerak penduduknya dalam mengusahakan pangan. Mata pencaharian mereka aslinya berburu dan mengumpulkan buah‑buahan. Dalam perkembangan selanjutnya mereka beralih ke usaha peternakan dan pengolahan tanah secara primitif.

Asal bangsa Indo‑mongolid, yang jelas adalah Cina Selatan, akan tetapi sebagian dari mereka itu dahulunya datang dari Tibet Timur. Mungkin keributan di Asia Tengah itu menjalar ke Cina Selatan. Dari sini terjadi migrasi ke wilayah Asia Tenggara yang relatif masih kosong, melalui jurang-jurang dan lembah‑lembah sungai di Cina, Birma dan Siam. Tekanan di Cina Selatan agaknya bertalian erat dengan mulai berkembangnya kerajaan Cina yang dengan tegas akan tetapi bertahap menghendaki sinifikasi bagi seluruh wilayahnya sampal batas selatannya yakni garis pegununan Himalaya‑Nanling (Daldjoeni,1984: 3, 9‑10).

Pada naskah Pustaka Rajayarajya i Bhunri Nusantara parwa I sarga 1, dikemukakan peristiwa sebagal berikut:

Perpindahan (panigit) manusia pendatang dari benua utara: Yawana, Campa, Syangka, dan dari daerah-daerah sebelah tirnur Gaudi (Benggala) menyebar ke Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia), Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kutalingga, Gowa, Makasar, dan pulau‑pulau lain di sebelah belahan timur Nusantara, termasuk Nusa Bali. Mereka tiba di Nusantara kira‑kira 20.000 tahun sebelum tarikh Saka.

Manusia yaksa kerdil (wamana purusa), sebagal pribumi berperangai buas dan kejam seperti hewan. Oleh sebab itu mereka diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.

Sementara itu, manusia purba yang hidup antara 25.000 sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab mereka berbaur menjadi satu. Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan Aria dari kaum pendatang baru. Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di antara kedua belah pihak, telah menyelamatkan kelompok manusia purba dari bahaya kepunahan.

Adapun, kaum pendatang baru dari benua utara tersebut tergolong manusia cerdas. Mereka membuat perkakas dan senjata dari batu, kayu, tulang, bambu, serta bahan‑bahan lain dengan hasil yang hampir bagus (meh wagus). Menurut para mahakawi masa kedatangan orang‑orang dari benua utara tersebut, dinamakan sebagai masa purba keempat (caturtha purwwayuga).

Dari 10.000 tahun sebelum tarikh Saka, sampal tahun pertama Saka, terjadi perpindahan secara bergelombang, kelompok pendatang dari benua utara, yaitu:
  1. antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum tarikh Saka;
  2. antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelwn tarikh Saka;
  3. antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka;
  4. antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka;
  5. antara 1000 sampal 600 tahun sebelwn tarikh Saka;
  6. antara 600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka;
  7. antara 300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka;
  8. antara 200 sampal 100 tahun sebelwn tarikh Saka;
  9. antara 100 sampai awal tarikh Saka.
Pada masa itu disebut sebagai masa purba kelima (pancama purwwayuga).


( Password : Novel I-One )
 
 
 

Sejarah Perkembangan Pemurnian Islam di Indonesia - HAMKA

MEMPERKATAKAN MUHAMMAD ‘ABDUH DI NEGERINYA

Masuknya Agama Islam ke tanah air kami Indonesia, yang dahulunya biasa dinamai orang “Pulau-pulau Hindia Timur”, amat jauh berbeda dengan masuknya ke negeri yang lain. Memancarnya sinar Islam di negeri kami itu bukanlah karena dibawa oleh suatu misi tertentu atau angkatan perang tertentu. Kalau sejarah masuknya Islam ke negeri Mesir ini dimulai dengan datangnya Sayyidina Amr ibn Al-Ash, dan masuknya ke Afrika karena kedatangan Sayyidina Okbah bin Nafi’, dan masuknya ke Andalusia karena Thariq bin Ziyad mengharung lautan menepat kepada bukit yang kemudian dinamai dengan namanya , dan masuknya ke India dengan kedatangan Muhammad bin Qasim, maka yang membawa Islam ke Indoensia adalah “Pahlawan yang tidak dikenal”! 
 
Pembawa obor Islam yang mula-mula ke Indonesia adalah kaum saudagar, yang disamping mereka berniaga berjual-beli, langsung menyiarkan agama Islam. Sebagaimana tuan-tuan ketahui, hubungan perniagaan diantara India dengan Tiongkok sudah lama benar, melalui Laut Merah dan Selat Malaka. Oleh sebab itu tidaklah dapat ditentukan dengan pasti bilakah masa, tahun dan tanggal mulai masuknya Islam ke Indonesia.

Ahli sejarah ada yang berkata bahwa di zaman pemerintahan Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang kedua, telah didapat sekelompok keluarga orang Arab di Pesisir Barat pulau Sumatera. Artinya sebelum habis 100 tahun setelah Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat. Tetapi di kurun-kurun ketiga dan keempat Hijriah, di zaman keemasan Daulah Bani Abbas di Baghdad sudahlah banyak pelajar dan pengembara bangsa  arab itu memperkatakan pulau Sumatera, ketika mereka membicarakan suatu Kerajaan Buddha yang dikenal dalam kitab-kitab mereka dengan nama “Syarbazah” atau Kerajan Sriwijaya yang terletak di Palembang, Ibu Negeri Sumatera Selatan sekarang ini.

Tetapi setelah Indoensia jatuh ke bawah cerpu telapak kaki penjajah Belanda, mereka menetapkan saja bahwa Islam masuk ke Indonesia di dalam kurun Ketiga Belas Masehi, karena di abad itulah berdiri Kerajaan Islam di Pasai, Aceh. Memang sudah menjadi adapt penyusun sejarah di masa lampau, memulai sejarah dengan berdirinya satu kerajaan. Padahal sudah barang tentu bahwa bukanlah kerajaan yang berdiri lebih dahulu sebelum ada rakyat.

Didalam abad-abad keempat belas dan kelima belas Masehi, berdirilah dan tegak dengan megahnya Kerajaan Islam di Semenanjung Tanah Melayu, yaitu Kerajaan Malaka. Bersamaan dengan itu berdiri pula Kerajaan Islam di Maluku (yang waktu itu meliputi juga Irian Barat) yang terletak di Ternate. Dan sebelum itu, sebagaimana saya katakana tadi, yang tertua ialah Kerajaan Pasai di Aceh itu.

Tetapi dipermulaan abad keenam belas, yaitu tahun 1511, didorong oleh rasa benci yang sangat mendalam diantara kerajaan-kerajaan Kristen bekas Perang Salib dan sesudah runtuhnya Kerajaan Islam di Andalus, bangsa Portugis telah menyerang Malaka sehingga jatuh. Dan diakhir abad itu, yaitu tahun 1596, masuklah Belanda ke pelabuhan Banten yang permai, terletak di Pulau Jawa sebelah Barat. Setelah itu, satu demi satu masuklah pengaruh mereka menaklukkan, kadang-kadang secara kekerasan dan kadang-kadang secara tipuan, baik di Jawa atau di Sumatera atau di pulau-pulau yang lain.

Maka dengan segala daya dan upaya, tipu dan daya, berusahalah mereka menghapus pengaruh Islam yang menjadi sendi kekuatan bangsa Indonesia itu, baik denganpedang ataupun dengan siasat lain. Maka dalam masa 442 tahun di Semenanjung Tanah Melayu (yang telah mencapai kemerdekaannya 31 Agustus 1957 yang lalu), dan 350 tahun di Indonesia, mereka berusaha keras memadamkan cahaya Islam. Tetapi Allah tidak mau melainkan disempurnakanNya juga cahayaNya, bagaimanapun juga orang kafir menolaknya!

Sesudah masuknya Portugis sebagai pembuka jalan, datanglah gelombang penjajah yang lain; Belanda, Perancis, Inggris, dan Spanyol di pulau-pulau Pilipina. Hampir 4 abad lamanya kami berjuang untuk tetap hidup, kami berjuang untuk mempertahankan supaya agama kami jangan hapus karena pengaruh kekuasaan asing yang berbeda agama itu. Segala sesuatu telah diambil dengan paksa dari tangan kami, sejak dari kekuasaan raja-raja kami sampai kepada kekayaan tanah kami yang subur dan pusaka nenek moyang kami. Sehinga yang tinggal pada kami hanyalah satu saja lagi, yng mereka tidak sanggup mengambilnya, yaitu Iman dan kepercayaan kami yang dalam dan teguh, yaitu “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah!”.

Itulah dia obor kami, yang menerangi kami jalan menuju Kebebasan dan Kemerdekaan. Dan akhirnya keduanya dapat juga kami capai, Alhamdulillah!

Sesudah Perang Salib dan sesudah runtuhnya kerajaan Bani Abbas di Baghdad ditangan Moghul dan Tartar, dan sesudah riwayat sedih Kaum Muslimin di Spanyol, boleh dikatakan Islam menghadapi pengalaman-pengalaman yang pahit, dan nyarislah Matahari Islam pudar cahayanya di seluruh Alam Islamy. Tetapi kami bangsa Indonesia dan Melayu menderita lebih sengsara dan lebih pahit. Karena cengkeraman penjajahan itu, kamilah yang lebih dahulu menderita, sebelum negara-negara Islam yang lain. Dan senjata  kami yang tinggal satu-satunya, sebagaimana saya nyatakan tadi, hanyalah Iman yang teguh kepada Allah!

Tetapi darimana kami akan mencari batu ujian peneguhan Iman itu? Padahal negeri kami jauh dari pusat-pusat kegiatan Islam? Dan Alam Islamy itu sendiri yang akan kami jadikan suri tauladan telah jatuh pula ke jurang yang membawa kebekuan berfikir. Diwaktu itu ajaran tasawuf yang salah, yang membawa jumud dan menyerah diri, yang mengajarkan “Muutu qabla an tamuutu” (matilah sebelum mati) telah berpengaruh di mana-mana. Dan  musuh belum juga berpuas hati sebelum kekuatan kami mereka hancurkan. Dan bekas dari ajaran-ajaran yang lama, baik Brahmana ataupun Buddha belum pula hilang sama sekali.

Meskipun begitu nasib kami di waktu itu, namun semasa demi semasa meletus juga pemberontakan melawan penjajahan itu, dan pemimpinnya ialah Pahlawan-pahlawan Islam belaka. Seumpama Al-Amir Diponegoro ditanah Jawa yang bercita-cita hendak mendirikan sebuah Daulah Islamiyah buat seluruh Jawa. Dan Tuanku Imam di Bonjol, Sumatera Barat, Minangkabau, yang terpengaruh oleh ajaran Wahhabi, dan Syeikh di Tiro di Aceh yang hendak membersihkan Aceh dari kafir dan lain-lain. Semuanya memanggul senjata memerangi pemerintahan asing dan penjajahan Belanda, mengambil sumber kekuatan dari Iman kepada Allah yang pasti akan menolong mereka, cepat atau lambat! Karena Tuhan berjanji “Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu pula dan memperteguh tegakmu

Maka adalah diantara mereka yang mencapai syahidnya di medan perang dan diantara mereka yang meninggal di tanah pembuangan. Perlawanan itu semuanya dapat dipatahkan, karena musuh lebih banyak bilangannya dan lebih lengkap senjatanya. Tetapi mereka itu tetap kekal dalam ingatan dan jiwa bangsa Indonesia dan kepahlawanan mereka menjadi obor pemancar sinar dalam ingatan dan jiwa bangsa Indonesia didalam menuju kemuliaan dan kemerdekaan. Dan nyaris juga kekalahan-kekalahan pahlawan itumenimbulkan putus asa dan patah semangat, tetapi obor itu tidaklah sampai padam, untuk menimbulkan cita-cita dan mengembalikan kemuliaan Islam.

Dalam masa-masa demikian berangkatlah beberapa anak Indonesia ke Makkah Al-Mukarramah untuk menunaikan rukun haji dan menambah ilmu pengetahuan Islam. Diantaranya ialah Syeikh Nawawi Bantam, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan lain-lain. Mereka pelajari tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh dan lain-lain. Maka ada diantara mereka yang pulang ke Indonesia, tetapi tidaklah mereka membawa fikiran baru untuk kebangkitan, karena Makkah pada waktu itupun masih diliputi suasana taqlid. Dan guru-guru mereka mengajarkan bahwa Pintu Ijtihad telah tertutup buat selamalamanya, sebab orang yang dahulu tidak ada lagi meninggalkan perkara yang akan dibicarakan. Dan setengah dari mereka pula tidak mau pulang lagi ke Indonesia, karena tidak tahan hati melihat negerinya yang telah terjajah, lalu berdiam di Makkah sampai wafatnya, memilih mati di tanah suci. 
 
 
( Password : Novel I-One )




 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: