Loading

Merah Muda & Biru - Bios


Pada suatu hari, disaat Bobby sedang berjalan seorang diri, tiba-tiba DUG CRAAAKKK!!! terdengar suara mobil yang bertabrakan. Sebuah bis kota menabrak bumper belakang sedan mewah yang berada di depannya. Pada saat yang sama, beberapa pasang mata langsung melihat ke asal suara, termasuk seorang petugas polantas yang saat itu sedang tidak begitu sibuk. Lalu, dengan segera dia menghampiri kedua pengemudi yang sudah beradu mulut membela kebenarannya masing-masing. “Tenang… tenang !” kata petugas polantas itu melerai mereka, suaranya pun terdengar begitu berwibawa, kemudian petugas itu menyuruh mereka untuk merapatkan kendaraan masing-masing di sisi jalan.
 Tak lama kemudian, kedua pengemudi tadi sudah kembali adu mulut. “Andalah yang salah! Anda sudah menabrak mobil saya hingga rusak begini…!” tuduh pengemudi sedan mewah kepada pengemudi Bis kota.

Tampaknya sopir bis kota tidak menerima tuduhan itu, dia justru menuduh pengemudi sedan mewahlah yang telah bersalah. Namun pengemudi sedan mewah itu terus saja ngotot, “Pokoknya, anda tetap salah! Bukankah tadi Pak Polisi sudah memberi tanda untuk berhenti,” jelas pengemudi sedan mewah menangkis serangan mulut pengemudi bis kota.

Pak Polantas kembali melerai mereka, kemudian dengan berwibawa dia kembali berkata-kata. “Daripada bapak-bapak saya bawa ke kantor, lebih baik bapak-bapak tidak saling menyalahkan! Cobalah berperilaku sopan di tempat umum! Ini jalan raya, masa mau ribut di sini. Kalau kalian ribut kapan selesainya, iya kan ?” jelas petugas itu tegas.

Kemudian Pak Polantas segera menangani perkara itu dengan menganalisa kronologi kejadian. Dan tak lama kemudian, dia sudah mengetahui duduk perkaranya. “Begini, bapak-bapak...” Pak Polantas segera memberikan penjelasan panjang lebar kepada keduanya. Setelah memberikan penjelasan itu, akhirnya putusan pun diambil. Pengemudi bis kota dinyatakan bersalah karena sudah melakukan kecerobohan, yaitu telah lengah tidak menginjak pedal rem tepat pada waktunya. Saat itu sopir bis kota tampak kecewa dan terpaksa menerima putusan itu, sedangkan pengemudi sedan mewah tampak  senangdia tersenyum akan kemenangannya. “Nah, sekarang sebaiknya Bapak selesaikan masalah ini dengan cara damai,” kata Pak Polantas sambil menepuk pundak pengemudi bis kota, “Eng… Bapak berikan saja alamat perusahaan Bapak kepada Bapak ini, agar nantinya bisa dihubungi! O ya, sekarang sebaiknya kalian saling bersalaman!” anjur Pak Polantas kemudian. 

Pengemudi sedan dan pengemudi bis kota saling berpandangan, kemudian dengan berat hati pengemudi bis kota mengulurkan tangannya. “Saya minta maaf, saya akan ganti kerusakan mobil Bapak itu,” kata pengemudi bis kota dengan wajah lesu.

“Lain kali hati-hati ya!” kata pengemudi sedan mewah merasa benar sendiri.
Lantas dengan terpaksa, pengemudi bis kota itu tampak menuruti anjuran Pak Polantas, dia segera memberikan alamat perusahaannya kepada pengemudi sedan mewah. Di benaknya timbul segala perasaan khawatir, khawatir jika bosnya tidak mau mengerti dengan kejadian yang telah menimpanya. “Aduh, bos pasti akan besar dan akan memecatku. Soalnya yang kutabrak itu mobil mewah. Kalau dilihat dari kerusakannya, pasti akan memakan biaya perbaikan yang tidak sedikit,” keluh pengemudi bis kota membatin. 

Bobby yang menonton kejadian itu cuma geleng-geleng kepala, dan dia betul-betul kasihan melihat pengemudi bis kota yang terpaksa harus mengganti kerusakan. Padahal, ketika mengikuti penjelasan kronologi dari kejadian tadi, dia berpendapat kalau kecelakaan itu bukanlah semata-mata kesalahan si Pengemudi bis kota, namun karena kesalahan dari beberapa pihak yang menurutnya perlu juga dimintai pertanggungjawaban. Pada saat yang sama, dia sempat bertanya-tanya perihal pengemudi sedan mewah yang sepertinya dikenal. 

