Loading

Riwayat Soeharto di Majalah Tempo

SETELAH DIA PERGI

DENGAN tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah tiang-lain soal Anda patuh atau keberatan-Soeharto yang berpulang Ahad dua pekan lalu sudah menjadi "pahlawan". Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan kemudian, ia masih seorang master dengan kuasa penuh.

Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan berita kematian pedagang "gorengan" Slamet, yang putus asa lalu bunuh diri akibat harga kedelai ekstra tinggi. Semua stasiun televisi-beberapa memang milik anak-anaknya mengarahkan moncong kamera ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah perjalanannya ketika mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja. 
 
Di rumah sakit, keluarga menetapkan "protokoler" ketat: hanya mereka yang mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota lingkaran dekat lolos seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos, entah kenapa tak masuk hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut Soeharto sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu.

Ketika ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat mengalahkan sinetron mana pun-artinya iklan pasti datang berduyun-duyun. Usaha "menggoreng" perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil.

Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati dan dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya, seakan keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah "dunia" yang diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat.

Sebentar lagi, setelah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak lagi menjadi berita, yang tersisa adalah kasus perdata yayasan Soeharto, dan debat tentang status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya. Setelah apa yang diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir untuk menolak waris itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam perkara perdata.

Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah tinggal menyatakan kebijakan zaman Soeharto yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, melawan hukum, atau membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan diri dan kelompok sendiri. Siapa pun yang menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa langsung ditetapkan sebagai obyek pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar. Selama ini mereka tidak melakukan usaha apa pun untuk menolak "madu" privilese yang mereka isap dengan riang.

Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber dari privilese, atau yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa ke pengadilan. Secara prinsip, menikmati keuntungan dari kebijakan yang melawan hukum termasuk perbuatan melawan hukum juga.

Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti tambahan untuk mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu.

Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang badan dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang kini mereka puja dan sudah begitu banyak memberikan "gula-gula" kepada mereka. Hanya pengecut tulen yang sanggup "menusuk" sang tuan yang sudah di alam baka.

Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin menegakkan keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk menjamin persamaan kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa tindakan apa-apa, fasilitas istimewa dan kenikmatan yang selama ini diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah berakhir. Hanya kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung.

Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni-tindakan yang diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan kasus ini lebih penting ketimbang sibuk mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto-usul yang dipekikkan lantang Priyo Budi Santoso, orang Golkar yang pernah tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi itu.


LEGASI TAK BERJUANG

Jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar.

Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, setelah jenazahnya dikebumikan di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu terus mengharu biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ.

Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif ketika separatisme mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini.

Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini?

Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat baik maupun buruk-ia melakukannya, silih berganti. Namun ada proses yang seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang panjangnya hanya bisa dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu sentralisasi, bahkan kemudian  personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri.

Tak aneh, para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru dengan kerajaan Jawa Mataram-sistem politik dengan konsep yang menempatkan raja sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja adalah sosok sakti, sangat sakti. Dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson dalam bukunya yang klasik The Idea of Power in Javanese Culture, legitimasi tidak datang dari manusia. Dengan kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar atau tidak, tampaknya yakin dialah titik pusat itu. 
 
Proses sentralisasi mungkin bisa tercium sejak dini. Tepatnya tatkala ia menyederhanakan partai-partai-kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah peninggalan demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Pada Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, partai yang jumlahnya puluhan itu menjadi hanya sepuluh partai. Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar. 
 
Waktu itu, para demokrat pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66 yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. "Kami tahu dia tentara yang tidak senang politik," kata Arief Budiman, salah seorang aktivis.

Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan pada pundaknya. Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan surat kabar yang dibredel Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat "menjelma" menjadi koreksi terhadap Orde Lama; dan Soeharto sendiri merupakan koreksi terhadap Soekarno. Ia terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintah yang gemar mengutarakan slogan-slogan, pemerintah yang sibuk berseru ganyang Malaysia dan membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai 600 persen. Sebuah program pembangunan direntangkan, inflasi dikendalikan, dan Indonesia mulai memasuki pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Modal asing berdatangan.

Tapi pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata tidak berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar pengikisan selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu golongan. Peristiwa Malari (1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan gagasan Tien Soeharto, Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi. Tantangan para mahasiswa kali ini dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah yang dulu toleran dan terbuka itu pun digantikan wajah galak dan represif. Beberapa tahun kemudian, 1978-1979, tantangan yang frontal dari mahasiswa dijawab dengan NKK/BKK-larangan berpolitik bagi para mahasiswa di kampus.

Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu pun mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri Presiden Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel dan terjun ke dunia bisnis berbekal "hak-hak istimewa" sebagai anak presiden. Sebuah edisi majalah Forbes memberitakan, setelah krisis moneter 1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai US$ 16 miliar.
Dalam memoarnya yang tebal, From Third World to First, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyebut, "Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya perlu menjadi begitu kaya." Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto telah mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani pada akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan aneka privilese bisnis.

Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Eriyanto dalam buku Kekuasaan Otoriter, Soeharto adalah tipe manusia yang mendasarkan diri pada an act of faith-perbuatan berdasarkan keyakinan-dan bukan tipe jenis an act of reason, perbuatan berdasarkan akal. Karena itu, banyak ucapan dan tindakan Soeharto yang mengejutkan, tapi ia tidak pernah ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak perlu pertimbangan rasional ketika membubarkan PKI, tapi karena keyakinannya sendiri. Dalam biografi yang disusun O.G. Roeder, ditunjukkan betapa yakin Soeharto ketika mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat. "Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri."

Dan agaknya dengan keyakinan yang sama pulalah ia memutuskan untuk melancarkan operasi "petrus" alias penembakan misterius untuk membasmi preman. Sikap keras yang sama boleh jadi mendasari keputusan untuk melakukan tindakan drastis yang melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan sejumlah tempat lain. Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia ini sungguh tak mudah dihapuskan begitu saja.

Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk yang begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu berarti hampir separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini. Dalam Kabinet Pembangunan VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat menjadi Menteri Sosial. Dan manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada seorang Menteri Sosial kemudian terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan sebuah suksesi yang tidak berbeda dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung mengambil alih peran ayahnya.

Gaya Soeharto memang sentralistis, nepotistis, dan kerap kali represif. Tapi dari cara itu lahir pula program kesejahteraan yang berhasil-dan ujung-ujungnya menampilkan citranya yang populis. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, buku yang berisi kumpulan tulisan yang membahas periode itu, menyebut keberhasilan Keluarga Berencana, program yang bermula pada 1970 dan bertumpu pada pertimbangan nilai-nilai ekonomi semata. Soeharto percaya setiap anak membutuhkan sandang, pangan, pendidikan; dan segenap kebutuhan itu tak mungkin terpenuhi jika negeri ini mengalami ledakan pertumbuhan penduduk.

Pelaksanaan program Keluarga Berencana bersifat top-down dan sama sekali tidak berasal dari aspirasi masyarakat. Dengan Tien Soeharto pada puncak organisasi, dan didukung istri pemimpin tertinggi di daerah-daerah, mesin birokrasi menggerakkan program Keluarga Berencana sampai ke desa-desa terpencil. Di dalamnya ada represi yang berbuah sejumlah kisah pedih, walau dunia melihatnya sebagai prestasi.

Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat serta keluarga dekat tumbuh menjadi satu-satunya kalangan yang bertanggung jawab atas aneka gejala sosial ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan, korupsi yang demikian mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter 1997-1998.

Ahad dua pekan lalu, hidupnya yang panjang berakhir sudah, tapi lakon dan legasinya-baik yang lama maupun yang belum lagi terungkap-terus menghantui negeri ini.


Ikuti Kisah Selanjutnya....!!!
 

( Password : Novel I-One )






Artikel Terkait:

1 komentar:

October 4, 2015 at 10:11 PM Unknown said...

yang butuh angka hasil ritual ghoib jitu
,2d_3d_4d_5d_6d, telpon eyang woro manggolo di nomor ini
(_082_391_772_208_) terima kasih

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: