Loading

Kemelut Hati - Nawa N.S

Nasiyah menguak jendela kamarnya perlahan. Ia menatap burung-burung kecil yang lincah. Sayap-sayapnya begitu ringan berkepakan di udara. Cakar-cakar mungil itu tak lelah berlompatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesaat bertengger di pohon dadap, lalu pindah ke dahan kopi, ke cabang-cabang cengkih, ke pelepah-pelepah kelapa.
Suara burung-burung itu berdengung di telinga Nasiyah, membuat hatinya makin teriris, memuing di atas bantal berenda mawar ungu.

Ya, sudah saatnya ia meredam ambisi. Keinginan menggebu untuk melanjutkan pendidikan harus ia telan. Semangat yang harus ia kubur dalam-dalam bersama segala kenangan indah di masa lalunya.

Satu minggu, dua minggu, tiga puluh lima hari lagi! Hari dan tanggalnya sudah ditetapkan melalui rundingan para orang tua semalam. Kamis Pahing, dua puluh empat Jumadilakir, adalah hari baik yang telah disepakati, baik oleh tetua dari pihak Nasiyah maupun Diman, sebagai hari ijab kabul mereka.

Sejak saat itu statusnya berubah. Ia bukan lagi Nasiyah, melainkan Bu Diman, istri seorang guru sekolah dasar.
“Selamat pagi, Bu Guru.” Demikian orang-orang desa akan menyapanya. Memang, di desa Nasiyah ini sudah menjadi perjanjian tak tertulis, bahwa seorang perempuan yang menjadi istri guru, secara otomatis dipanggil Bu Guru, meskipun ia tidak bekerja.

Bu Guru. Ah, sebuah predikat yang begitu menggodanya. Tetapi, bukan dengan jalan ini ia mengharapkan predikat itu.
Pada waktu itu kedudukan guru masih dianggap mulia dan terhormat. Guru adalah orang paling pintar, tempat bertanya dan meminta saran untuk memecahkan berbagai masalah, serta menjadi teladan, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi bermasyarakat.

Di desa Nasiyah hanya ada dua sekolah dasar dan satu madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar Islam). Kepala sekolah dan guru-gurunya kebanyakan dari luar daerah. Diman adalah satu dari empat guru yang berasal dari desa itu. Dan, dia yang paling muda. Tiga lainnya sudah berkeluarga serta mempunyai tiga atau empat anak. Ketika lulus Sekolah Pendidikan Guru, Diman diangkat menjadi guru di desanya sendiri.

Para tetangga mengatakan, Nasiyah sangat beruntung karena akan diperistri oleh Pak Guru Diman. Menurut mereka, laki-laki yang pandai seharusnya mendapatkan perempuan yang pandai juga supaya seimbang. Jadi, panggilan Bu Guru pun bagi mereka sangat pantas disandang Nasiyah. Apalagi, Nasiyah tamatan SMP, jenjang pendidikan yang cukup tinggi di mata mereka.

Memang, teman-teman Nasiyah yang bisa sekolah sampai SMP bisa dihitung dengan jari. Itu pun ada beberapa yang berhenti atau keluar karena dinikahkan atau karena harus membantu orang tua. Hanya Nasiyah, satu teman gadis, serta tiga teman laki-lakinya yang bisa bertahan sampai lulus. Dan, Nasiyah harus puas dengan ijazah SMP karena ia hanya anak petani kecil.

Sebenarnya, berat bagi Nasiyah menerima kenyataan itu. Tapi, sebagai anak sulung, ia harus ikut memikirkan kondisi keluarga. Adiknya ada lima dan semuanya perlu biaya sekolah yang tidak sedikit. Sementara orang tuanya hanya seorang buruh tani. Hasil panen hanya cukup untuk makanan pokok hingga waktu panen berikutnya. Untuk lauk serta kebutuhan harian lainnya diperoleh dari hasil jualan tempe bungkus di pasar.
Kesedihan itu makin memenjara hati ketika ia melihat burung-burung bebas beterbangan, sambil menari dan menyanyi. Mereka tampak ceria, seperti Nasiyah ketika masih SMP.

Saat-saat itu.
Pagi-pagi sekali, sebelum subuh, Nasiyah sudah bangun. Ia menggeliat sebentar lalu beranjak menuju dapur. Di sana sudah ada Emak yang sedang meniriskan rendaman jagung. Bau asam menyengat menyeruak ke hidung, membangkitkan semangat untuk segera bergerak. Nasiyah mengambil tampah dan ayakan bambu. Bapak menyiapkan lumpang. Nasiyah dan bapaknya mengambil alu. Anak dan bapak berdiri berhadapan seperti dua musuh yang siap bertarung. Selesai mencuci jagung, Emak lalu memasukkan sebagian ke dalam lumpang sampai hampir penuh. Tidak lama kemudian terdengarlah suara mengentak: dag-dug… dag-dug… dag-dug…. Ya, irama kehidupan. Seperti detak jantung manusia.

Dag-dug! Dag-dug! Dag-dug! Nasiyah dan Bapak terus memukulkan alu mereka ke dalam lumpang itu bergantian. Dag! Alu Nasiyah mantap, seperti cita-citanya menjadi guru, seperti harapannya agar bisa membantu orang tua. Dug! Saat Nasiyah mengangkat alunya, ganti alu Bapak yang menghantam kuat. Seperti tanggung jawabnya terhadap keluarga.

Dag-dug! Dag-dug! Dag-dug! Dua kekuatan menyatu untuk menggempur nafsu yang mencoba mengikis semangat hidup. Hari masih begitu pagi dan udara sangat dingin. Jika mereka terkalahkan oleh kantuk dan rasa malas, butiran-butiran jagung itu tidak akan bisa segera menjadi nasi. Maka, meskipun tangan terasa pegal, keringat terus mengalir di wajah serta punggung, keduanya tidak mau berhenti.

Butiran-butiran jagung itu berangsur-angsur pecah, memuing, dan hancur menjadi tepung. Nasiyah dan Bapak berhenti, meletakkan alu. Orang tua itu duduk, mengatur napasnya kembali. Nasiyah mengayak sedikit demi sedikit. Sisa ayakan yang masih kasar dipisahkan untuk kemudian ditumbuk lagi agar semua menjadi halus. Begitu seterusnya hingga semuanya siap dimasak.

Tepung itu lalu digangsur, yaitu diremas-remas dan ditekan-tekan pada tampah. Ini supaya butiran-butiran jagung memadat sehingga nasi yang dihasilkan bisa empuk. Kata Emak, makin lama digangsur, hasilnya makin baik.

Lalu, Emak mulai menyiapkan dagangannya. Ia membuka tumbu (wadah dari bambu untuk meletakkan barang yang akan dipikul) dan memeriksa beberapa bungkus tempe. Jamurnya sudah tampak putih dan merata. Tandanya, tempe sudah jadi. Maka, tumbu-tumbu lain pun dibuka. Isinya ditumpahkan untuk kemudian ditata kembali agar lebih ringkas sehingga mudah dibawa ke pasar.

Setelah selesai menata barang dagangannya, Emak membersihkan alat-alat yang tadi digunakan. Sementara itu, Nasiyah dibantu Munaroh, adiknya, ke kali untuk mencuci pakaian.

Suara beduk menandai waktu subuh telah datang. Bapak pergi ke langgar sejak seperempat jam lalu. Setelah Bapak pulang, Bapak dan Emak segera keluar rumah, menerobos kegelapan serta dinginnya pagi, menuju ke pasar.

Setelah menjemur baju-baju, Nasiyah bergegas sembahyang subuh, berganti pakaian, kemudian sarapan pagi. Ia harus sudah berangkat ke sekolah sebelum setengah enam. Sebab, untuk mencapai sekolah, Nasiyah dan kawan-kawannya harus berjalan kaki selama kurang lebih satu sampai satu setengah jam. Kadang-kadang, belum selesai ia menghabiskan sarapan, teman-temannya sudah memanggil. Karena itu, ia pun buru-buru mencuci piring, merapikan baju, bersisir sebentar, lalu menyambar tas.

Kenangan masa remaja yang manis buat Nasiyah. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah ke tempat tidur. Tiba-tiba, ia seolah mendengar suara derap sepatu anak-anak berseragam biru-putih. Diurungkannya niatnya untuk beranjak dari jendela. Dipandanginya kembali burung-burung itu.

Ya, mereka seperti burung-burung itu, yang mendendangkan lagu ceria. Renyah tawa mereka di tengah candaan-candaan ringan penuh sukacita. Hangat persahabatan itu mencairkan kebekuan pagi, meleleh bersama keringat di wajah dan punggung mereka.

Dari arah berlawanan mereka berpapasan dengan banyak orang. Perempuan-perempuan yang berjalan terbungkuk-bungkuk karena punggungnya diberati beban, seperti emak Nasiyah. Para lelaki terengah menahan pikulan di pundak, seperti bapak Nasiyah. Tetapi, ada juga beberapa orang yang berjalan melenggang saja atau hanya dengan menenteng keranjang belanjaan, mengepit dompet di ketiak, dan kain gendongan berkibar di bahu.

Sementara itu, di jalan setapak tampak beberapa orang memanggul cangkul dan menenteng sabit, menyusuri pematang-pematang sawah, turun di antara pangkal-pangkal rumpun padi yang terpotong, melewati gundukan-gundukan jerami sisa panen. Angin sepoi-sepoi basah bertiup dari timur menuju barat menyisakan hawa semalam. Di sisi lain ada yang masih berkerudung sarung, berjalan sambil mendekap kedua siku, sesekali tampak menguap. Satu dua masih berpakaian tebal, melangkah pelan-pelan dengan menuntun atau menggendong anak kecil.






Artikel Terkait:

5 komentar:

October 6, 2012 at 6:02 AM catatan harian said...

bagus-bagus sob novel nya :) sukses selalu yah?? ^_^

October 18, 2012 at 4:50 PM Kasihmura.com said...

Keren2 Nih Novelnya,terus Berkarya Kawan

October 19, 2012 at 1:06 AM Boneka Baru said...

Izin download Novelnya sob, saya jadi tertarik buat baca :)

October 19, 2012 at 1:08 PM Unknown said...

keren nih sob..
tiap datang pasti ada postingan baru..
minta download dulu ya..jadi pengen mbaca

October 24, 2012 at 9:50 AM Unknown said...

ikutan nyimak sob..

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: