Loading

Sayap Bidadari - Bios


Cinta buta dan cinta sejati

Tut! Nat! Net! Not! Nat! Net! Not! Di hari minggu yang cerah, di sebuah telepon umum,
seorang gadis tampak asyik berbincang-bincang. Rupanya Angel sedang menelepon Raka guna mengabarkan perihal naskah yang sudah dibacanya. Tak lama kemudian, “Nah, begitulah Kak. Tanpa terasa, akhirnya cerita itu selesai juga kubaca ," kata Angel mengabarkan. 
"Gila... Cepat juga kau membacanya," komentar Raka kagum.
"Iya dong. Memangnya Kakak, biarpun sudah bulukan dan dimakan rayap tak akan pernah membacanya."
"Eit, jangan salah! Itu hanya berlaku untuk karangan penulis lain, tapi kalau untuk karangan Bobby tentu ada pengecualian. Dia itu kan sahabat baikku, dan aku merasa berkewajiban untuk bisa menyelesaikannya walaupun dengan waktu yang agak lama."
"Benarkah?" "Tentu saja. Ketahuilah! Selama ini Bobby sudah begitu sering membantuku, bahkan dia rela untuk mengalahkan kepentingannya sendiri. Sungguh dia itu sahabat yang baik, dan tidak sepantasnya aku membalasnya dengan menyakiti perasaannya. Karenanyalah, biarpun aku tidak hobi membaca, tapi aku tetap berusaha untuk menyelesaikannya. Ya, seperti yang aku bilang tadi, walaupun dengan waktu yang agak lama. Tapi untunglah, Bobby bisa memahamiku sehingga dia pun tidak merasa kecewa karenanya."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, aku baca lanjutannya dong! Sebab, kata Kak Bobby ada lanjutannya."
"Lanjutan apa?" "Lanjutan dari cerita yang kubaca ini. Kalau tidak salah, judulnya Demi Buah Hatiku" "Lha... Naskah itu sih tidak ada padaku."
"Lantas, naskah yang ada pada Kakak itu apa?" "Yang ada padaku itu, Menuai Masa Lalu." "Ya... Bagaimana dong?" "Telepon dia saja!" "Aduh, Kak. Aku kan baru kenal. Masa sih langsung menelepon dia." "Mmm... Bagaimana ya?" Raka tampak berpikir
keras. "Aduh, telmi amat sih nih kepala. Masa masalah begitu saja tidak bisa mikir," kata Raka seraya melangkah berputar-putar sambil terus menggenggam telepon selularnya. "Eng… Nanti saja deh, An. Biar aku pikirkan dulu," kata Raka menyerah.
"Iya, deh. Nanti kalau sudah kabari aku ya!" Setelah berkata begitu, Angel pun langsung
memutus sambungan dan melangkah pergi meninggalkan telepon umum yang hanya berjarak lima meter dari rumahnya. Kini gadis itu sudah merebahkan diri di tempat tidur. Kali kini dia tidak memikirkan soal perasaannya kepada Bobby, melainkan lebih kepada lanjutan cerita dari naskah yang sudah dibacanya. "Hmm... Lanjutannya seperti apa ya? Kata Kak Bobby waktu itu sih soal anak-anak dari tokoh utama yang sudah remaja dan menginjak dewasa. Pasti ceritanya akan lebih seru dari cerita yang baru kubaca itu, dan isinya pun tentu mengenai cinta anak remaja yang masih seumuran denganku." 

Angel terus memikirkan itu, hingga akhirnya dia pun kebelet pipis. Sementara itu di tempat berbeda, Bobby tampak sedang memikirkan gadis yang mau dijodohkan dengannya. Siapa lagi kalau bukan Wanda. "Hmm... Kata ibuku, dia itu gadis yang patuh kepada orang tua. Dan katanya lagi, dia itu tidak mungkin menolak jika orang tuanya memang setuju. Aku heran, pada zaman modern ini masih ada saja gadis yang seperti itu. Dan aku sendiri, mau saja dijodoh-jodohkan. Hmm... Apakah itu karena aku sudah putus harapan karena tak mampu mencari sendiri? Dan itu karena aku yang senantiasa berkata jujur, bahwa aku akan langsung menikahi gadis yang kucintai. Dan akibatnya, kebanyakan wanita justru merasa takut karena belum siap, atau merasa takut kalau segala yang kukatakan adalah sebuah kebohongan. Apalagi jika mereka tahu kalau aku adalah salah seorang yang mengerti dan setuju dengan poligami, maka akan semakin menjauh saja mereka. Padahal mengerti dan setuju itu kan belum tentu akan menjadi pelakunya. Justru karena kemengertianku soal poligamilah yang membuatku justru merasa takut untuk berpoligami. Sebab, bagi orang yang mengerti kalau berpoligami itu tidak mudah, tentu dia akan lebih mencari selamat, yaitu dengan hanya beristri satu. 

Hmm... Bagaimana dengan Angel? Apakah dia juga akan seperti itu? Ya... Aku rasa dia pun seperti itu. Kalau begitu, memang tidak ada salahnya jika aku dijodohkan oleh orang tuaku. Aku sadar, kini aku sudah semakin bertambah usia, dan orang tuaku tentu sangat mengkhawatirkan aku yang hingga kini belum juga menikah. Padahal, hampir semua teman sebayaku sudah membina mahligai rumah tangga, malah dari mereka ada yang sudah dikarunia tiga orang anak. Mungkin juga orang tuaku sudah tidak sabar ingin menggendong cucu—anak dari buah hatinya tercinta. Tapi... Bisakah aku bahagia bersama gadis pilihan orang tuaku itu tanpa dasar cinta sama sekali. Terus terang, aku takut membina hubungan tanpa didasari cinta. Beruntung jika kelak aku mencintainya, kalau tidak... Bukankah itu akan menimbulkan masalah."

Bobby terus memikirkan perihal perjodohan itu, hingga akhirnya dia merasa pusing sendiri. Begitulah Bobby yang senang sekali mendramatisasi keadaan sehingga membuat kepalanya semakin mau pecah. Maklumlah, dia itu kan seorang penulis yang biasa mendramatisir peristiwa yang biasa saja menjadi peristiwa yang luar biasa. Dan memang hal seperti itulah yang dituntut bagi seorang penulis agar bisa menghasilkan karya sastra yang bagus dan bisa dinikmati oleh pembacanya.

Dua hari kemudian, Bobby menelepon Raka lantaran dia sudah sangat merindukan sang Pujaan Hati. Maklumlah, selama dua hari ini dia selalu memimpikan Angel dan membuatnya merasa perlu untuk terus mencintainya.

"Eh, nanti malam dia mau main ke rumahku,” jelas Raka mengabari. “Eng… Katanya, dia juga mau ke rumahmu untuk mengembalikan naskah kemarin dan mau membaca cerita lanjutannya.”
"Benarkah?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
“Benar, Bob. Tapi sayangnya, saat ini motorku lagi ada masalah, dan karenanyalah aku tidak mungkin mengantarnya sampai ke rumahmu."
Mengetahui itu, Bobby pun segera merespon, “Eng... Kalau begitu, biar aku saja yang ke sana.”
“Baiklah, Bob. Kalau begitu, kami akan menunggumu di warung tempat biasa. ”
“Iya, Ka. Sampai nanti malam ya. Bye..." pamit Bobby dengan perasaan senang bukan kepalang. Maklumlah, nanti malam rindunya tentu akan segera terobati.

Kini pemuda itu tampak duduk di ruang tamu sambil memikirkan perihal pertemuannya malam nanti. Ketika sedang asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba ibunya datang menemui. "Bob, Ibu mau bicara," kata sang Ibu seraya duduk di sebelahnya.
"Soal apa, Bu?" tanya Bobby seraya berusaha menerka dalam hati.
"Begini, Bob. Tadi, ibu baru pulang dari rumah Wanda, dan Ibu kembali berbincang-bincang perihal niat lamaran itu. Sungguh ibu tidak menduga, kalau kedatangan ibu telah disambut dengan begitu berlebihan. Sampai-sampai mereka membuat kue spesial segala hanya demi menyambut kedatangan ibu. Sungguh saat itu Ibu merasa tidak enak, belum apa-apa mereka sudah menyambut seperti itu. Bagaimana jika nanti ibu datang melamar, pasti mereka akan menyambutnya dengan begitu meriah. O ya, Bob. Kata ibunya Wanda, sebelum Ayah dan Ibu datang melamar sebaiknya kau dan Wanda dipertemukan dulu. Sebab katanya, pernikahan itu bukanlah perkara main-main. Setelah menikah, kalian tentu akan hidup bersama untuk selamanya—saling setia dalam mengarungi bahtera rumah tangga hingga ajal memisahkan. Karenanyalah, agar tidak menyesal nantinya, kalian harus saling mengenal lebih dulu. Karena itulah, mereka sangat mengharapkan kedatanganmu. Ketahuilah, Bob! Malam Kamis besok mereka mengundangmu untuk datang menemui Wanda," jelas sang Ibu panjang lebar. 

"Tapi, Bu..." "Sudahlah… Tidak ada tapi-tapian! Soalnya tadi
Ibu sudah berjanji, kalau kau akan datang Malam Kamis besok. Malah Ibu sudah memberitahu, kalau kau itu anak yang berbakti pada orang tua dan tidak mungkin mau menolak keinginan kami yang menghendaki Wanda menjadi istrimu," potong sang Ibu tak mau mendengar alasan Bobby.
"Jadi, itu artinya Bobby memang harus menemuinya?"
"Tentu saja, memangnya kini kau sudah tidak mau berbakti kepada orang tuamu lagi. Lagi pula, apa lagi  yang masih kau pikirkan, Bob? Wanda itu jelas gadis yang manis, baik, dan juga patuh kepada orang tua."
"Bu... Se-sebenarnya. Bo-Bobby..." pemuda itu tampak menggantung kalimatnya, "Eng... Bobby malu datang ke sana, Bu," lanjut pemuda itu tak mau mengungkap hal yang sebenarnya, kalau dia itu sudah mempunyai gadis pilihannya sendiri, dialah Angel—gadis yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.
"Kau tidak perlu malu, Bob! Atau... Kalau perlu Ibu akan menyuruh Randy untuk menemanimu." 

Saat itu Bobby tak mempunyai pilihan lain yang terbaik, tampaknya dia memang harus datang ke rumah Wanda demi baktinya kepada orang tua. "Duhai Allah... Kenapa harus seperti ini? Padahal kini aku sudah begitu mencintai Angel, seorang gadis yang menurutku baik dan bisa mengerti aku. Entahlah... Ini cinta buta atau bukan, yang jelas aku sudah mempertimbangkannya dengan matang dan sudah menerima apa pun kekurangannya. Jika demikian adanya, benarkah itu cinta buta, bukannya cinta sejati yang tumbuh karena bertemu sang Belahan Jiwa?" ratap pemuda itu membatin.


Ikuti cerita selanjutnya.....!!!


( Password : Novel I-One )





Artikel Terkait:

3 komentar:

March 29, 2013 at 7:39 AM Masterbet88 said...

Sepertinya menarik :)

April 6, 2013 at 5:51 PM Hendy said...

mantep sob ceritanya

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: