Loading
Showing posts with label E-Book. Show all posts
Showing posts with label E-Book. Show all posts

The Chronicles of Narnia : Keponakan Penyihir - Nurul Huda Kariem MR

Pintu yang Salah

INI kisah tentang sesuatu yang terjadi dulu sekali ketika kakek-nenekmu masih kanak-kanak. Kisah ini penting karena mengungkapkan bagaimana pertama kali dimulainya berbagai hal bisa keluar-masuk dari dunia kita sendiri ke tanah Narnia.

Di masa-masa itu, Mr Sherlock Holmes ma­sih tinggal di Baker Street dan keluarga Bastable  masih mencari harta terpendam di Lewinsham Road. Di masa-masa itu, kalau kau anak laki-laki kau harus mengenakan kerah Eton yang kaku setiap hari, dan sekolah-sekolah biasanya  lebih kejam daripada sekarang. Tapi makanan-makanannya lebih lezat, dan kalau bicara soal permen-permennya, aku tidak akan bilang padamu betapa murah dan nikmat semua jenisnya, karena itu hanya akan membuat air liurmu menetes percuma. Dan di masa-masa itu, hiduplah di London anak perempuan bernama Polly Plummer.

Dia tinggal di salah satu rumah di deretan panjang rumah yang berdempetan. Di suatu pagi, dia sedang berada di kebun belakang ketika seorang anak laki-laki datang berlari dari kebun sebelah dan meletakkan kepalanya di atas pagar tembok. Polly sangatlah terkejut karena hingga saat ini belum pernah ada anak-anak di rumah itu, hanya Mr Ketterly dan Miss Ketterley, kakak-beradik, perjaka tua dan perawan tua, tinggal bersama. Jadi Polly mendongak, penuh rasa ingin tahu. Wajah anak laki-laki asing itu sangat kotor. Nyaris tidak akan bisa lebih kotor lagi bila dia menggosokkan tangan ke tanah dulu, menangis keras, lalu mengeringkan wajah dengan kedua tangannya. Bahkan sebenarnya, bisa dibilang itulah yang baru saja dia lakukan. 
"Halo," sapa Polly. 
"Halo," sapa anak laki-laki itu. 
"Siapa nama- mu?" 
"Polly," jawab Polly. 
"Kalau namamu?" 
"Digory," jawab si anak laki-laki. 
"Wah, namamu aneh sekali!" kata Polly. 
"Lebih aneh mana dengan Polly?" kata Digory. 
"Namamu lebih aneh," kata Polly. 
"Tidak," kata Digory. 
"Yang pasti aku akan mencuci wajahku," kata Polly. 
"Itu perlu kaulakukan, terutama setelah—" lalu dia berhenti. Dia berniat berkata 
"Setelah kau menangis lama," tapi dia pikir itu tidak sopan.

"Baiklah, aku akan mencuci muka," kata Digory dengan suara yang jauh lebih keras, seperti anak lelaki yang saking sedihnya tidak peduli siapa saja yang tahu dia habis menangis. 

"Tapi kau juga akan begini," dia melanjutkan, "kalau sepanjang umurmu kau hidup di pedesaan dan memiliki kuda poni, juga sungai di bagian bawah taman, lalu dibawa untuk hidup di gua kumuh mengerikan seperti ini."
"London bukan gua," kata Polly yakin. Tapi anak lelaki itu terlalu marah untuk mendengarnya, dia pun melanjutkan.
"Dan kalau ayahmu berada jauh di India— dan kau harus tinggal bersama Bibi dan Paman yang gila (siapa yang bakal mau?)—dan kalau alasannya adalah karena mereka harus menjaga ibumu—dan jika ibumu sakit dan akan— akan—meninggal." Kemudian wajahnya mulai membentuk rupa aneh yang biasa muncul bila kau berusaha menahan air mata. 
"Aku tidak tahu itu. Maaf ya," kata Polly lembut. Kemudian, karena dia hampir tidak tahu apa yang harus diucapkan dan berusaha mengalihkan pikiran Diggory ke topik-topik menggembirakan, dia bertanya: 

"Memangnya Mr Ketterly benar-benar gila, ya?" 


"Yah, kalau tidak gila," kata Digory, "pastinya dia menyimpan misteri lain. Dia punya ruang kerja di lantai atas dan Bibi Letty bilang jangan sekali-kali aku berani ke sana. Nah, itu saja sudah terdengar mencurigakan, kan? Kemudian ada satu hal lagi. Setiap kali pamanku berusaha mengatakan apa pun padaku saat makan—dia bahkan tidak pernah berusaha bicara pada Bibi—Bibi Letty langsung menyuruhnya diam. Dia bilang, 'Tidak perlu mencemaskan anak itu, Andrew' atau 'Aku yakin Digory tidak mau mendengar tentang itu' atau kalau tidak 'Nah, Digory, tidakkah kau ingin main keluar di taman?"' 

"Biasanya pamanmu berusaha bicara tentang apa?" 

"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bisa bicara banyak. Tapi ada lagi yang lebih membuat penasaran. Suatu  malam—bahkan sebenarnya, kemarin malam—waktu aku melewati tangga terbawah menuju loteng, saat mau pergi tidur (dan biasanya aku tidak  pernah terlalu peduli saat melewatinya), aku yakin aku men­ dengar teriakan." 
"Mungkin dia menyekap istrinya yang gila di atas sana." 

"Ya, aku sudah memikirkan kemungkinan itu."

"Atau mungkin dia sebenarnya pembuat uang palsu." 
"Atau dia mungkin dulunya bajak laut, seperti pria yang ada di bagian awal buku Treasure Island, yang selalu bersembunyi dari teman-teman sekapalnya."
"Seru sekali!" kata Polly. "Aku tidak pernah menyangka rumahmu begitu menarik."  
"Kau mungkin berpendapat rumah itu mena­ rik," kata Digory. "Tapi kau tidak bakal menyukainya kalau harus tidur di sana. Apakah kau masih akan menyukainya kalau harus se­ lalu terbaring dalam keadaan terjaga mendengarkan langkah kaki Paman Andrew yang mengendap-endap sepanjang koridor menuju rumahmu? Matanya juga mengerikan sekali." 
Begitulah ceritanya bagaimana Polly dan Digory bisa saling mengenal. Dan karena saat itu masih permulaan liburan musim panas dan tidak satu pun dari mereka yang pergi ke laut tahun itu, mereka bertemu nyaris setiap hari. 
Sebagian besar alasan dimulainya petualangan mereka adalah karena saat itu musim panas yang paling sering hujan dan dingin yang per­nah ada sejak bertahun-tahun. Keadaan ini membuat mereka harus berpuas diri dengan kegiatan-kegiatan di dalam rumah, bisa dibilang, petualangan di dalam rumah. Menakjubkan sekali betapa banyaknya petualangan yang  bisa kaulakukan dengan sebongkah lilin di suatu rumah besar, atau di deretan rumah. 

Polly telah lama menemukan bahwa jika kau  membuka pintu kecil tertentu di loteng yang berbentuk kotak di rumahnya, kita akan me­nemukan tempat penyimpanan air dan ruang gelap di belakangnya yang bisa kau masuki dengan sedikit memanjat hati-hati. Ruang gelap itu seperti terowongan panjang dengan dinding bata di satu sisi dan atap curam di sisi lainnya. Di atap, berkas-berkas kecil cahaya menembus di antara rongga- rongganya. Tidak ada lantai di terowongan ini, kita bakal harus melangkah dari kasau ke kasau, dan di antaranya hanya ada plester. Kalau kita menginjak plester ini kau akan mendapati dirimu terjatuh dari langit-langit ruangan di bawahnya. 

Polly menggunakan sebagian kecil terowongan itu, tepat di  sebelah tempat penyimpanan air, sebagai gua penyelundup. Dia membawa bagian-bagian peti pakaian tua, beberapa bantalan kursi dapur yang rusak, dan benda-benda sejenis lainnya, lalu menyebar semua benda itu di atas kasau demi kasau sehingga terbentuk semacam lantai. Di sinilah dia menyimpan kotak uang yang berisi berbagai harta, dan cerita yang sedang ditulisnya, lalu biasanya beberapa apel. Dia sering kali diam-diam meminum bir jahe di sana, botol-botol lamanya membuat tempat itu lebih kelihatan seperti gua penyelundup.

Ikuti cerita selengkapnya....!!!



Password : Novel I-One


Cinta Nasi Lemak - Nizam Zakaria

Julia benci memandu di Kuala Lumpur. Banyak kali dia diberitahu bahawa pemandu-pemandu di Kuala Lumpur adalah di antara pemandu-pemandu yang paling kurang ajar di Malaysia (selain dari Pulau Pinang. Tetapi Julia tidak pernah memandu di sana, jadi dia tidak boleh mengesahkan hal ini). Setiap kali dia memandu, ada sahaja kereta yang  akan membunyikan hon kepadanya ataupun memarahi kerana memandu di bawah had laju yang ditetapkan.

Sebuah kereta Honda City bewarna hitam memotong keretanya untuk cepat-cepat masuk ke dalam lorong Touch & Go di Plaza Tol Sunway. Julia hanya mampu berdecit. Dia memandang ke arah jam di dalam kereta pacuan empat roda Toyota Rav4 Turbonya. Dia tidak mahu terlambat ke tutorialnya lagi. Tetapi di hadapannya terdapat beratus-ratus buah kereta yang bergerak perlahan. Sesak. Masing-masing bergegas ke tempat kerja atau seperti dirinya yang sedang bergegas ke Universiti Monash, tempat dia belajar sejak dua tahun yang lepas.
 
Julia menggigit bibirnya. Dia menjengahkan lehernya untuk melihat wajahnya di muka cermin di hadapannya. Dia memandang ke arah bibirnya. Kemudian dia cepat-cepat mengeluarkan gincunya dari dalam beg tangannya lalu mengenakan gincunya. Belum sempat dia dapat mengenakan gincunya, dia dapat mendengar bunyi hon di belakang keretanya. Julia mengeluh. Dia menggerakkan keretanya ke hadapan.
 
Julia adalah satu-satunya anak kepada Dr. Shahri, seorang duda beranak satu yang telah berpisah dengan bekas isterinya sejak tujuh tahun yang lepas. Doktor Sahri mempunyai kliniknya sendiri di Subang Jaya dan kini menetap bersama anaknya Julia yang masih lagi berusia 20 tahun di sebuah banglo di Bandar Kinrara. Sejak berpisah dengan isterinya Wati, Shahri menjaga Julia seperti menatang minyak yang penuh. Apa-apa sahaja permintaan Julia akan diturutinya. Shahri tidak pernah meragui cabaran serta dugaan menjaga seorang anak perempuan. Tetapi dia tetap mencuba sedaya upaya untuk menjaga Julia dengan sebaik-baiknya. Dia mahu membuktikan kepada Wati bahawa dia juga mampu menjaga Julia dan mendidiknya untuk menjadi seorang manusia yang terpuji kelakuannya. Bukan sepertinya, yang dianggapnya seorang wanita jalang yang tidak bermaruah kerana telah curang kepadanya satu ketika dahulu...
 
Julia tercungap-cungap masuk ke dalam kelas tutorialnya. Dia memandang ke arah jam tangannya. Dia tidak terlambat. Dia melepaskan nafasnya apabila dia mendapati pensyarahnya baru sahaja masuk ke dalam kelas tutorial dengan kertas peperiksaan.  Julia memandang ke arah Daniel Tan yang sedang duduk di barisan paling hadapan yang sedang menoleh ke arahnya. Daniel menjeling. Julia membeliakkan matanya untuk memintanya agar jangan menoleh ke arahnya lagi.   
 
Julia menarik nafasnya. Dia memandang ke arah Ariffin, yang sedang duduk di hadapannya. Dia mendapati Ariffin hanya memandang ke arah hujung pensilnya. Kemudian dia menggigit hujung pensilnya itu. Sandra, gadis kelahiran Jakarta yang sedang duduk di sebelah kiri Ariffin sedang termenung memandang ke arahnya. Sandra sedang termenung memikirkan jika Samuel Rizal tidak dapat berlakon di dalam sambungan filem Eiffel I’m in Love, mungkin Ariffin dapat mengambil alih untuk melakonkan wataknya itu. Wajah Ariffin yang nakal itu cukup sesuai untuk watak tersebut, fikirnya.

Julia tahu Sandra dan entah berapa puluh lagi gadis seuniversitinya yang telah jatuh hati kepada Ariffin. Tetapi Ariffin tidak pernah mahu ambil tahu tentang itu semua. Dia pastinya tidak mahu mengambil tahu jika terdapat tulisan “Ariffin is so cute!” di dalam tandas perempuan tingkat 3 di universitinya... Ariffin mempunyai wajah yang manis. Dia mempunyai ketinggian mencecah enam kaki dengan susuk tubuh yang tegap dengan kulit sawo matang yang nampak bersih dan terjaga. Apa yang membuat beberapa gadis di universitinya tertarik kepadanya adalah matanya yang tajam bak burung helang dan senyumannya yang mampu membuatkan hati dan jiwa mereka cair. Untuk seorang anak muda yang baru mencecah usia 20 tahun, Ariffin mempunyai wajah yang matang seperti seorang pemuda berusia pertengahan umur 20-an. Sifat pendiam Ariffin membuat mereka lebih tertarik kepadanya...
 
Julia kerisauan. Dia tidak tahu jika Ariffin akan menepati janjinya. Puan Tan yang menjadi tenaga mengajar untuk kelas Business Law itu mula membahagi-bahagikan kertas soalan peperiksaan kepada pelajar-pelajarnya. Sebaik sahaja Julia mendapatkan kerja soalannya, dia terus melihat soalan-soalan objektif yang ada. Dia rasa mahu pitam. Dia tidak dapat memahami apa yang disoal, inikan pula menjawabnya. Sekali lagi dia memandang ke arah Ariffin. Dia mendapati Ariffin terus membongkok untuk menjawab soalan-soalan yang diterimanya. 
 
Julia mengeluh. Dia dapat merasakan dia akan gagal lagi. Dia mungkin tidak akan mampu menghadapi bapanya jika dia gagal dalam peperiksaannya kali ini... Dua minggu sebelum peperiksaan akhir semester Julia melihat papan tanda di sebelah kelas tutorialnya. Nama pelajar dan keputusan ujian subjek Business Law ada dipaparkan di sana. Beberapa orang pelajar mengerumuni papan tanda tersebut. Ada yang tersenyum dan ada pula yang nampak sedih. Julia dengan takut-takut untuk melihat sendiri keputusan ujiannya. Tetapi dia
tetap memberanikan dirinya untuk mengetahui keputusannya. Wajah Julia pucat. Dia dapat melihat namanya berada di dalam senarai tercorot untuk ujian tersebut.

Julia berdiri kaku buat seketika. Dia dapat merasakan dirinya sukar untuk bernafas. Dia mahu menangis. Ini merupakan kali kedua dia mengambil subjek yang sama kerana pada semester lepas dia pernah gagal dalam subjek ini. Julia tidak mahu gagal kerana dia dia tidak mahu mengecewakan bapanya.  Julia sekali lagi memeriksa senarai tersebut untuk memastikan dia tidak bermimpi. Tetapi di dapatinya bahawa sememangnya dia gagal dalam ujiannya yang lalu.
 
Apabila dia memandang ke senarai yang 5 pelajar teratas, dia mendapati hanya terdapat satu nama Melayu sahaja di situ. Ariffin bin Nordin. Kalau tidak salah, Daniel kenal rapat dengan Ariffin. Daniel pernah sekelas dengan Ariffin di dalam semester-semesternya yang lepas. Julia mencari-cari kelibat Daniel...
 
“Julia! I was looking for you all over the place!” kata Hadi di belakang Julia. Julia mengalihkan pandangannya ke belakang. Hadi berdiri tercegat di belakangnya sambil berpeluk tubuh.
“Dah tu kenapa?” tanya Julia kembali.
“Takdelah... I ingat kita boleh minum-minum ke sebelum you masuk kelas.”
“Hadi... Berapa kali I kena beritahu kat you? I bukan girlfriend you lagi. I takde masa nak layan you macam dulu. Dah sebulan kita break... So it’s over between us! Ada faham tak?” Julia berwajah serius. Dia mahu Hadi berhenti mengganggunya. 
 
Hadi yang bertubuh rendah dan gempal itu terus tersengih. Di dalam seumur hidupnya, segala permintaannya tidak pernah dikecewakan oleh kedua ibu dan bapanya. Malah, dia tidak pernah mengenal erti tidak. Maka, dia langsung tidak dapat menerima hakikat apabila Julia, di antara gadis yang tercantik dan yang paling popular di kolejnya itu menidakkan dirinya. 
 
“Haiyoh Julia! Handbag baru ke? Gucci lagi. Very der Paris Hilton, one!” sebut Daniel yang bertubuh kurus tinggi itu kepadanya. Daniel sempat memandang kepada pakaian dan seluar jeans yang dipakai Julia yang nampak ranggi.

“Ya... I pergi shopping dengan mama I semalam. Dia yang belikan.” Julia menjawab. Dia langsung tidak mengendahkan Hadi lantas masuk ke dalam kelas tutorialnya bersama Daniel. Hadi menggaru-garu dagunya sebelum dia cepat-cepat berjalan ke arah dewan kuliahnya B.
“Thanks again for saving me from that creep!” ujar Julia kepada Daniel.
“That’s what friends are for, yang...” sambut Daniel sebelum dia meminta Julia menunjukkan beg tangan yang baru dibelinya itu kepadanya. Daniel memeriksa kemasan beg tangan itu.
“You girls are so lucky boleh beli benda ni semua, kan?” getus Daniel dengan nada cemburu.
“Eh, nyonya! Kalau you nak pakai handbag macam ni pun boleh jugak. Tapi masa tu I kena panggil you Danielle pulak lah kan?” Julia berseloroh. Daniel menjeling sambil tersenyum. Puan Tan masuk ke dalam kelas. Julia cepat-cepat beralih tempat duduk ke belakang.

Sepuluh minit selepas kelas tutorial dimulakan, Julia mendapati Ariffin yang sedang duduk di hadapannya tertidur dengan kepalanya dibaringkan ke atas meja. Julia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia hairan bagaimana Ariffin boleh mendapat keputusan yang agak cemerlang untuk ujian-ujian yang dihadapinya sedangkan setiap kali dia datang ke kelas tutorial (itu pun jika dia tidak ponteng), dia akan tertidur atau termenung dan mengelamun seorang diri. Julia tidak pernah melihatnya menumpukan perhatiannya kepada pelajarannya ataupun mengambil nota. 
 
Setengah jam kemudian, Puan Tan mengumumkan mereka akan berehat selama 15 minit sebelum kelas dimulakan semua. Beberapa orang pelajar terus bergegas keluar. Kini hanya tinggal lima orang sahaja di dalam kelas tutorial yang selalunya akan dipenuhi oleh lima belas orang pelajar itu.  
 
Julia berjalan menuju ke arah tempat duduk Daniel. Dia mengajak Daniel supaya keluar dari kelas bersamanya. Daniel bersetuju, walaupun selalunya dia lebih suka duduk di dalam kelas sambil berbual-bual kosong dengan Puan Tan.  Di luar Julia membawa Daniel ke arah sebuah sudut yang tidak terdapat ramai pelajar mundar-mandir di sana.

“Kenapa ni, Julia?” tanya Danial sambil melentokkan kepalanya ke tepi.
“I fail ujian I yang lepas—“
“I know. I saw your name on the list just now.”
“Mati lah I macam ni!”
“It’s not the end of the world, lah.”
“It is to me!”
“Dah tu you nak apa dari I?”
“I nak tanya dari you... Since you know him well and all that—“
“Who are you talking about?”
“Ariffin...”
 
Daniel memegang pipinya yang lembut dan halus itu sambil meraba-rabanya. Dia memikirkan kembali bagaimana dia mula-mula mengenali Ariffin dahulu. Ketika itu dia baru sahaja memasuki universiti Monash sebagai pelajar barunya. Keadaan dirinya yang lembut sering menjadikan dia bahan gurau senda serta ejekan beberapa orang pelajar nakal yang sejurusan dengannya. 
 
Pada satu hari, dia telah diganggu di dalam tandas lelaki oleh pelajar-pelajar nakal tersebut. Daniel cuba melawan, tetapi semakin dia melawan, semakin teruk dia diganggu. Seorang dari pelajar nakal yang mengganggunya mula memegang kolar bajunya lalu menolaknya ke dinding. Mereka memanggilnya dengan pelbagai nama, seperti “faggot, ah-kua dan cock-sucker” untuk tujuan menghinanya - semata-mata kerana Daniel seorang pelajar lelaki yang lembut perwatakannya. Ketika Daniel hampir-hampir mahu dipukul, Ariffin pula kebetulan masuk ke dalam tandas untuk tujuan merokok di situ. Ariffin menghidupkan puntung rokoknya sambil memandang kepada beberapa orang pelajar sekuliahnya yang sedang mengerumuni Daniel. Mereka memandang kepada Ariffin sekali sebelum mereka kembali menganggu Daniel dengan menampar-nampar mukanya.

Ariffin meminta mereka berhenti, tetapi mereka tidak mahu mendengar permintaannya, malah salah seorang dari mereka telah menumbuk perut Daniel apabila Daniel meludah ke arah mukanya. Ariffin kemudian memukul pelajar seramai empat orang itu satu persatu. Daniel tidak pasti apa yang berlaku, tetapi apabila dia kembali membuka matanya, dia dapat melihat pelajar-pelajar yang membulinya itu setiap satu sedang berdiri di satu sudut di dalam tandas tersebut dengan wajah ketakutan. Salah seorang dari mereka cepat-cepat meminta maaf. Ariffin memberitahu kepada mereka bahawa dia tidak mahu melihat mereka mengganggu Daniel lagi. Mereka cepat-cepat mengangguk. Takut. Ariffin terus keluar dari tandas tanpa berkata apa-apa.  
 
Sejak dari hari itu tidak ada sesiapa lagi yang berani mengganggu Daniel lagi. Setahu Daniel, Ariffin tidak mempunyai ramai kawan rapat. Ariffin selalu sahaja menyendiri. Dia boleh memilih untuk menjadi salah seorang pelajar lelaki yang paling popular di universitinya, tetapi itu bukan pilihannya. Dia bukan seperti Julia dan rakanrakannya yang selalu kelihatan bersama dengan kumpulan mereka yang popular. Sebaik sahaja kuliah  selesai, Ariffin akan terus menaiki skuternya lalu menghilang dari kawasan universiti.


Ikuti Cerita Selanjutnya.....!!!!



( Password : Novel I-One )



Reff : nizamzakaria.com

Ksatria Negeri Salju - Sujoko

Yu Liang Pay

Pegunungan Fan Cing san merupakan pegunungan yang sangat terkenal di Cina Tengah.Salah satu daya tarik pegunungan ini adalah puncak awan merah atau Hung Huang Teng yang merupakan salah satu dari tiga puncak pegunungan yang berada di sebelah utara kota Kwei Yang yang termasuk propinsi Kwei chow (Guizhou). Jika ada awan yang berarak ke puncak ini pawa waktu fajar atau sore, tampaklah semburat kemerah-merahan pada awan itu. Pada jaman kisah ini dituturkan yaitu masa dinasti Sung utara, puncak ini juga dikenal dengan nama puncak Tiong Kiam atau pedang tengah, karena memiliki pemandangan yang unik di puncak yaitu adanya bukit pagoda, yang menjulang di antara bebukitan. Pada waktu awan berarak dan menyelimuti bebukitan, maka puncak ini dilihat dari kejauhan seperti pedang raksasa yang tinggi menembus langit.

Memandang jauh kebawah dari puncak ini terlihat bentang alam yang sungguh mempesona. Bagian dasar pegunungan yang hijau rapat oleh belantara hutan subtropis, bagian atasnya ditumbuhi hutan campuran luruh daun, bagian tengah yang ditumbuhi pohon pinus dan bagian puncak tumbuh pohonan yang mulai jarang diselingi semak dan rerumputan disela-selanya yang pada musim panas menghijau bak beludru.

Pucak Tiong Kiam berketinggian 340 m dan diameter 50 m dari pangkal punggung suatu bukit. Puncak ini dikelilingi bebukitan. Bukit-bukit di sebelah barat dan di sebelah timur dibelah oleh sungai Wu (anak sungai Yang Ce Kiang) yang mengalir dari pegunungan Shao Tong san di wilayah Kwei chow selatan menuju ke kota Chuan Sing, dan bertemu dengan sungai Yang Ce Kiang di timur kota ini, terlihat dari puncak seperti lekuk tubuh naga. Sungai ini pula yang memisahkan propinsi Hunan disebelah timur dengan Propinsi Kwei chow di sebelah barat. Dari puncak ini di sebelah timur meski berjarak ribuan li masih terlihat kota Shao Yang, di sebelah selatan terdapat kota Kwei Yang, yang merupakan kota terbesar di wilayah Kwei chow.

Berlawanan dengan tamasya alam disekelilingnya yang demikian penuh pesona. Pemandangan di bukit pedang itu sendiri sungguh mengerikan. Pada akhir jaman Tang, orang-orang Tionggoan sangat gemar membentuk sekte-sekte magis. Sekte-sekte seperti ini belum mengenal mengubur mayat atau membakarnya secara layak. Mereka memang mengubur badan namun setelah sepuluh tahun lebih, kuburan tersebut dibongkar, dan tengkoraknya dibuatkan lubang-lubang pada dinding bukit pedang, dan menjadikan puncak pedang sebagai berhala sesembahan. 
 
Karena letaknya yang ditengah-tengah dan dianggap strategis, selama ratusan tahun pengunungan ini dijadikan rebutan untuk menjadi markas perkumpulan kaum bulim dan kangouw. Sudah berpuluh perkumpulan atau partai muncul dan runtuh di pegunungan ini. Karena selalu jadi rebutan, tak terhitung pula berapa ribu manusia telah binasa menjadi korban nafsu angkara ingin mendapatkan posisi di tengah ini, meski pada kenyataannya dibandingkan keuntungan lebih banyak kerugian yang ditangguk oleh mereka yang tinggal di pegunungan ini. Satu dapat, yang lain beramai-ramai mengeroyoknya bagaikan seekor harimau dikeroyok puluhan serigala. Dengan melihat deretan relung tengkorak di bukit pedang yang sangat tinggi bagai jendela-jendala pagoda, orang akan tahu betapa di tempat yang mestinya damai itu telah banyak nyawa manusia melayang. Maka lambat laun karena sudah terlalu bosan dan lelah, puncak ini akhirnya ditinggalkan oleh rombongan penghuni terakhir dari sekte Shin.

Setelah puluhan tahun kosong, di akhir dinasti Tang puncak ini kembali di datangi oleh berbagai golongan karena terjadi pergolakan di mana-mana. Kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian akhirnya kembali berbondong-bondong ke Fan Cing san. Salah satu rombongan yang kembali datang adalah orang-orang dari sekte Shin yang dipimpin oleh Huang Shin. Dulu Huang Shin muda dan kawan-kawannya termasuk yang menolak untuk meninggalkan Fan Cing san, namun tak mampu menolak keputusan tetua. Rombongan lainnya berasal dari berbagai kota. Dua rombongan yang terbesar adalah golongan Duang yang dipimpin oleh Tan Hong Bu dari Siang Tan dan golongan Im Yang Pay yang dipimpin Kang Kiu Yang dari Kwei Yang. Untuk menghindari perebutan demi perebutan Huang Shin, memutuskan untuk menyatukan berbagai golongan yang berebut itu. Huang Shin membagi wilayah-wilayah yang bisa ditempati dengan cukup adil, dan menawarkan kepada tiga kelompok terbesar untuk menyatu membentuk satu perkumpulan besar. Huang Shin membangun pusat perkumpulan di puncak bukit di sebelah selatan Tiong Kiam. Singkat cerita terbentuklah satu perkumpulan besar gabungan beberapa golongan yang dipimpin tiga golongan, yang bernama Yu-liang-pay.

Untuk menghindari bentrokan maka Huang Shin membuat peraturan bahwa ketua partai harus dijabat secara bergiliran dari ketiga golongan. Dengan urutan sekte Ming, Duan dan Im Yang. Adapun para anggota dibebaskan untuk mempelajari ilmu dari ketiga perkumpulan itu. Untuk menyatukan berbagai kelompok, maka selama beberapa tahun Huang Shin bersama kedua tetua yang lain menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dinamakan Yu Liang Kiamhoat. Pada masa inilah tradisi menyimpan tengkorak di dinding bukit dihapuskan. Itulah sekilas sejarah Yuliang-pay, tempat kisah ini dimulai.

Pagi itu, tanggal ke enam bulan ke lima, tahun 978 merupakan suatu pagi yang cerah di musim semi. Burung-burung yang beterbangan, kupu-kupu yang menari disela-sela semak dan bunga-bunga yang bermekaran, kesegaran udara musim semi yang melapangkan dada dan urat-urat kepala.

Beberapa pepohonan yang semula tinggal batang dan ranting seperti bayi yang bugil, kembali dihiasi daun-daun baru. Sedangkan pohon yang lain menyambut datangnya musim semi  dengan menumbuhkan kuncuk-kuncup bunga yang sebagian telah bermekaran. Bagi mereka yang pernah mengujungi keindahan musim semi di puncak ini tak heranlah mengapa tempat ini menjadi rebutan. Fan Cing san adalah gunung yang menyimpan keragaman bunga yang paling tinggi seluruh daratan Cina waktu itu, lebih dari empat per lima bunga yang ada di Tionggoan dapat dijumpai di sini, mulai bunga siang, bunga lee, bunga kiok, bunga anggrek, bunga jit dan yang lainnya. Namun kedamaian pagi itu terusik dengan suara kaki-kaki manusia yang menapaki puncak secara berombongan. Berbondong-bondong rombongan orang berpakaian singsat menaiki dari berbagai jurusan. Sebagian naik dengan berjalan lambat sambil menikmati wisata alam gunung Fan Cing san yang sangat indah. Kelompok yang datang belakangan menaiki punggung bukit dengan gerakan yang sangat gesit. Beberapa orang dari setiap kelompok terlihat membawa pedang atau golok. Dari gerakan dan dandanan, tampak mereka adalah orang-orang kangouw yang berkepandaian. Ada apakah yang terjadi di puncak sana?
 
Di awal musim semi ini, Yu-liang-pay mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 100. Ulang tahun yang spesial sehingga dirayakan cukup meriah oleh Yu-liang-pay. Tamu dari berbagai golongan semua diundang dalam pesta itu. Dari rombongan putih terlihat tamu dari Siauw-lim Pay, Kun-lun-pay, dan Kong Thong Pay, ketiga perguruan ini merupkan perguruan tua yang sudah berdiri pada masa itu. Dari rombongan lain dari berbagai golongan, sedangkan dari golongan hitam juga ikut menghadiri pesta yang berasal dari kelompok Pek Tung Pang, Ang Lian Pang, Hek In Pang, dan Tok Nan-hai Pang. Saat itu di halaman depan Yu-liang-pay yang luas telah dipasang tenda, dan ditata kursi secara setelah lingkaran. Tanpa dipersilakan para tamu langsung mengambil posisi duduk masing-masing, seolah-oleh sudah tahu dimana tempat mereka seharusnya. Kelompok hitam dan putih tanpa dikomandopun mengambil posisi yang memisah, kelompok pendekar berada di sebelah kanan sedang kelompok penjahat berada di sebelah kiri. Riuh rendah obrolan yang diucapkan oleh semua orang seperti pasar. Harap maklum mereka jarang sekali dapat kesempatan bertemu dengan anggota partai atau perguruan lain, apalagi dalam jumlah yang boleh dikatakan lengkap seperti saat itu. Obrolan paling hangat tentu saja kabar burung mengenai ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat yang berhasil disempurnakan oleh Yu Liang Pangcu. Seperti apakah gerangan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itulah yang membuat penasaran kaum kangouw, sehingga mereka rela berlelah-lelah menempuh perjalanan ribuan li. Di tengah-tengah ruangan yang bertenda berdiri sebuah panggung, tempat berbagai pertunjukan.

Pada waktu itu Yu-liang-pay dipimpin oleh Kwan Liong Ping, generasi ke empat dari golongan Duang. Jika melihat betapa besarnya Yu-liang-pay yang memiliki banyak anggota, area gedung-gedung yang luas dan usia yang cukup tua untuk ukuran partai saat itu, maka para tetamu memandang heran dengan penampilan Yu Liang Pangcu Kwan Liong Ping ini. Usia Liong Ping saat itu tidak lebih dari lima puluh lima tahun, suatu umur yang termasuk sangat muda untuk ukuran pemimpin partai besar saat itu. Sebagai perbandingan ketua Siauw-lim Pay sudah berusia seratus sepuluh tahun, sedangkan ketua Kong Thong Pay berusia sembilan puluh lima tahun.