“Bobby!” seru pengemudi sedan mewah seraya menghampirinya.
Saat itu Bobby mencoba tersenyum sambil terus berusaha mengingat-ingat pemuda itu.
“Bob, kau lupa padaku? Aku Johan, teman SMPmu dulu.”
“Johan? O ya, aku ingat. Kau kan yang pertama kalinya mengajariku merokok dan memperkenalkan narkoba.”
"Ah, kau ini. Masa yang diingat cuma itu, memangnya tidak ingat apa ketika kita sama-sama mengejar Nina. Walaupun pada akhirnya aku mengaku kalah, karena ternyata Nina memang mencintaimu.”
“Nina?” Bobby kembali teringat dengan cinta pertamanya, cinta yang telah membuat masa SMPnya agak berantakan karena tidak konsen belajar. Bagaimana tidak, setiap hari dia pergi sekolah hanya karena ingin bertemu Nina, dan ketika jam pelajaran sedang berlangsung, dia pun ingin cepat selesai lantaran ingin bertemu Nina. Pulang sekolah adalah saat yang paling dia tunggu-tunggu. Dengan sang  Pujaan hatinya, dia berduaanngobrol di taman hingga sering pulang terlambat. 

“Bob!” seru Johan membuyarkan ingatan Bobby. “Eh, apa Han?” tanya Bobby agak terkejut. "Eng... ngomong-ngomong apa kau pernah  bertemu Nina?” “Tidak pernah, Jo! Bahkan, hingga saat ini aku  tidak tahu di mana rimbanya.” "Mmm... apa kau masih mencintainya?” “Tentu saja, Jo. Dia kan cinta pertamaku.” “Eh, Bob! Sebenarnya...” Johan menggantung kalimatnya, saat itu dia tampak berat mengatakan hal yang sebenarnya.
“Apa, Jo?” tanya Bobby. “Sudahlah... lupakan saja! O ya, ngomong-ngomong sekarang kau bekerja di mana?” tanya Johan mengalihkan pembicaraan.

"Mmm... aku masih menganggur, Jo,” jawab Bobby. “O ya, kalau kau sendiri kerja di mana?” Bobby balik bertanya..
“Eng, a-aku bekerja di sebuah perusahaan, Bob.” “Iya, tapi perusahaan apa?” “Perusahaan Elektronik.” “Eng... kalau begitu, boleh aku minta kartu namamu! Mungkin kapan-kapan aku bisa main ke kantormu.” 

Saat itu, Johan seperti enggan memberikan kartu namanya. Namun karena Bobby terus mendesak, akhirnya dia pun terpaksa memberi.
“Gila! Ternyata kau seorang direktur, Jo?” kata Bobby seakan tidak percaya ketika membaca kartu nama yang dipegangnya.
“Sebenarnya itu perusahaan ayahku, Bob.” “Sama saja, Jo. Walaupun perusahaan itu punya ayahmu, suatu saat perusahaan itu juga bakal milikmu. O ya, Jo. Apa mungkin aku bekerja di kantormu?” tanya Bobby berharap.
"O ya, ngomong-ngomong kau lulusan apa?”
“Aku cuma lulusan SMK, Jo.” “Aduh, sayang sekali, Bob. Coba kalau kau S1, aku pasti bisa membantumu. Maafkan aku, Bob. Bukannya aku tidak mau memberikan pekerjaan untukmu. Tapi, demi untuk keprofesionalan, yang bisa bekerja di kantorku itu minimal berpendidikan S1.”
“Walaupun untuk seorang cleaning service?” tanya Bobby lagi.
"Wah, perusahaanku tidak merekrut cleaning service, Bob. Soalnya selama ini cleaning service di perusahaanku adalah karyawan kontrak yang disalurkan oleh perusahaan lain.”
"O, begitu ya?” “Maaf ya, Bob! Aku tidak bisa membantumu,” ucap Johan yang sebenarnya tidak mau menerima Bobby bekerja di kantornya bukan lantaran hal itu, melainkan ada hal lain yang sebenarnya enggan diberitahukan.
“Sudahlah, Jo! Mungkin untuk saat ini, aku memang harus menganggur.”


Ikuti Cerita Selanjutnya.....!!!!


( Password : Novel I-One )




Artikel Terkait:

1 komentar:

March 29, 2013 at 8:15 AM Kolom Tutorial™ said...

Nice info gan, thank udh ber bagi

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: