Nostalgia akan pelajaran bahasa Indonesia di SMP, yang menitikberatkan pada pengenalan sastra, mendorong saya untuk membeli novel ini. Adegan demi adegan sinetronnya yang juga saya ikuti secara rutin di televise bertahun-tahun lampau membantu penghayatan alur cerita. Saya membayangkan Sandy Nayoan sebagai Midun, Dessy Ratnasari (yang kala itu masih 'murni') sebagai Halimah, almarhum Asrul Zulmi sebagai Turigi, dan Fuad Baradja sebagai saudagar Arab.
Kendati penulis menggunakan kalimat panjang-panjang, termasuk dalam dialog, Sengsara Membawa Nikmat tetap sedap dibaca. Contohnya di halaman 87, "Saya dihukum ini tidak utang yang dibayar, dan tidak piutang yang diterima.." Gaya bahasa nan indah lagi baku yang ritmis ditambah ilustrasi sebagai selingan membuat saya sanggup menuntaskan novel ini dalam tempo satu hari saja.
Midun, sang pemuda shalih, tidak dikisahkan berhati putih selalu.
Kadang ia dihantam keputusasaan, terpaksa berprasangka kepada Kacak si keponakan Engku Muda yang memang ingin menyingkirkannya karena iri hati, serta mengalah kepada sipir yang rakus kala dikirimi makanan dalam rantang oleh Halimah. Penggambaran karakter yang manusiawi meski tetap menebar pelajaran budi pekerti.
Tulis Sutan Sati pun mengungkap unsur-unsur budaya Minang yang terkadang memberatkan, seperti pemerolehan harta warisan bukan kepada anak-anak --melainkan keponakan lelaki. Sungguh mengenaskan saat ibu dan adik-adik Midun meninggalkan rumah hasil jerih payah mendiang ayahnya sebab sang keponakan, yang justru berpangkat dan tidak kekurangan, ngotot menuntut pembagian harta 'sebagaimana mestinya'.
Sengsara Membawa Nikmat ~ Editor By. I-One
0 komentar:
Post a Comment