Setelah tamu berdatangan Liong Ping memasuki ruangan dan duduk di kursi yang telah disediakan. Ia memakai jubah sutera biru tua yang bersulam, tampak gagah berwibawa. Sinar matahari pagi yang mulai terang membuat wajah ketua ini tampak dengan jelas oleh seluruh hadirin. Meskipun sudah berusia di atas lima puluh tahun, namun wajah itu masih tampak tampan dan padat. Janggut dan kumis pria yang agak kurus dan jangkung tetapi masih kelihatan gagah bersemangat ini dicukur rapi. Rambutnya disisir rapi dan kelimis, disanggul ke belakang, dan ditali kain yang menjuntai. Di sebelah kirinya duduk Sam Pangcu Siong Hok Cu seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermuka mulus, berjenggot tipis dan bertubuh tinggi gagah. Kepalanya ditutup kopyah pada bagian belakang terlihat mencuat ke samping khas gaya Tang. Sedangkan di sebelah kanan duduk Ji Pangcu Lauw Kian Bu, pria berusia lima puluh tiga tahun, berwajah dusun berbaju hijau tua sederhana dari kain katun. Di belakang ketiga orang ketua ini duduk para tetua yang berusia lebih dari enampuluh tahun dengan sikap keren, semuanya berbaju hitam dan berpenutup kepala kain warna merah. Mereka tokoh kawakan dari generasi tua. Setelah hampir semua perwakilan yang diundang datang, Ji Pangcu menaiki panggung dan berkata dengan lantang:

“Cuwi sekalian, mewakili tuan rumah kami mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam atas kehadiran cuwi memenuhi undangan kami. Perkenalkanlah saat ini kami bertiga adalah pimpinan di Yu-liang-pay, toa pangcu kami adalah Kwan Liong Ping, aku sendiri ji pangcu dan yang duduk di samping kiri toa pangcu adalah sam pangcu Siong Hok Cu. Berbahagia sekali pada kesempatan yang baik ini kami dapat merayakan ulang tahun Yu-liangpay yang ke seratus. Pertama-tama perkenankanlah kami untuk menghormati leluhur kami terutama adalah sucouw kami Huang Shin.”

Dengan dipimpin oleh Kwan Liong Ping yang membawa tiga biting dupa, para murid Yuliang-pay kemudian berlutut menghormat meja sembah yang di atasnya masih disimpan abu Huang Shin dan kedua pendiri lainnya. Pada bagian yang biasa ditempati cermin pada meja itu ditempel gambar Huang Shin dalam ukuran cukup besar. Setelah selesai bersembahyang ji pangcu berseru:
 
“Silahkan dicicipi hidangan arak dan makanan yang telah kami siapkan, dan hiburan tari-tarian yang sebentar lagi akan kami panggungkan.”

Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan memuji keberhasilan Yu-liang-pay membentuk partai yang besar dan kuat, mereka kembali duduk ke tempat masing-masing sambil  terus saling bercerita tentang pengalaman mereka di dunia persilatan. Dengan cekatan pelayan mengedarkan arak dan makanan. Mereka semua makan minum dengan gembira sambil menikmati hiburan tari-tarian baik tarian yang berasal dari timur maupun dari barat. Sampai kemudian terdengan celetukan dari salah seorang tamu. 

“Wahh...kapan pertunjukkan Kiamhoatnya?”

Celetukan itu segera ditingkahi berbagai cecowetan tamu lainnya. Toa pangcu memberi kode pada seorang murid. Selanjutnya seorang murid wanita maju ke atas panggung. Ia berumuran tigapuluh tahunan, wajahnya terlihat cukup cantik dan montok, namun baju hitam dan pedang yang berwarna gelap pekat yang dikenakannya membuat kesan yang menggiriskan. Setelah memberi hormat ke semua sisi dengan bersoja, mulailah ia memainkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat. Gerakannya mula-mula lembut dan indah, seperti tarian bidadari, tapi lama-kelamaan gerakannya makin hebat, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata penonton yang tingkat ilmunya rendah berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang gelap itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuh mangsanya. Ujung pedangpun seolah berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga. Gerakan itu seakan-akan memancarkan hawa magis yang dasyat sehingga penonton yang jaraknya jauh terlihat menggoyang kepala dan badannya karena seakan-akan serangan pedang itu mengarah ke dirinya. Pada jurus ke enampuluh setelah bersalto dua kali secepat kilat wanita itu berteriak sambli melontarkan pedangnya ke belakang.


Ikuti Cerita Selanjutnya....!!!


( Password : Novel I-One )



Riwayat Soeharto di Majalah Tempo

SETELAH DIA PERGI

DENGAN tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah tiang-lain soal Anda patuh atau keberatan-Soeharto yang berpulang Ahad dua pekan lalu sudah menjadi "pahlawan". Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan kemudian, ia masih seorang master dengan kuasa penuh.

Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan berita kematian pedagang "gorengan" Slamet, yang putus asa lalu bunuh diri akibat harga kedelai ekstra tinggi. Semua stasiun televisi-beberapa memang milik anak-anaknya mengarahkan moncong kamera ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah perjalanannya ketika mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja. 
 
Di rumah sakit, keluarga menetapkan "protokoler" ketat: hanya mereka yang mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota lingkaran dekat lolos seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos, entah kenapa tak masuk hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut Soeharto sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu.

Ketika ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat mengalahkan sinetron mana pun-artinya iklan pasti datang berduyun-duyun. Usaha "menggoreng" perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil.

Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati dan dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya, seakan keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah "dunia" yang diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat.

Sebentar lagi, setelah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak lagi menjadi berita, yang tersisa adalah kasus perdata yayasan Soeharto, dan debat tentang status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya. Setelah apa yang diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir untuk menolak waris itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam perkara perdata.

Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah tinggal menyatakan kebijakan zaman Soeharto yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, melawan hukum, atau membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan diri dan kelompok sendiri. Siapa pun yang menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa langsung ditetapkan sebagai obyek pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar. Selama ini mereka tidak melakukan usaha apa pun untuk menolak "madu" privilese yang mereka isap dengan riang.

Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber dari privilese, atau yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa ke pengadilan. Secara prinsip, menikmati keuntungan dari kebijakan yang melawan hukum termasuk perbuatan melawan hukum juga.

Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti tambahan untuk mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu.

Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang badan dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang kini mereka puja dan sudah begitu banyak memberikan "gula-gula" kepada mereka. Hanya pengecut tulen yang sanggup "menusuk" sang tuan yang sudah di alam baka.

Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin menegakkan keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk menjamin persamaan kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa tindakan apa-apa, fasilitas istimewa dan kenikmatan yang selama ini diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah berakhir. Hanya kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung.

Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni-tindakan yang diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan kasus ini lebih penting ketimbang sibuk mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto-usul yang dipekikkan lantang Priyo Budi Santoso, orang Golkar yang pernah tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi itu.


LEGASI TAK BERJUANG

Jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar.

Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, setelah jenazahnya dikebumikan di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu terus mengharu biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ.

Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif ketika separatisme mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini.

Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini?

Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat baik maupun buruk-ia melakukannya, silih berganti. Namun ada proses yang seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang panjangnya hanya bisa dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu sentralisasi, bahkan kemudian  personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri.

Tak aneh, para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru dengan kerajaan Jawa Mataram-sistem politik dengan konsep yang menempatkan raja sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja adalah sosok sakti, sangat sakti. Dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson dalam bukunya yang klasik The Idea of Power in Javanese Culture, legitimasi tidak datang dari manusia. Dengan kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar atau tidak, tampaknya yakin dialah titik pusat itu. 
 
Proses sentralisasi mungkin bisa tercium sejak dini. Tepatnya tatkala ia menyederhanakan partai-partai-kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah peninggalan demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Pada Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, partai yang jumlahnya puluhan itu menjadi hanya sepuluh partai. Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar. 
 
Waktu itu, para demokrat pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66 yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. "Kami tahu dia tentara yang tidak senang politik," kata Arief Budiman, salah seorang aktivis.

Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan pada pundaknya. Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan surat kabar yang dibredel Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat "menjelma" menjadi koreksi terhadap Orde Lama; dan Soeharto sendiri merupakan koreksi terhadap Soekarno. Ia terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintah yang gemar mengutarakan slogan-slogan, pemerintah yang sibuk berseru ganyang Malaysia dan membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai 600 persen. Sebuah program pembangunan direntangkan, inflasi dikendalikan, dan Indonesia mulai memasuki pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Modal asing berdatangan.

Tapi pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata tidak berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar pengikisan selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu golongan. Peristiwa Malari (1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan gagasan Tien Soeharto, Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi. Tantangan para mahasiswa kali ini dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah yang dulu toleran dan terbuka itu pun digantikan wajah galak dan represif. Beberapa tahun kemudian, 1978-1979, tantangan yang frontal dari mahasiswa dijawab dengan NKK/BKK-larangan berpolitik bagi para mahasiswa di kampus.

Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu pun mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri Presiden Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel dan terjun ke dunia bisnis berbekal "hak-hak istimewa" sebagai anak presiden. Sebuah edisi majalah Forbes memberitakan, setelah krisis moneter 1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai US$ 16 miliar.
Dalam memoarnya yang tebal, From Third World to First, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyebut, "Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya perlu menjadi begitu kaya." Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto telah mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani pada akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan aneka privilese bisnis.

Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Eriyanto dalam buku Kekuasaan Otoriter, Soeharto adalah tipe manusia yang mendasarkan diri pada an act of faith-perbuatan berdasarkan keyakinan-dan bukan tipe jenis an act of reason, perbuatan berdasarkan akal. Karena itu, banyak ucapan dan tindakan Soeharto yang mengejutkan, tapi ia tidak pernah ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak perlu pertimbangan rasional ketika membubarkan PKI, tapi karena keyakinannya sendiri. Dalam biografi yang disusun O.G. Roeder, ditunjukkan betapa yakin Soeharto ketika mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat. "Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri."

Dan agaknya dengan keyakinan yang sama pulalah ia memutuskan untuk melancarkan operasi "petrus" alias penembakan misterius untuk membasmi preman. Sikap keras yang sama boleh jadi mendasari keputusan untuk melakukan tindakan drastis yang melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan sejumlah tempat lain. Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia ini sungguh tak mudah dihapuskan begitu saja.

Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk yang begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu berarti hampir separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini. Dalam Kabinet Pembangunan VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat menjadi Menteri Sosial. Dan manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada seorang Menteri Sosial kemudian terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan sebuah suksesi yang tidak berbeda dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung mengambil alih peran ayahnya.

Gaya Soeharto memang sentralistis, nepotistis, dan kerap kali represif. Tapi dari cara itu lahir pula program kesejahteraan yang berhasil-dan ujung-ujungnya menampilkan citranya yang populis. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, buku yang berisi kumpulan tulisan yang membahas periode itu, menyebut keberhasilan Keluarga Berencana, program yang bermula pada 1970 dan bertumpu pada pertimbangan nilai-nilai ekonomi semata. Soeharto percaya setiap anak membutuhkan sandang, pangan, pendidikan; dan segenap kebutuhan itu tak mungkin terpenuhi jika negeri ini mengalami ledakan pertumbuhan penduduk.

Pelaksanaan program Keluarga Berencana bersifat top-down dan sama sekali tidak berasal dari aspirasi masyarakat. Dengan Tien Soeharto pada puncak organisasi, dan didukung istri pemimpin tertinggi di daerah-daerah, mesin birokrasi menggerakkan program Keluarga Berencana sampai ke desa-desa terpencil. Di dalamnya ada represi yang berbuah sejumlah kisah pedih, walau dunia melihatnya sebagai prestasi.

Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat serta keluarga dekat tumbuh menjadi satu-satunya kalangan yang bertanggung jawab atas aneka gejala sosial ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan, korupsi yang demikian mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter 1997-1998.

Ahad dua pekan lalu, hidupnya yang panjang berakhir sudah, tapi lakon dan legasinya-baik yang lama maupun yang belum lagi terungkap-terus menghantui negeri ini.


Ikuti Kisah Selanjutnya....!!!
 

( Password : Novel I-One )




 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: