Yu Liang Pay
Pegunungan Fan Cing san merupakan pegunungan yang sangat terkenal di Cina Tengah.Salah satu daya tarik pegunungan ini adalah puncak awan merah atau Hung Huang Teng yang merupakan salah satu dari tiga puncak pegunungan yang berada di sebelah utara kota Kwei Yang yang termasuk propinsi Kwei chow (Guizhou). Jika ada awan yang berarak ke puncak ini pawa waktu fajar atau sore, tampaklah semburat kemerah-merahan pada awan itu. Pada jaman kisah ini dituturkan yaitu masa dinasti Sung utara, puncak ini juga dikenal dengan nama puncak Tiong Kiam atau pedang tengah, karena memiliki pemandangan yang unik di puncak yaitu adanya bukit pagoda, yang menjulang di antara bebukitan. Pada waktu awan berarak dan menyelimuti bebukitan, maka puncak ini dilihat dari kejauhan seperti pedang raksasa yang tinggi menembus langit.
Memandang jauh kebawah dari puncak ini terlihat bentang alam yang sungguh mempesona. Bagian dasar pegunungan yang hijau rapat oleh belantara hutan subtropis, bagian atasnya ditumbuhi hutan campuran luruh daun, bagian tengah yang ditumbuhi pohon pinus dan bagian puncak tumbuh pohonan yang mulai jarang diselingi semak dan rerumputan disela-selanya yang pada musim panas menghijau bak beludru.
Pucak Tiong Kiam berketinggian 340 m dan diameter 50 m dari pangkal punggung suatu bukit. Puncak ini dikelilingi bebukitan. Bukit-bukit di sebelah barat dan di sebelah timur dibelah oleh sungai Wu (anak sungai Yang Ce Kiang) yang mengalir dari pegunungan Shao Tong san di wilayah Kwei chow selatan menuju ke kota Chuan Sing, dan bertemu dengan sungai Yang Ce Kiang di timur kota ini, terlihat dari puncak seperti lekuk tubuh naga. Sungai ini pula yang memisahkan propinsi Hunan disebelah timur dengan Propinsi Kwei chow di sebelah barat. Dari puncak ini di sebelah timur meski berjarak ribuan li masih terlihat kota Shao Yang, di sebelah selatan terdapat kota Kwei Yang, yang merupakan kota terbesar di wilayah Kwei chow.
Berlawanan dengan tamasya alam disekelilingnya yang demikian penuh pesona. Pemandangan di bukit pedang itu sendiri sungguh mengerikan. Pada akhir jaman Tang, orang-orang Tionggoan sangat gemar membentuk sekte-sekte magis. Sekte-sekte seperti ini belum mengenal mengubur mayat atau membakarnya secara layak. Mereka memang mengubur badan namun setelah sepuluh tahun lebih, kuburan tersebut dibongkar, dan tengkoraknya dibuatkan lubang-lubang pada dinding bukit pedang, dan menjadikan puncak pedang sebagai berhala sesembahan.
Karena letaknya yang ditengah-tengah dan dianggap strategis, selama ratusan tahun pengunungan ini dijadikan rebutan untuk menjadi markas perkumpulan kaum bulim dan kangouw. Sudah berpuluh perkumpulan atau partai muncul dan runtuh di pegunungan ini. Karena selalu jadi rebutan, tak terhitung pula berapa ribu manusia telah binasa menjadi korban nafsu angkara ingin mendapatkan posisi di tengah ini, meski pada kenyataannya dibandingkan keuntungan lebih banyak kerugian yang ditangguk oleh mereka yang tinggal di pegunungan ini. Satu dapat, yang lain beramai-ramai mengeroyoknya bagaikan seekor harimau dikeroyok puluhan serigala. Dengan melihat deretan relung tengkorak di bukit pedang yang sangat tinggi bagai jendela-jendala pagoda, orang akan tahu betapa di tempat yang mestinya damai itu telah banyak nyawa manusia melayang. Maka lambat laun karena sudah terlalu bosan dan lelah, puncak ini akhirnya ditinggalkan oleh rombongan penghuni terakhir dari sekte Shin.
Setelah puluhan tahun kosong, di akhir dinasti Tang puncak ini kembali di datangi oleh berbagai golongan karena terjadi pergolakan di mana-mana. Kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian akhirnya kembali berbondong-bondong ke Fan Cing san. Salah satu rombongan yang kembali datang adalah orang-orang dari sekte Shin yang dipimpin oleh Huang Shin. Dulu Huang Shin muda dan kawan-kawannya termasuk yang menolak untuk meninggalkan Fan Cing san, namun tak mampu menolak keputusan tetua. Rombongan lainnya berasal dari berbagai kota. Dua rombongan yang terbesar adalah golongan Duang yang dipimpin oleh Tan Hong Bu dari Siang Tan dan golongan Im Yang Pay yang dipimpin Kang Kiu Yang dari Kwei Yang. Untuk menghindari perebutan demi perebutan Huang Shin, memutuskan untuk menyatukan berbagai golongan yang berebut itu. Huang Shin membagi wilayah-wilayah yang bisa ditempati dengan cukup adil, dan menawarkan kepada tiga kelompok terbesar untuk menyatu membentuk satu perkumpulan besar. Huang Shin membangun pusat perkumpulan di puncak bukit di sebelah selatan Tiong Kiam. Singkat cerita terbentuklah satu perkumpulan besar gabungan beberapa golongan yang dipimpin tiga golongan, yang bernama Yu-liang-pay.
Untuk menghindari bentrokan maka Huang Shin membuat peraturan bahwa ketua partai harus dijabat secara bergiliran dari ketiga golongan. Dengan urutan sekte Ming, Duan dan Im Yang. Adapun para anggota dibebaskan untuk mempelajari ilmu dari ketiga perkumpulan itu. Untuk menyatukan berbagai kelompok, maka selama beberapa tahun Huang Shin bersama kedua tetua yang lain menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dinamakan Yu Liang Kiamhoat. Pada masa inilah tradisi menyimpan tengkorak di dinding bukit dihapuskan. Itulah sekilas sejarah Yuliang-pay, tempat kisah ini dimulai.
Pagi itu, tanggal ke enam bulan ke lima, tahun 978 merupakan suatu pagi yang cerah di musim semi. Burung-burung yang beterbangan, kupu-kupu yang menari disela-sela semak dan bunga-bunga yang bermekaran, kesegaran udara musim semi yang melapangkan dada dan urat-urat kepala.
Beberapa pepohonan yang semula tinggal batang dan ranting seperti bayi yang bugil, kembali dihiasi daun-daun baru. Sedangkan pohon yang lain menyambut datangnya musim semi dengan menumbuhkan kuncuk-kuncup bunga yang sebagian telah bermekaran. Bagi mereka yang pernah mengujungi keindahan musim semi di puncak ini tak heranlah mengapa tempat ini menjadi rebutan. Fan Cing san adalah gunung yang menyimpan keragaman bunga yang paling tinggi seluruh daratan Cina waktu itu, lebih dari empat per lima bunga yang ada di Tionggoan dapat dijumpai di sini, mulai bunga siang, bunga lee, bunga kiok, bunga anggrek, bunga jit dan yang lainnya. Namun kedamaian pagi itu terusik dengan suara kaki-kaki manusia yang menapaki puncak secara berombongan. Berbondong-bondong rombongan orang berpakaian singsat menaiki dari berbagai jurusan. Sebagian naik dengan berjalan lambat sambil menikmati wisata alam gunung Fan Cing san yang sangat indah. Kelompok yang datang belakangan menaiki punggung bukit dengan gerakan yang sangat gesit. Beberapa orang dari setiap kelompok terlihat membawa pedang atau golok. Dari gerakan dan dandanan, tampak mereka adalah orang-orang kangouw yang berkepandaian. Ada apakah yang terjadi di puncak sana?
Di awal musim semi ini, Yu-liang-pay mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 100. Ulang tahun yang spesial sehingga dirayakan cukup meriah oleh Yu-liang-pay. Tamu dari berbagai golongan semua diundang dalam pesta itu. Dari rombongan putih terlihat tamu dari Siauw-lim Pay, Kun-lun-pay, dan Kong Thong Pay, ketiga perguruan ini merupkan perguruan tua yang sudah berdiri pada masa itu. Dari rombongan lain dari berbagai golongan, sedangkan dari golongan hitam juga ikut menghadiri pesta yang berasal dari kelompok Pek Tung Pang, Ang Lian Pang, Hek In Pang, dan Tok Nan-hai Pang. Saat itu di halaman depan Yu-liang-pay yang luas telah dipasang tenda, dan ditata kursi secara setelah lingkaran. Tanpa dipersilakan para tamu langsung mengambil posisi duduk masing-masing, seolah-oleh sudah tahu dimana tempat mereka seharusnya. Kelompok hitam dan putih tanpa dikomandopun mengambil posisi yang memisah, kelompok pendekar berada di sebelah kanan sedang kelompok penjahat berada di sebelah kiri. Riuh rendah obrolan yang diucapkan oleh semua orang seperti pasar. Harap maklum mereka jarang sekali dapat kesempatan bertemu dengan anggota partai atau perguruan lain, apalagi dalam jumlah yang boleh dikatakan lengkap seperti saat itu. Obrolan paling hangat tentu saja kabar burung mengenai ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat yang berhasil disempurnakan oleh Yu Liang Pangcu. Seperti apakah gerangan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itulah yang membuat penasaran kaum kangouw, sehingga mereka rela berlelah-lelah menempuh perjalanan ribuan li. Di tengah-tengah ruangan yang bertenda berdiri sebuah panggung, tempat berbagai pertunjukan.
Pada waktu itu Yu-liang-pay dipimpin oleh Kwan Liong Ping, generasi ke empat dari golongan Duang. Jika melihat betapa besarnya Yu-liang-pay yang memiliki banyak anggota, area gedung-gedung yang luas dan usia yang cukup tua untuk ukuran partai saat itu, maka para tetamu memandang heran dengan penampilan Yu Liang Pangcu Kwan Liong Ping ini. Usia Liong Ping saat itu tidak lebih dari lima puluh lima tahun, suatu umur yang termasuk sangat muda untuk ukuran pemimpin partai besar saat itu. Sebagai perbandingan ketua Siauw-lim Pay sudah berusia seratus sepuluh tahun, sedangkan ketua Kong Thong Pay berusia sembilan puluh lima tahun.
Setelah tamu berdatangan Liong Ping memasuki ruangan dan duduk di kursi yang telah disediakan. Ia memakai jubah sutera biru tua yang bersulam, tampak gagah berwibawa. Sinar matahari pagi yang mulai terang membuat wajah ketua ini tampak dengan jelas oleh seluruh hadirin. Meskipun sudah berusia di atas lima puluh tahun, namun wajah itu masih tampak tampan dan padat. Janggut dan kumis pria yang agak kurus dan jangkung tetapi masih kelihatan gagah bersemangat ini dicukur rapi. Rambutnya disisir rapi dan kelimis, disanggul ke belakang, dan ditali kain yang menjuntai. Di sebelah kirinya duduk Sam Pangcu Siong Hok Cu seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermuka mulus, berjenggot tipis dan bertubuh tinggi gagah. Kepalanya ditutup kopyah pada bagian belakang terlihat mencuat ke samping khas gaya Tang. Sedangkan di sebelah kanan duduk Ji Pangcu Lauw Kian Bu, pria berusia lima puluh tiga tahun, berwajah dusun berbaju hijau tua sederhana dari kain katun. Di belakang ketiga orang ketua ini duduk para tetua yang berusia lebih dari enampuluh tahun dengan sikap keren, semuanya berbaju hitam dan berpenutup kepala kain warna merah. Mereka tokoh kawakan dari generasi tua. Setelah hampir semua perwakilan yang diundang datang, Ji Pangcu menaiki panggung dan berkata dengan lantang:
“Cuwi sekalian, mewakili tuan rumah kami mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam atas kehadiran cuwi memenuhi undangan kami. Perkenalkanlah saat ini kami bertiga adalah pimpinan di Yu-liang-pay, toa pangcu kami adalah Kwan Liong Ping, aku sendiri ji pangcu dan yang duduk di samping kiri toa pangcu adalah sam pangcu Siong Hok Cu. Berbahagia sekali pada kesempatan yang baik ini kami dapat merayakan ulang tahun Yu-liangpay yang ke seratus. Pertama-tama perkenankanlah kami untuk menghormati leluhur kami terutama adalah sucouw kami Huang Shin.”
Dengan dipimpin oleh Kwan Liong Ping yang membawa tiga biting dupa, para murid Yuliang-pay kemudian berlutut menghormat meja sembah yang di atasnya masih disimpan abu Huang Shin dan kedua pendiri lainnya. Pada bagian yang biasa ditempati cermin pada meja itu ditempel gambar Huang Shin dalam ukuran cukup besar. Setelah selesai bersembahyang ji pangcu berseru:
“Silahkan dicicipi hidangan arak dan makanan yang telah kami siapkan, dan hiburan tari-tarian yang sebentar lagi akan kami panggungkan.”
Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan memuji keberhasilan Yu-liang-pay membentuk partai yang besar dan kuat, mereka kembali duduk ke tempat masing-masing sambil terus saling bercerita tentang pengalaman mereka di dunia persilatan. Dengan cekatan pelayan mengedarkan arak dan makanan. Mereka semua makan minum dengan gembira sambil menikmati hiburan tari-tarian baik tarian yang berasal dari timur maupun dari barat. Sampai kemudian terdengan celetukan dari salah seorang tamu.
“Wahh...kapan pertunjukkan Kiamhoatnya?”
Celetukan itu segera ditingkahi berbagai cecowetan tamu lainnya. Toa pangcu memberi kode pada seorang murid. Selanjutnya seorang murid wanita maju ke atas panggung. Ia berumuran tigapuluh tahunan, wajahnya terlihat cukup cantik dan montok, namun baju hitam dan pedang yang berwarna gelap pekat yang dikenakannya membuat kesan yang menggiriskan. Setelah memberi hormat ke semua sisi dengan bersoja, mulailah ia memainkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat. Gerakannya mula-mula lembut dan indah, seperti tarian bidadari, tapi lama-kelamaan gerakannya makin hebat, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata penonton yang tingkat ilmunya rendah berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang gelap itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuh mangsanya. Ujung pedangpun seolah berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga. Gerakan itu seakan-akan memancarkan hawa magis yang dasyat sehingga penonton yang jaraknya jauh terlihat menggoyang kepala dan badannya karena seakan-akan serangan pedang itu mengarah ke dirinya. Pada jurus ke enampuluh setelah bersalto dua kali secepat kilat wanita itu berteriak sambli melontarkan pedangnya ke belakang.
Ikuti Cerita Selanjutnya....!!!
( Password : Novel I-One )
0 komentar:
Post a Comment