Loading

Ibu Sinder - Pandir Kelana

WARUNG CLIMEN

Tidak jauh dari Pasanggrahan Ambarukmo, di tepi jalan raya antara Yogya dan Sala, berdiri sebuah bangunan rumah setengah batu yang tampaknya masih agak baru, dihuni oleh  seorang wanita berusia lewat setengah abad. Bagian depan rumah yang berbentuk Joglo itu sudah diubah menjadi sebuah warung sederhana, lengkap dengan papan nama berhuruf Jawa berbunyi "Warung Climen", yang artinya warung sederhana. Keistimewaan warung itu adalah hidangan opor bebeknya. Orang yang semula apriori menolak daging bebek, setelah mencoba opor bebek "Warung Climen", berubahlah seleranya. Ia menjadi penggemar masakan daging bebek.

Letak rumah kediaman yang telah menjadi restoran kecil itu memang agak menyendiri, jauh dari tetangga dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya. Halamannya luas, disediakan untuk tempat parkir kendaraan. Perabot-perabot warung seperti meja, kursi, lincak, tempat  sendok-garpu, tempat abu rokok, semuanya terbuat dari bahan bambu tutul. Ruangan tampak bersih, terawat, rapi dan teratur, mampu memberikan suasana akrab-santai kepada pengunjungpengunjungnya.

Tidak hanya hidangan masakannya saja yang menjadi buah bibir, tapi si pemilik warung pun mengundang perhatian orang. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab "Warung Climen" oleh penduduk desa dan kampung di sekitarnya diberi julukan "Warung Ndoro Ayu". Karena  salah dengar, tersebar luas menjadi "Warung Ayu". Orang lalu mengira pemiliknya seorang wanita muda yang cantik menggiurkan.

Munculnya seorang wanita usia senja misterius di tempat itu sendiri, sudah menimbulkan  tanda tanya. Kabut teka-teki menyelubungi kehadirannya. Siapa sebenarnya wanita itu?  Pribadinya memang sangat menarik. Setua itu ia masih tampak cekatan, langsing berisi, dan atraktif. Ia selalu mengaku sebagai orang desa biasa, tapi wajah cantik, mata  membelalak dengan sorotnya yang berwibawa itu, sulit menyembunyikan asal-usulnya. Tingkah laku dan sikapnya tak ubahnya seperti kebanyakan pemilik warung—sopan-santun, grapyak (ramah tamah), andapasor (merendah)—namun, wibawa yang memancar dari Wajah yang menarik itu memaksa orang untuk menaruh hormat kepadanya.

Berbagai cerita dan kisah bermunculan. Ada yang berkata bahwa wanita itu masih kerabat Keraton. Ada juga desas-desus, bahwa ia janda seorang bupati daerah pesisiran. Lain  orang, lain ceritanya. Namun pemilik "Warung Climen" itu membiarkan saja cerita khayal bertebaran, sebab hal itu malah meningkatkan jumlah pengunjung yang berdatangan. Bahkan akhirnya pemilik warung itu menerima panggilannya yang tetap. Ia terkenal sebagai Ibu Climen.
 
Pagi itu Ibu Climen sedang menikmati pemandangan indah di belakang rumahnya. Di kejauhan, kebiru-biruan, berdiri megah Gunung Merapi, gagah, perkasa, penuh misteri. Asap tebal menjulang tinggi keluar dari puncaknya yang tajam, bermandi-mandi sinar matahari pagi.

Tampak di hadapannya desa dan dukuh, tenang dan damai dalam pangkuan kaki gunung yang sulit diramalkan kemungkinan erupsinya. Tanaman padi kememping (berbutir muda)  bergerakgerak, mengangguk-angguk, mengikuti arah embusan angin. Gumam wanita usia senja itu, 
 "Selamat jalan, Anak-anakku."

MADUGONDO
 
Bersandar pada tongkat kayu kesayangannya, seorang laki-laki berkulit putih, berambut pirang, tubuh tinggi, kokoh, kekar, berdiri mematung melepaskan pandangannya jauh ke ufuk timur.

Bulan berbentuk sabit yang sedang diamatinya, sudah agak tinggi letaknya di atas cakrawala. Angin kumbang meniup-niup berputar-putar, menggerak-gerakkan lautan daun kecoklat-coklatan, tanaman tebu yang hampir siap tebang. Tinggi di udara sekelompok burung bangau santai terbang menyongsong kehadiran sang bulan, seolah-olah mereka belum sadar, bahwa malam telah tiba. Bintang-bintang berkedip-kedip berhamburan di angkasa raya. "Indah, misterius, Insulinde, mijn tweede Vader-land (Indonesia, tanah airku yang kedua)," gumam lakilaki itu.

Sekonyong-konyong tanpa disadarinya, gambaran peristiwa besar yang sedang berlangsung di dunia Barat begitu saja mendesak penampilan keindahan alam yang sedang dikaguminya itu. 

Terbayang-bayang di hadapannya topan peperangan yang sedang menyapu bumi Eropa. Bohemia dan Moravia begitu cepatnya jatuh dalam kekuasaan Jerman Nazi. Sementara itu Polandia sedang mati-matian bertempur menghadapi Divisi-divisi Lapis Baja Adolf Hitler di front barat dan Divisi-divisi Artileri Joseph Sta-lin di front timur. Sebenarnya nasib Polandia sudah dapat diramalkan sebelumnya. Negeri yang patriotik itu akan bertekuk lutut dalam beberapa hari saja.

"Blitzkrieg, blitzkrieg... Quo Vadis, Europa (Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa)?" desahnya.

Van Hoogendorp, begitu nama orang itu, tergugah dari lamunannya ketika mendengar teguran, "Apa yang sedang kaupikirkan, Pap?"

Menoleh, melihat anak tunggalnya yang bernama Ivonne, Van Hoogendorp menjawab, "Kau, Ivo? Indie (Indonesia) begitu indah, ya?"Lalu ajak Ivonne, "Mari, Pap, pulang. Makan malam sudah siap."

"Mari, mari," tanggap ayahnya.

Melewati jalan inspeksi di tengah-tengah tanaman tebu, ayah dan anak santai berjalan menuju sebuah bangunan besar—megah dan anggun. Rumah kediaman resmi Administrator Perkebunan dan Pabrik Gula Madugondo. Rumah besar itu terletak tepat di  tengah-tengah kota Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa? Indonesia kecil yang juga bernama Madugondo. Lahan perkebunan itu merupakan bagian dari Tanah Partikelir, Particuliere Landerij Gondo Arum, milik sebuah perusahaan Belanda, CV. Gebroeders van Zanten.

Memasuki halaman luas berkerikil halus, diayomi oleh sepasang pohon regenboom (pohon trembesi) besar dan rindang, lima ekor anjing Dalmatia menyongsong kedatangan Jonkheer dan Freule van Hoogendorp. Anjing-anjing itu melonjak-lonjak kegirangan, seperti majikan-majikannya itu baru kembali dari suatu perjalanan yang jauh saja.

"Bimo, kom, kom, Bimo! Jangan nakal, ya!" tegur insinyur pertanian lulusan Wageningen itu sambil membelai kepala anjing yang terbesar di antara anjing-anjing yang lain. Sesudah lulus dari Landbouwkundige Hoge-school—Sekolah Tinggi Pertanian di Negeri Belanda, Hendrik van Hoogendorp yang berdarah biru itu langsung mengabdikan dirinya pada perkebunan gula. Berpindah-pindah dari pabrik gula yang satu ke pabrik gula yang lain. Administrator itu masih baru di Madugondo.

Nyonya Van Hoogendorp sudah menunggu kedatangan suaminya di pendapa rumah yang berlantaikan marmer Carara, putih bersih mengkilat, dengan saka-saka guru yang bergaya Yunani—mengenakan gaun panjang berwarna ungu muda. Dia seorang wanita Belanda-Indo, berwajah cantik, atraktif, namun memberikan kesan agak tinggi hati. Kalau sang suami pandai menyesuaikan diri dengan tradisi dan adat-istiadat lingkungannya, sebaliknya istrinya yang berdarah campuran Belanda-Jawa itu malah bertingkah laku kebelanda-belandaan yang berlebihan. Logat, lafal, gaya bahasanya meniru-niru ucapan Belanda totok yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Nederlands-Indie (Hindia-Belanda).

( Password : Novel I-One )

Sumber : ac-zzz.blogspot.com


Artikel Terkait:

5 komentar:

October 12, 2012 at 5:56 PM BERBAGI said...

Mantap Posnya kawan

October 13, 2012 at 4:26 PM Icahbanjarmasin said...

Kalau soal novel aku suka banget,ini alur ceritanya aku suka bang..posting trus ya bang I-one.

October 15, 2012 at 1:49 PM NGF said...

Salam perkenalan dan follow 411, ditunggu follow balasan
terima kasih

October 17, 2012 at 7:54 AM Motamatika said...

Lebih asik baca di sini dari pada di buku :D

October 19, 2012 at 9:01 PM Hermanbagus said...

asik baca di blog ya sob, hehe

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: