Loading

Penakluk Ujung Dunia - Dewi KZ


Satu-satu para lelaki keluar rumah, memenuhi panggilan suara gong yang dipalu sesekali dekat unggun api yang ada di halaman perkampungan. Wajah para lelaki yang bermunculan di mulut pintu, memancarkan rasa marah dan mendendam. Senja baru saja berlalu. Di langit bintang gemerlapan. Tapi, tidak ada bulan. Hingga cahaya unggun api yang samar, cukup punya arti. Nyalanya meliuk ditiup angin. Para lelaki itu membentuk lingkaran seputar unggun api. Tapi, di sebelah hulu, belum seorang pun mengambil tempat. Sengaja dikosongkan. 

Angin pegunungan berhembus. Lebih dulu meliukkan pucuk bambu duri yang ditanam orang sekitar kampung, langsung menjadi pagar kampung. Bambu duri itu, ditanam melingkar. Mengikuti lingkaran rumah dan di tengah dikosongkan. Halaman kampung menjadi luas, tempat penghuni kampung selalu berkumpul di saat yang perlu. Di saat Kerajaan Marga yang mendiami kampung itu mengadakan musyawarah.

Wajah para lelaki tambah jelas kelihatan, setelah cukup dekat unggun api. Wajah yang cukup matang dan keras, yang dimasak kerasnya hidup sehari-hari, wajah yang menampung sinar matahari penuh. Dan, memecahkan tanah batu untuk dijadikan persawahan. 

Gong masih dipalu sesekali. Para lelaki tambah banyak berkumpul. Tapi, satu sama lain, tampaknya saling diam. Dari jauh kedengaran suara ratap para perempuan. Kemudian kelompok manusia itu menjadi tambah hening, tidak ada yang berkerisik, sewaktu enam orang lagi lelaki datang mendekat. Salah seorang di antaranya menyandang ulos-batak ragi-hidup, kepalanya dibeliti bolat-an berwarna tiga jalin-menjalin: merah, putih, dan hitam. Tangan kanan memegang tungkotpanaluan, yang hulunya berukirkan wajah dan kepala manusia, serta dihiasi rambut manusia. Di pinggang, terselip pisau gajah-dompak. Pertanda dia Raja Panggonggom, yang memegang kekuasaan adat dan hukum tertinggi di perkampungan itu, di marga yang mendiami kampung itu. Yang berjalan di sebelah kanannya, memakai bolatan juga.

Tapi, warnanya hanya merah dan putih berjalinan, pertanda dia Raja Ni Huta. Juga dia menyandang ulos-batak, tapi raginya berbeda dengan yang dipakai oleh Raja Panggonggom. Raja Ni Huta yang memakai bolatan ini, pengerah tenaga rakyat, dan langsung memimpin para Raja Ni Huta dari kampung lain, yang masih semarga dengan mereka. 

Di sebelah kiri Raja Panggonggom, berjalan seseorang yang memakai bolatan warna merah saja, pertanda dia Raja Nabegu, pemegang pimpinan para panglima dan para hulubalang perkasa. Dia juga menyandang ulos-batak, tapi raginya berbeda dengan ragi yang disandang fyaja Panggonggom dan Raja Ni Huta. Sedang di tangannya, tergenggam tombak yang hulunya berukirkan kepala manusia. 

Di belakang mereka bertiga, mengiring pula Raja Partahi, Raja Namora, dan Datu Bolon Gelar Guru Mafla-sak. Raja Partahi dan Raja Namora, memakai bolatan warna putih, pertanda mereka pemegang perbekalan marga. Sedang Datu Bolon Gelar Guru Marlasak menyandang kulit monyet yang sudah kering, sedang mulutnya terus-terusan menguyah sirih dan meludah. Mereka mengambil tempat di sebelah hulu, yang sejak tadi dikosongkan. Tempat mereka lebih tinggi dari yang lain. Di tangan kiri Raja Panggonggom, tergenggam sebilah pisau yang ujungnya berlumur darah merah. Sebelum duduk, lebih dahulu dia menancapkan tungkotpanaluan ke tanah. Semua mata diarahkan padanya berusaha mengikuti gerak-geriknya. Kuping sudah, siap mendengar yang hendak diucapkannya.

Setelah mengangkat tangan kanan, dia mengaju tanya, "Apakah sudah semua lelaki hadir di sini?"

Setiap suku kata ditekankan kuat-kuat. Suaranya yang beruntum keluar dengan cepat, pewarta bahwa dia sedang marah. Matanya merah nyala. Sedang dari kejauhan, tetap kedengaran sesayup sampai ratap perempuan, yang meratap kan kepiluan hati, hati yang berduka. Ratap inilah yang. membuat wajah para lelaki itu bermuraman, muram mengandung marah yang menuntut dibalaskan. Cepat saja diketahui bahwa tidak seorang pun perempuan hadir di antara para lelaki yang mengitari unggun api itu. "Sudah semua," sahut seseorang, yang langsung berdiri dari duduknya, kepalanya memakai bolatan warna hitan, tangannya menggenggam tombak berukirkan kepala manusia, tapi tidak berhiaskan rambut, pertanda dia panglima marga atau hulubalang marga. 

"Apakah sudah berkumpul semua pemuda di sini?" tanyanya pula melanjut.
"Belum," sahut seseorang, yang juga memakai bolatan warna hitam, dan menggenggam sebuah tombak, tapi bolatannya lebih kecil dari orang pertama. Pertanda dia, hulubalang muda.
"Siapa yang belum hadir?" tanya raja. "Si Ronggur."
"Si Ronggur belum hadir? Ke mana dia pergi?" Tidak ada yang menyahut. Raja Panggonggom lalu mengatakan, "Ayoh, pergilah salah seorang dari kamu memanggilnya. Apakah harus aku yang pergi memanggilnya?"

Hulubalang Muda cepat berdiri. Terus pergi melaksanakan perintah. Dia berlari dengan langkah yang panjang dan cepat.

Kembali Raja Panggonggom duduk. Tongkat panaluan, pusaka nenek moyang turun-temurun dielusnya seketika. Tubuhnya yang sudah tua itu masih membayangkan bekas bentuk tubuh yang tegap di masa muda, disaputi kulit hitam  yang cukup matang. Wajahnya yang berkerut-kerut, keningnya yang lebar, dan sinar matanya masih tetap bercahaya, bernadakan kepercayaan akan diri sendiri. Para lelaki yang duduk di sampingnya, juga sudah agak tua. Di hadapannya, para lelaki yang masih muda, punya otot tubuh yang tegap dan masih berada di puncak kekuatan. Walau ada di antara mereka yang agak kecil, namun garis di wajahnya, ototnya, kulitnya yang hitam, segumpal daging yang dapat dipercaya kesehatan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sedang para pemuda, yang tubuhnya setiap hari masih terus membentuk sebuah tubuh yang wajar, dan dari wajahnya memancar kebeningan tapi bercampur-baur dengan kematangan, sesuatu pertanda ketangkasan. 

Sambil duduk, Raja Panggonggom menggerutu, "Kita harus menunggu anak itu lagi."

Tidak seorang pun yang berani menambahi cakapnya. Tapi, wajah Raja Nabegu, yang duduk sejajar dengannya, menjadi merah padam, seperti merasakan sesuatu kesalahan, kenapa Ronggur t idak bisa hadir sebelum golongan raja hadir di sana. Dari jauh kelihatan dua orang pemuda mendekat. "Apakah kau tidak mendengar gong dipalu? Apakah kau tidak mengetahui, apa arti gong yang dipalu dengan pukulan satu-satu? Apakah kau harus diajar untuk mendengar dan mengartikannya lagi? Bukankah kau sudah diajari Raja Nabegu?" tanya Raja Panggonggom cepat, ma-nyambut kehadiran mereka.

"Aku dapat mendengar dan mengartikannya, Paduka Raja," jawab pemuda itu.
"Kenapa kau tidak terus mematuhi panggilan? Kenapa kau melalaikannya? Apakah tubuhmu itu tidak dialiri darah merah yang diwariskan Almarhum ayahmu lagi?"
"Masih, Paduka Raja." "Tahukah kau bahwa ayahmu tidak pernah mengabaikan panggilan gong pusaka ini? Terlebih bila gong dipalu satusatu?

Ataukah dengan sengaja kau melambatkan kedatanganmu karena kau bukan seorang lelaki? Jawab pertanyaanku dengan jujur. Supaya para arwah nenek moyang dan dewata tidak marah."
"Paduka Raja, dalam tubuhku mengalir darah yang diwariskan ayahanda almarhum. Kupingku mendengarkan suara gong pusaka, malah langsung membakar semangatku." "Kalau begitu, kenapa kau terlambat datang? Atau, kau memang sengaja mengabaikan panggilannya?" "Aku tidak mengabaikannya, Paduka Raja. Tapi, aku sedang memikirkan, bagaimana aku harus melaksanakan perintah yang akan ditugaskan padaku. Dan apa yang harus kuucapkan dalam pertemuan ini, bila saat musyawarah diadakan."
"Nah, kalau begitu dengar dulu kataku." Raja Panggonggom menebarkan pandang ke sekitar.

Menatap wajah demi wajah dengan pandang tajam, lalu, "Semua lelaki yang ada di hadapanku, yang pada tiap tubuhmu mengalir darah merah warisan nenek moyang, merahnya, api semangat yang tidak boleh dipadamkan. Barulah kau dapat dikatakan seorang lelaki yang menghormati nama baik nenek moyangmu, nama baik rajamu, nama baik kampung, margamu, dan marga kita. Dan, barulah pula kau wajar dihormati sebagai seorang lelaki." 

Orang terdiam mendengarkan. Pada tiap wajah makin jelas kelihatan pancaran sesuatu cahaya yang tidak mau dipadamkan. Mata tiap orang menjadi merah dan gusar. Tubuh mereka berkeringat olehnya. Otot yang tegap itu menjadi mengencang, dibakar perasaan dalam hati.

"Pada tangan sebelah kiriku," lanjut Raja Panggonggom, "tergenggam sebilah pisau, yang tadi pagi sengaja ditusukkan orang, orang dari marga lain, ke dada salah seorang dari antara kamu, dari antara kita, sehingga dia meninggal.

Mayatnya sekarang terlentang kaku di Sopo Bolon. Sekitar mayatnya duduk melingkar para perempuan. Meratap berkepanjangan. Tentu kamu turut mendengar ratap mereka, ratap yang menangiskan sebuah perpisahan, perpisahan yang timbul karena perbuatan orang lain. Para perempuan itu berduka. Tapi, bagi kita para lelaki, tidak saja kepiluan mendatangi diri. Yang menekan hati, lebih berat mendatang dari penghinaan yang dengan sengaja diarahkan marga lain yang membunuh Ama ni Boltung itu. Penghinaan yang harus ditantang dengan sikap jantan, dengan darah merah yang memancarkan cahaya semangat yang tak akan padam pada tiap wajah kita. Ketahuilah, ratap para perempuan itu, sesuatu yang mengharapkan penuntutan balas. Kita terkutuk, bila kita tidak menuntut balas. Dan, kita tidak berhak lagi disebut dan dihormati sebagai lelaki, bila penghinaan yang sangat nista ini kita terima begitu saja." 

Suara mendengung pada kelompok yang ada di depan raja. Berakhir dengan meledaknya ucapan, "Perintahkan dengan cepat, apa yang harus kami perbuat. Sebuah penghinaan harus segera dilenyapkan. Supaya orang lain tidak berani mengulanginya terhadap marga kita!" "Ya, memang untuk itu kita berkumpul malam ini." Ronggur berdiri. Matanya dilayangkan pada kelompok pemuda, kemudian pada kelompok para lelaki. Lalu tertumpu akhirnya ke tempat para raja.

"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Raja Panggonggom.
"Ya. Kalau paduka raja mengijinkan aku berbicara," suaranya tegas dan pasti. Kuat meledak. "Bicaralah____"
"Paduka Raja, dapatkah Paduka Raja menceritakan pada kami, kenapa marga lain itu menancapkan ujung pisaunya ke dada Ama ni Boltung?" "Pisau itu mereka tancapkan ke dada Ama ni Boltung, karena persoalan pembagian air yang harus dialirkan ke sawah. Juga karena pertengkaran mengenai perbatasan sawah. Yang menyerang Ama ni Boltung, tidak seorang saja. Tidak kurang dari lima orang malah. Mereka menyerang sekaligus, hingga Ama ni Boltung yang sudah kita kenal keberanian dan ketangkasannya berkelahi, rubuh ke atas tanah. Tapi, janganlah kita beranggapan bahwa Ama ni Boltung terlalu lalai menghadapi musuhnya. Dia masih sempat membawa korban. Tidak kurang dari dua orang yang menyerang dirubuhkannya, dicabutnya nyawa mereka dengan ujung pisau. Dan, seorang lagi luka pada tangannya. Arwahnya tentu ditempatkan para dewata di tempat para hulubalang perkasa, tempat terhormat."

"Kuhormati kepahlawanan Ama ni Boltung," sahut Ronggur, "tapi yang paling perlu kita pikirkan sekarang, mula atau sebab timbulnya perkelahian itu. Dari keterangan Paduka Raja, dapatlah diketahui bahwa soalnya timbul karena pembagian air dan perbatasan sawah. Soal yang sudah terlalu sering menimbulkan pertengkaran, yang sudah terlalu sering mengakibatkan pecahnya perang antara satu marga dengan marga lain, antara satu lu hak dengan luhak lain. Yang menjadi pokok persoalan sekarang menurut pendapatku, hendaknya kita menelaah, kenapa persoalan begitu rupa tambah sering kita hadapi. Tambah sering mengganggu ketenteraman hidup? Mengganggu kerukunan hidup di pantai Danau Toba ini?" Semua terdiam. Juga raja.

Ronggur melanjutkan, "Soalnya, karena semakin sempitnya tanah yang dapat kita garap. Tadi siang, aku jalan-jalan sampai ke kaki bukit, yang tanahnya bercampur batu. Sudah sampai ke sana perluasan sawah. Tanah batu yang cukup keras itu mereka pecahkan dengan cangkul yang diayunkan kedua tangan mereka. Mereka melinggis pinggiran gunung
batu, membangun sebuah parit saluran air. Lihatlah, betapa sungguhnya tiap orang dan marga yang ada di sekitar danau ini mempertahankan hidupnya. Mereka orang yang berani hidup. Y ang taat melaksanakan pesan nenek moyang masingmasing, melanjutkan hidup keluarga dan marga."


Ikuti cerita selanjutnya.....!!!!


( Password : Novel I-One )


Novel Duka Lara - Bios

Di sebuah jalan tol dalam kota, sebuah sedan mewah melaju dengan cepat menembus gelapnya malam. Kedua penumpangnya yang masih muda tampak begitu bersemangat, berkendara bersama menuju ke rumah seorang gadis yang baru mereka kenal beberapa bulan yang lalu. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Kini keduanya tampak asyik berbincang-bincang dengan seorang gadis yang begitu cantik.

“Orang tuamu belum pulang, Ra?” tanya Randy perihal orang tua Lara yang diketahuinya pergi ke Amerika.
“Belum, malah mereka mau terbang ke Eropa,” jawab Lara seraya merubah posisi duduknya.
“Asyik dong, dengan begitu kau bisa lebih lama menghirup udara kebebasan.”
“Apanya yang asyik, aku justru merasa kesepian karena ditinggal mereka terlalu lama. Untung saja ada sepupuku yang menemaniku selama mereka di luar negeri.”
"O ya, Ra. Ngomong-ngomong, Nina ke mana?” tanya Bobby mengenai sepupu Lara yang menginap di rumah itu.
“Ada, di dalam,” jawab Lara singkat. “Ajak keluar dong! Biar kita ngobrol sama-sama!” pinta Bobby seraya tersenyum. “Maaf, Kak! Hari ini dia sibuk belajar, katanya besok ada ujian.” “Rajin juga ya dia. Dulu, ketika aku masih kuliah. 
 
Aku paling malas dengan yang namanya belajar. Kalau lagi ujian, aku biasa mencontek menggunakan secarik kertas kecil yang kusembunyikan di bawah lembaran soal. Dan kalau lagi ada pemeriksaan, contekan itu buru-buru kusembunyikan di celah lipatan bajuku.”
“Aku juga, Bob,” timpal Randy.
“Itu namanya kalian curang. Masih kuliah saja sudah berani tidak jujur, apalagi kalau jadi pejabat. Bisa-bisa kalian jadi koruptor kelas kakap.”
“Ya, untung saja aku tidak jadi pejabat,” kata Randy ringan.
“Tapi, kontraktor curang kelas kakap,” timpal Bobby.
“Huss! Jangan buka kartu dong! Lagi pula, aku melakukan itu karena terpaksa, dan itu pun sudah lama sekali. Sekarang ini aku sudah insyaf dan tidak mau mengulanginya lagi.”
“Maaf, Ran. Ini kulakukan demi kebaikanmu. Terus terang, aku peduli padamu. Jika kau memang sudah insyaf, lalu kenapa belum lama ini kau bisa dapat tender itu. Padahal, jika kulihat perusahaanmu sama sekali tidak memenuhi syarat.”
“Waktu itu lagi-lagi aku terpaksa, Bob. Sebab sainganku juga menggunakan cara curang. Kalau aku tidak melakukan hal yang sama, bagaimana mungkin aku bisa dapat tender. Kalau kerap kali seperti itu, kapan perusahaanku bisa maju.”

Lara yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bicara. “Kak Randy! Setiap orang kan sudah ada rezekinya masing-masing, jadi kau tidak perlu curang untuk mendapatkannya.”
“Kau betul, Ra. Namun, aku terpaksa berbuat begitu karena sistem yang tidak mendukung. 
Terus terang saja, jaman sekarang jika ingin bersaing secara jujur diperlukan mental yang kuat dan waktu yang relatif lebih lama,” kata Randy memberi alasan.
“Tapi biar bagaimanapun, cara curang itu tidak sepatutnya dilakukan, Kak. Sekalipun kau mempunyai alasan yang paling masuk akal. Sesungguhnya cara curang itu bisa merugikan orang-orang yang jujur,” jelas Lara memberi pengertian.
“Betul itu, Ra. Sungguh kasihan orang-orang yang jujur, mereka harus berusaha lebih keras agar bisa menjadi orang yang sukses,” Bobby menimpali.
“Baiklah… Mulai hari ini aku berjanji untuk tidak mengulanginya. Terus terang, aku merasa berdosa karena telah menghilangkan kesempatan buat orang-orang yang jujur,” kata Randy menyesal.
“Syukurlah kalau begitu,” kata Bobby seraya berpaling memandang Lara. “O ya, Ra. Ngomong-ngomong, boleh aku menumpang ke belakang?” tanya pemuda itu kemudian.
"O, silakan saja, Kak! Pergi sendiri, ya! Kau kan sudah tahu kamar mandinya,” kata Lara seraya merubah posisi duduknya lagi.
“Tapi, Ra. Aku... ” “Sudahlah, tidak apa-apa! Anggap saja seperti rumah sendiri!” “Baiklah kalau begitu,” kata Bobby seraya beranjak ke dalam. Ketika dia melewati ruang tengah dilihatnya Nina sedang menari mengikuti gerakan penari di layar kaca. Saat itu gerakan Nina tampak begitu indah, lenggak-lenggok tubuhnya yang ramping serta gemulai tangannya menahan pemuda itu untuk terus memperhatikannya.
“Tarian yang indah!” ucap Bobby tiba-tiba. Mendengar itu, Nina pun seketika berpaling. “Ka-
Kak Bobby...!” ucap gadis itu tergagap sambil terus memperhatikan wajah tampan yang kini tersenyum padanya. “Se-sejak kapan kau berdiri di situ?“ tanya gadis itu kemudian.
“Kau tidak perlu malu, Nin! Terus terang, gerakanmu tadi indah sekali, dan aku sangat menyukainya. Kupikir cuma Lara saja yang pandai menari, ternyata kau juga begitu pandai,” kata Bobby terus terang.
"Hmm… sebenarnya apa keperluanmu masuk kemari, Kak?” tanya Nina heran.
"Eng... sebenarnya aku mau menumpang ke belakang. Tapi ketika melihatmu tadi, aku sempat terpana. Eng... kalau begitu, sebaiknya aku segera ke belakang. O ya, maaf kalau aku sudah mengganggumu!” Lantas dengan segera pemuda itu melangkah pergi.

Sementara itu, Nina tampak memperhatikan kepergiannya. “Hmm... dia terpana? Benarkah yang dikatakannya itu?” tanya Nina dalam hati seraya duduk di sofa dan kembali memandang ke layar kaca.

Tak lama kemudian, Bobby sudah kembali. Kemudian dia segera mendekati Nina yang dilihatnya asyik menonton sinetron. “Nin, kau sudah selesai belajar kan?” tanyanya kepada gadis itu. 
 
Mendengar itu, seketika Nina menoleh, memperhatikan wajah tampan yang lagi-lagi tersenyum padanya. "Iya, Kak. Sudah...” jawabnya kemudian.

“Kalau begitu, kita ngobrol di luar yuk!” ajak Bobby kepadanya.
“Maaf, Kak! Aku tidak punya waktu. Tadi saja aku belajar terburu-buru karena mau nonton sinetron ini,” tolak Nina memberi alasan.
“Eng, baiklah... Kalau begitu silakan diteruskan menontonnya. O ya, maaf kalau aku sudah mengganggumu!” ucap Bobby seraya melangkah pergi.
"Tunggu, Kak!” tahan Nina tiba-tiba. “Iya, Nin. Ada apa?” tanya Bobby seraya kembali
memandang ke arah gadis itu. “Eng, nanti seusai sinetron ini aku akan
menyusul,” Nina berjanji.


Ikuti Cerita Selanjutnya.....!!!


( Password : Novel I-One )


 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: