Loading

Pendidikan Usia Dini (PAUD)

Pada hakikatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

Sementara itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta strategi pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat , dan berdaya saing dalam kehidupan global.

Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan nasional adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional dan internasional; (3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global; (4) membantu dan menfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan (7) mendorong peran serta masyarakat prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indinesia.

Selain itu, sesuai dengan pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa : (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal, (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat,(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Dan untuk pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah yang dinyatakan pada pasal (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini (0-6 tahun) merupakan masa keemasan (golden age), yang pada masa ini stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Perlu disadari bahwa masa-masa awal kehidupan anak merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan seseorang anak. Pada masa ini pertumbuhan otak sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat (eksplosif).

Mengingat pentingnya masa ini, maka peran stimulasi berupa penyediaan lingkungan yang kondusif harus disiapkan oleh para pendidik, baik orang tua, guru, pengasuh ataupun orang dewasa lain yang ada di sekitar anak, sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya. Potensi yang dimaksud meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, kemampuan berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni. Pendidikan anak usia dini diberikan pada awal kehidupan anak untuk dapat berkembang secara optimal.

Upaya pengembangan harus dilakukan melalui kegiatan bermain agar tidak membuat anak kehilangan masa bermainnya. Bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak, bermain juga membantu anak mengenal dirinya, dengan siapa ia hidup, serta lingkungan tempat ia hidup. Melalui bermain anak memperoleh kesempatan untuk berkreasi, bereksplorasi, menemukan, dan mengekspresikan perasaannya.

Atas dasar hal tersebut di atas, maka perlu dirumuskan standar isi bagi anak usia dini yang dikembangkan berdasarkan karakteristik perkembangan anak agar dapat digunakan oleh para pendidik anak usia dini dalam mengembangkan seluruh potensi anak. Standar isi ini mencakup aspek moral dan nilai-nilai agama, social, emosional dan kemandirian, bahasa, kognitif, fisiomotorik, dan seni.

Standar Perkembangan
Standar Perkembangan merupakan pengembangan potensi anak yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik sesuai dengan tahapan usianya

Perkembangan Dasar
Perkembangan dasar merupakan pernyataan yang diharapkan dapat diketahui, disikapi dan dilakukan oleh anak didik, yang merupakan. cerminan pengetahuan, keterampilan dan sikap anak yang dicapai dari suatu tahapan pengalaman belajar dalam seluruh aspek perkembangan.

Indikator
Indikator merupakan hasil belajar yang lebih spesifik dan terukur dalam satu perkembangan dasar. Apabila serangkaian indikator dalam satu perkembangan dasar sudah tercapai, berarti target perkembangan dasar tersebut sudah terpenuhi.


Kemelut Hati - Nawa N.S

Nasiyah menguak jendela kamarnya perlahan. Ia menatap burung-burung kecil yang lincah. Sayap-sayapnya begitu ringan berkepakan di udara. Cakar-cakar mungil itu tak lelah berlompatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesaat bertengger di pohon dadap, lalu pindah ke dahan kopi, ke cabang-cabang cengkih, ke pelepah-pelepah kelapa.
Suara burung-burung itu berdengung di telinga Nasiyah, membuat hatinya makin teriris, memuing di atas bantal berenda mawar ungu.

Ya, sudah saatnya ia meredam ambisi. Keinginan menggebu untuk melanjutkan pendidikan harus ia telan. Semangat yang harus ia kubur dalam-dalam bersama segala kenangan indah di masa lalunya.

Satu minggu, dua minggu, tiga puluh lima hari lagi! Hari dan tanggalnya sudah ditetapkan melalui rundingan para orang tua semalam. Kamis Pahing, dua puluh empat Jumadilakir, adalah hari baik yang telah disepakati, baik oleh tetua dari pihak Nasiyah maupun Diman, sebagai hari ijab kabul mereka.

Sejak saat itu statusnya berubah. Ia bukan lagi Nasiyah, melainkan Bu Diman, istri seorang guru sekolah dasar.
“Selamat pagi, Bu Guru.” Demikian orang-orang desa akan menyapanya. Memang, di desa Nasiyah ini sudah menjadi perjanjian tak tertulis, bahwa seorang perempuan yang menjadi istri guru, secara otomatis dipanggil Bu Guru, meskipun ia tidak bekerja.

Bu Guru. Ah, sebuah predikat yang begitu menggodanya. Tetapi, bukan dengan jalan ini ia mengharapkan predikat itu.
Pada waktu itu kedudukan guru masih dianggap mulia dan terhormat. Guru adalah orang paling pintar, tempat bertanya dan meminta saran untuk memecahkan berbagai masalah, serta menjadi teladan, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi bermasyarakat.

Di desa Nasiyah hanya ada dua sekolah dasar dan satu madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar Islam). Kepala sekolah dan guru-gurunya kebanyakan dari luar daerah. Diman adalah satu dari empat guru yang berasal dari desa itu. Dan, dia yang paling muda. Tiga lainnya sudah berkeluarga serta mempunyai tiga atau empat anak. Ketika lulus Sekolah Pendidikan Guru, Diman diangkat menjadi guru di desanya sendiri.

Para tetangga mengatakan, Nasiyah sangat beruntung karena akan diperistri oleh Pak Guru Diman. Menurut mereka, laki-laki yang pandai seharusnya mendapatkan perempuan yang pandai juga supaya seimbang. Jadi, panggilan Bu Guru pun bagi mereka sangat pantas disandang Nasiyah. Apalagi, Nasiyah tamatan SMP, jenjang pendidikan yang cukup tinggi di mata mereka.

Memang, teman-teman Nasiyah yang bisa sekolah sampai SMP bisa dihitung dengan jari. Itu pun ada beberapa yang berhenti atau keluar karena dinikahkan atau karena harus membantu orang tua. Hanya Nasiyah, satu teman gadis, serta tiga teman laki-lakinya yang bisa bertahan sampai lulus. Dan, Nasiyah harus puas dengan ijazah SMP karena ia hanya anak petani kecil.

Sebenarnya, berat bagi Nasiyah menerima kenyataan itu. Tapi, sebagai anak sulung, ia harus ikut memikirkan kondisi keluarga. Adiknya ada lima dan semuanya perlu biaya sekolah yang tidak sedikit. Sementara orang tuanya hanya seorang buruh tani. Hasil panen hanya cukup untuk makanan pokok hingga waktu panen berikutnya. Untuk lauk serta kebutuhan harian lainnya diperoleh dari hasil jualan tempe bungkus di pasar.
Kesedihan itu makin memenjara hati ketika ia melihat burung-burung bebas beterbangan, sambil menari dan menyanyi. Mereka tampak ceria, seperti Nasiyah ketika masih SMP.

Saat-saat itu.
Pagi-pagi sekali, sebelum subuh, Nasiyah sudah bangun. Ia menggeliat sebentar lalu beranjak menuju dapur. Di sana sudah ada Emak yang sedang meniriskan rendaman jagung. Bau asam menyengat menyeruak ke hidung, membangkitkan semangat untuk segera bergerak. Nasiyah mengambil tampah dan ayakan bambu. Bapak menyiapkan lumpang. Nasiyah dan bapaknya mengambil alu. Anak dan bapak berdiri berhadapan seperti dua musuh yang siap bertarung. Selesai mencuci jagung, Emak lalu memasukkan sebagian ke dalam lumpang sampai hampir penuh. Tidak lama kemudian terdengarlah suara mengentak: dag-dug… dag-dug… dag-dug…. Ya, irama kehidupan. Seperti detak jantung manusia.

Dag-dug! Dag-dug! Dag-dug! Nasiyah dan Bapak terus memukulkan alu mereka ke dalam lumpang itu bergantian. Dag! Alu Nasiyah mantap, seperti cita-citanya menjadi guru, seperti harapannya agar bisa membantu orang tua. Dug! Saat Nasiyah mengangkat alunya, ganti alu Bapak yang menghantam kuat. Seperti tanggung jawabnya terhadap keluarga.

Dag-dug! Dag-dug! Dag-dug! Dua kekuatan menyatu untuk menggempur nafsu yang mencoba mengikis semangat hidup. Hari masih begitu pagi dan udara sangat dingin. Jika mereka terkalahkan oleh kantuk dan rasa malas, butiran-butiran jagung itu tidak akan bisa segera menjadi nasi. Maka, meskipun tangan terasa pegal, keringat terus mengalir di wajah serta punggung, keduanya tidak mau berhenti.

Butiran-butiran jagung itu berangsur-angsur pecah, memuing, dan hancur menjadi tepung. Nasiyah dan Bapak berhenti, meletakkan alu. Orang tua itu duduk, mengatur napasnya kembali. Nasiyah mengayak sedikit demi sedikit. Sisa ayakan yang masih kasar dipisahkan untuk kemudian ditumbuk lagi agar semua menjadi halus. Begitu seterusnya hingga semuanya siap dimasak.

Tepung itu lalu digangsur, yaitu diremas-remas dan ditekan-tekan pada tampah. Ini supaya butiran-butiran jagung memadat sehingga nasi yang dihasilkan bisa empuk. Kata Emak, makin lama digangsur, hasilnya makin baik.

Lalu, Emak mulai menyiapkan dagangannya. Ia membuka tumbu (wadah dari bambu untuk meletakkan barang yang akan dipikul) dan memeriksa beberapa bungkus tempe. Jamurnya sudah tampak putih dan merata. Tandanya, tempe sudah jadi. Maka, tumbu-tumbu lain pun dibuka. Isinya ditumpahkan untuk kemudian ditata kembali agar lebih ringkas sehingga mudah dibawa ke pasar.

Setelah selesai menata barang dagangannya, Emak membersihkan alat-alat yang tadi digunakan. Sementara itu, Nasiyah dibantu Munaroh, adiknya, ke kali untuk mencuci pakaian.

Suara beduk menandai waktu subuh telah datang. Bapak pergi ke langgar sejak seperempat jam lalu. Setelah Bapak pulang, Bapak dan Emak segera keluar rumah, menerobos kegelapan serta dinginnya pagi, menuju ke pasar.

Setelah menjemur baju-baju, Nasiyah bergegas sembahyang subuh, berganti pakaian, kemudian sarapan pagi. Ia harus sudah berangkat ke sekolah sebelum setengah enam. Sebab, untuk mencapai sekolah, Nasiyah dan kawan-kawannya harus berjalan kaki selama kurang lebih satu sampai satu setengah jam. Kadang-kadang, belum selesai ia menghabiskan sarapan, teman-temannya sudah memanggil. Karena itu, ia pun buru-buru mencuci piring, merapikan baju, bersisir sebentar, lalu menyambar tas.

Kenangan masa remaja yang manis buat Nasiyah. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke tempat tidur. Tiba-tiba, ia seolah mendengar suara derap sepatu anak-anak berseragam biru-putih. Diurungkannya niatnya untuk beranjak dari jendela. Dipandanginya kembali burung-burung itu.

Ya, mereka seperti burung-burung itu, yang mendendangkan lagu ceria. Renyah tawa mereka di tengah candaan-candaan ringan penuh sukacita. Hangat persahabatan itu mencairkan kebekuan pagi, meleleh bersama keringat di wajah dan punggung mereka.

Dari arah berlawanan mereka berpapasan dengan banyak orang. Perempuan-perempuan yang berjalan terbungkuk-bungkuk karena punggungnya diberati beban, seperti emak Nasiyah. Para lelaki terengah menahan pikulan di pundak, seperti bapak Nasiyah. Tetapi, ada juga beberapa orang yang berjalan melenggang saja atau hanya dengan menenteng keranjang belanjaan, mengepit dompet di ketiak, dan kain gendongan berkibar di bahu.

Sementara itu, di jalan setapak tampak beberapa orang memanggul cangkul dan menenteng sabit, menyusuri pematang-pematang sawah, turun di antara pangkal-pangkal rumpun padi yang terpotong, melewati gundukan-gundukan jerami sisa panen. Angin sepoi-sepoi basah bertiup dari timur menuju barat menyisakan hawa semalam. Di sisi lain ada yang masih berkerudung sarung, berjalan sambil mendekap kedua siku, sesekali tampak menguap. Satu dua masih berpakaian tebal, melangkah pelan-pelan dengan menuntun atau menggendong anak kecil.




Ebook Jarimatika

Mengapa Anak Perlu Menguasai Ketrampilan Berhitung?

Disamping kemampuan membaca, ketrampilan berhitung adalah salah satu ketrampilan dasar yang perlu dikuasai oleh anak-anak kita.
Bila ketrampilan membaca dapat memperluas cakrawala anak-anak kita, maka berhitung juga mempunyai banyak manfaat; diantaranya:
  • Agar anak kita dapat lebih memahami alam semesta dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya
  • Agar anak kita dapat melakukan perencanaan dan evaluasi dengan baik saat dewasa nanti
  • Agar anak-anak kita dapat membuat rancangan dan konstruksi dengan benar
  • Yang juga tidak kalah penting adalah agar anak-anak kita dapat berlaku adil
  • Kemudian agar mereka bisa berbelanja dengan benar
  • Lalu juga agar mereka tidak mudah ditipu
  • Dan tentu masih banyak lagi nilai pentingnya bagi kehidupan anak kita.
Begitu pentingnya ketrampilan berhitung ini, sehingga orang tua --secara sadar maupun tidak – seringkali ‘memaksa’ anak untuk segera menguasai berhitung dengan baik.

Begitu bersemangatnya orang tua dalam mendorong anak agar pandai berhitung, acap kali kemudian menjadi kurang proporsional. Orang tua mulai panik kalau anaknya dinilainya terlambat menguasai ketrampilan berhitung. Apalagi bila orang tua melihat anak-anak yang sebaya sudah banyak yang menguasai ketrampilan berhitung dengan baik....., kepanikan bisa berkembang menjadi kejengkelan, kemarahan, dsb.

Padahal seperti halnya ketrampilan yang lain, untuk dapat berhitung dengan baik diperlukan suatu proses :
  1. Anak perlu untuk memahami bilangan dan proses membilang
  2. Kemudian mulai dikenalkan dengan lambang bilangan
  3. Setelah itu diajarkan konsep operasi hitung
  4. Baru kemudian dikenalkan aneka cara dan metode melakukan penghitungan.
Jarimatika merupakan salah satu cara melakukan operasi hitung.

Jika kita melakukan latihan berhitung secara berulang-ulang bersama dengan anak-anak kita --tidak perlu kuatir-- anak kita pasti menguasai ketrampilan ini dengan baik.

Saya yakin ini bukan hal baru. Sewaktu anak-anak kita masih bayi, dan kita mulai mengajarkan padanya berbicara, kita ucapkan satu kata dan menunjukkan maknanya berulang-ulang di hadapannya, misalnya kata: Ibu.

Dan kita melakukannya puluhan… ratusan…bahkan mungkin ribuan kali sebelum mendapatkan respon dari anak kita. Meski begitu kita sabar melakukannya

Respon seperti apapun yang muncul dari anak kita, senantiasa kita sambut dengan gembira dan pujian, seperti: ”Anak Mama memang hebat!” dan pujian-pujian sejenis dengan itu. Intinya: Selalu mengapresiasi anak dan memberikan dorongan semangat mencapai yang lebih baik lagi.

Bahkan seandainya responnya pun tidak sesuai dengan maksud orang tua, kita tetap memberikan pujian dan dorongan. Bukankah demikian?

Lalu mengapa kemudian kita kehilangan kontrol saat membimbing anak kita memahami persoalan berhitung?? Kita cenderung menjadi tidak fair terhadap anak-anak ketika berurusan dengan berhitung dan juga Matematika pada umumnya?

Mungkin, sekali lagi mungkin secara tidak sadar kita membandingkan kemampuan berpikir anak dengan diri kita

Atau melebih-lebihkan apa yang telah kita kerjakan, seperti “Bukankah Mama sudah mengajarkan padamu ratusan kali…” Benarkah demikian?

Atau jangan-jangan ketidak-sabaran kita itu representasi dari kebingungan kita untuk memahamkan kepada anak ketrampilan beritung dan Matematika?

Jika demikian, moga-moga Jarimatika dapat membantu Anda untuk bersama-sama anak mengenali proses berhitung dan tatacara berhitung dengan cara yang Mudah dan Menyenangkan.

Jarimatika

Berikut ini kita akan berbincang-bincang tentang suatu cara untuk melatih ketrampilan berhitung anak-anak. Kami menyebutnya dengan nama JARIMATIKA.

Mengapa disebut Jarimatika?
Karena kita akan memanfaatkan jari-jari tangan untuk alat bantu menyelesaikan Aritmatika (dalam hal ini proses berhitung): Kali – Bagi –Tambah – dan Kurang atau biar keren disingkat dengan KaBaTaku.

Apa nilai lebihnya?
  • Jarimatika memberikan visualisasi proses berhitung. Hal ini akan membuat anak mudah melakukannya.
  • Gerakan jari-jari tangan akan menarik minat anak. Mungkin mereka menganggapnya lucu. Yang jelas, mereka akan melakukannya dengan GEMBIRA.
  • Jarimatika relatif tidak memberatkan memori otak saat digunakan.
  • Alatnya tidak perlu dibeli, tidak akan pernah ketinggalan, atau terlupa dimana menyimpannya….
  • ….dan juga tidak bisa disita saat ujian…
 

Seorang Raja dan Nelayan Karya Hartwell James

Kerajaan yang dialiri oleh sungai Tigris dan Euphrates pernah di perintah oleh seorang raja yang sangat gemar dan menyukai ikan.

Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu, di taman istana yang berhadapan langsung dengan tepi sungai Tigris, yang pada saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dan dengan pandangan yang penuh selidik pada perahu-perahu yang meluncur, dimana pada satu perahu duduk seorang nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar.

Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu bahwa sang Raja ini sangat menggemari ikan tertentu, nelayan tersebut memberi hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa perahunya ketepian, datang dan berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau menerima ikan tersebut sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan memerintahkan agar sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.

Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan taman istana, Ratu berputar menghadap sang Raja dan berkata: “Kamu telah melakukan sesuatu yang bodoh.” Sang Raja terkejut mendengar Ratu berkata demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas:

“Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan yang mungkin berhasil menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila mereka tidak dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas, dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara teman-temannya.”

“Kamu berkata benar, dan ini membuka mata saya,” kata sang Raja, “tetapi tidakkah kamu melihat apa artinya menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang telah diberikan?” Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk membantah hal itu, dia membalikkan badan dengan marah dan berkata “Hal ini sudah selesai dan tidak usah dibicarakan lagi.”

Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika pikiran sang Raja sedang senang, Ratu menghampirinya dan berkata bahwa jika dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik kembali hadiah yang telah diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. “Kamu harus memanggil nelayan itu kembali,” katanya, “dan kemudian tanyakan, ‘Apakah ikan ini jantan atau betina?’ Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang kamu inginkan adalah ikan betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kamu menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat kita sesuaikan dengan baik.”

Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan memerintahkan agar nelayan tadi dibawa ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata adalah orang yang sangat pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: “Hai nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau betina?”

Nelayan tersebut menjawab, “Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina.” Saat itu sang Raja tersenyum mendengar jawaban yang sangat cerdik, dan untuk menambah kejengkelan sang Rau, memerintahkan bendahara istana untuk memberikan sejumlah uang yang lebih banyak kepada nelayan tersebut.

Kemudian nelayan itu menyimpan uang tersebut dalam kantong kulitnya, berterima kasih kepada Raja, dan memanggul kantong tersebut diatas bahunya, bergegas pergi, tetapi tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa dia telah menjatuhkan satu koin kecil. Dengan menaruh kantong tersebut kembali ke tanah, dia membungkuk dan memungut koin itu dan kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan pandangan mata Raja dan Ratu yang mengawasi semua tindakannya.

“Lihat! betapa pelitnya dia!” kata Sherem, sang Ratu, dengan bangga atas kemenangannya. “Dia benar-benar menurunkan kantongnya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena mungkin dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut akan diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin, yang membutuhkannya untuk membeli sebuah roti dan yang memohon agar raja dikaruniai umur panjang.”

“Sekali lagi kamu berbicara benar,” balas sang Raja, merasakan kebenaran dari komentar Ratu; dan sekali lagi nelayan tersebut dibawa untuk menghadap ke istana. “Apakah kamu ini manusia atau binatang buas?” Raja bertanya kepadanya. “Walaupun kamu mungkin sudah kaya tanpa harus bekerja keras lagi, tetapi sifat pelit dalam dirimu tidak membiarkan kamu untuk meninggalkan satu koin kecil untuk orang lain.” Lalu sang Raja memerintahkan nelayan tersebut untuk pergi dan tidak menampakkan lagi wajahnya di dalam kota kerajaannya.

Saat itu nelayan tersebut berlutut pada kedua kakinya dan menangis: “Dengarkanlah hamba, Oh sang Raja, pelindung rakyat miskin! Semoga Tuhan memberkahi Tuanku dengan umur panjang. Bukan nilai dari koin tersebut yang hamba pungut, tetapi karena pada satu sisi koin tersebut tertera tulisan pujian atas nama Tuhan, dan disisi lainnya tergambar wajah Raja. Hamba takut bahwa seseorang, mungkin dengan tidak sengaja karena tidak melihat koin tersebut, akan menginjaknya. Biarlah sang Raja yang menentukan apakah yang saya lakukan ini pantas untuk dicela atau tidak.”

Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang tidak terhingga, dan memberikan lagi nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia menjadi sadar dan melihat dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung yang dimuati dengan uang.
 
 
Sumber : dongengkakrico
 
 
 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: