Pacaran yang kelewat batas antara Cindy dan Leo membuahkan janin di luar nikah. Tragedi kemanusiaan pun ditegaskan ketika ayah sang gadis, pengusaha kaya bernama Bram, tidak menerima Leo, pemain band yang dipandangnya sebagai berandalan. Sang ayah memaksa Cindy untuk menggugurkan kandungannya, ketika sang janin berusia 8 bulan.
Dari sinilah, tragedi demi tragedi dalam novel Kupu-kupu Pelangi1) ini dimulai, merangkai ‘plot ganda’ yang cukup longgar dengan beberapa selingan flash back. Bram memerintahkan agar bayi itu dimusnahkan. Tapi, tanpa sepengetahuan Bram, nenek sang bayi, Arum, menyelamatkan bayi itu dengan memanfaatkan kawan Cindy, Anton dan Susi, untuk menitipkannya di panti asuhan.
Setelah melewati ketegangan Anton dan Susi saat membawa ‘bayi bercahaya’ itu, plot pun terpecah mengikuti nasib masing-masing tokoh secara berselang-seling: Susi melarikan diri dari Anton, nyaris dikeroyok karena dikira maling, bahkan kemudian nyaris bunuh diri karena merasa berdosa. Anton gagal menyejar Susi kemudian menang judi, mengawini anak Cina yang menjadi taruhannya, jadi pengusaha kaya, kemudian bangkrut dan gila. Bram bangkrut dan masuk rumah sakit jiwa. Bayi Cindy yang beranjak dewasa dan nyaris dijual jadi pelacur. Cindy tewas di Amerika, karena over dosis. Arum yang tetap tabah dalam derita dan terus mencari cucunya (anak Cindy). Dan, Susi yang jadi muslimah pendiam.
Islamikah kisah di atas? Tergantung pendekatan dan bagaimana memaknai kisah tersebut ke dalam novel. Di tangan novelis masokis maupun snobis – yang sekarang menjamur dan umumnya kaum perempuan seperti Dinar Rahayu dan Ayu Utami2) – kisah di atas barangkali bisa menjadi novel yang penuh adegan seks dan pornografi. Kisah di atas memang menyediakan peluang untuk ini. Sebut saja, misalnya, percintaan antara Cindy dan Leo, operasi caesar Cindy, atau petualangan Anton dan Bram.
Tetapi, di tangan Gola Gong, cerita di atas didekati dengan semangat yang cukup Islami. Agaknya Gola Gong tidak tertarik untuk mengeksploitasi hal-hal di seputar seksualitas dan erotika itu. Gola justru menempatkannya sebagai tragedi moral dan kemanusiaan.
Dari sinilah kesadaran dan semangat Islami Gola membingnya untuk membawa dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi tokoh-tokohnya dengan pendekatan agama: pendosa adalah pendosa dan mereka harus diberi hukuman setimpal, kecuali mereka mau bertobat dan tidak mengulang perbuatan dosanya.
Maka, tokoh Bram yang mengingatkan kita pada watak Ramses II (Fir’aun) – congkak dan tak kenal Tuhan – dihukum jadi bangkrut dan masuk rumah sakit jiwa. Begitu juga Anton, aktivis mata duitan yang tidak punya prinsip hidup serta mau dibayar untuk membuang bayi Cindy, suka main judi dan perempuan ketika sudah kaya, dibikin bangkrut dan gila.
Sementara, Arum yang kemudian tobat, ‘diselamatkan’ meskipun kehilangan Cindy dan harus sibuk mencari cucunya. Ia terus dalam ujian hidup yang panjang. Dan, Susi yang nyaris bunuh diri, diselamatkan seorang haji, kemudian menjadi mahasiswi yang saleh di Surabaya.
Yang terasa kejam, barangkali, hukuman yang diberikan kepada Cindy. Gadis cantik ini sebenarnya hanyalah korban keadaan, tapi dimatikan oleh pengarangnya melalui kasus over dosis narkoba, karena putus asa tak diterima kembali oleh Leo. Sementara, Leo, pacar yang membenihinya, justru ‘diselamatkan’ dengan menjadi pemusik sukses (Anda terlalu kejam pada Cindy, Gola!).
Kisahnya memang belum selesai, karena novel ini baru Kupu-Kupu Pelangi 1. Bayi Cindy, yang ternyata dibuang ke Kali Ciliwung oleh Anton, ditemukan dan dibesarkan oleh komunitas ‘perempuan kotor’ yang memberinya nama Watik dan siap menjualnya sebagai pelacur. Sementara, neneknya, Arum, masih terus mencarinya. Kita belum tahu ‘nasib’ macam apa yang telah, sedang, atau akan ditimpakan sang pengarang kepada tokoh-tokoh yang tersisa itu.
Filosofi – atau tepatnya mitologi -- tentang kebenaran, bahwa hidup ini adalah pertarungan antara yang baik dan yang buruk, antara kebenaran dan kejahatan, kembali berbicara dalam novel Gola Gong ini. Dan, sebagaimana kisah-kisah pewayangan, dongeng, legenda, dan bahkan film-film Barat, kebenaran akan selalu muncul sebagai pemenang, dan yang jahat selalu menerima hukuman.
Sebenarnya, semua penulis cerita modern, baik novel maupun naskah film, yang mengakhiri kisahnya dengan akhir (ending) yang jelas – bukan ending yang mengambang – meletakkan plot dan nasib tokoh-tokoh cerita dalam bingkai filosofi tentang kebenaran itu. Pada tahap inilah seorang penulis, disengaja atau tidak, akan menanamkan nilai-nilai yang diyakininya kepada apresian (pembaca).
Sebuah karya sastra lazimnya akan dianggap berdampak positif jika nilai-nilai yang dimasyarakatkannya sesuai dengan nilai-nilai (kebenaran) moral dan agama yang diyakini oleh masyarakat pembacanya. Pergesekan ataupun perbenturan nilai akan terjadi ketika kebenaran yang diyakini oleh pengarang telah bergeser sehingga bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Pada kondisi tertentu, ketika ‘kebenaran baru’ yang semu telah benar-benar diyakini oleh pengarang, dan dia begitu lihai mengemasnya ke dalam karya sastra, apalagi jika kemudian mendapat dukungan dari media massa, ‘kebenaran semu’ tersebut dapat berakibat ‘penyesatan kolektif’.
Sebagai contoh adalah sikap liberal dan permisif yang diperlihatkan oleh novel-novel Dinar Rahayu dan Ayu Utami (juga Fira Basuki?) Bisa jadi, sikap blak-blakan dalam membicarakan masalah seks pada novel kedua penulis perempuan itu didasari oleh kemuakan mereka pada norma-norma lama yang mengungkung kaum perempuan dalam sikap ‘serba tabu’. Mereka berontak dan menawarkan nilai-nilai baru yang diambil dari komunitas sekuler yang liberal (Barat). Karena, dalam menawarkan ‘tatanan masyarakat baru’ itu tidak dilandasi nilai-nilai agama (Islam), maka hasilnya adalah novel-novel yang mengemas masalah seksual dalam selera rendah, dan kini mulai meresahkan masyarakat.
Dari sinilah, tragedi demi tragedi dalam novel Kupu-kupu Pelangi1) ini dimulai, merangkai ‘plot ganda’ yang cukup longgar dengan beberapa selingan flash back. Bram memerintahkan agar bayi itu dimusnahkan. Tapi, tanpa sepengetahuan Bram, nenek sang bayi, Arum, menyelamatkan bayi itu dengan memanfaatkan kawan Cindy, Anton dan Susi, untuk menitipkannya di panti asuhan.
Setelah melewati ketegangan Anton dan Susi saat membawa ‘bayi bercahaya’ itu, plot pun terpecah mengikuti nasib masing-masing tokoh secara berselang-seling: Susi melarikan diri dari Anton, nyaris dikeroyok karena dikira maling, bahkan kemudian nyaris bunuh diri karena merasa berdosa. Anton gagal menyejar Susi kemudian menang judi, mengawini anak Cina yang menjadi taruhannya, jadi pengusaha kaya, kemudian bangkrut dan gila. Bram bangkrut dan masuk rumah sakit jiwa. Bayi Cindy yang beranjak dewasa dan nyaris dijual jadi pelacur. Cindy tewas di Amerika, karena over dosis. Arum yang tetap tabah dalam derita dan terus mencari cucunya (anak Cindy). Dan, Susi yang jadi muslimah pendiam.
Islamikah kisah di atas? Tergantung pendekatan dan bagaimana memaknai kisah tersebut ke dalam novel. Di tangan novelis masokis maupun snobis – yang sekarang menjamur dan umumnya kaum perempuan seperti Dinar Rahayu dan Ayu Utami2) – kisah di atas barangkali bisa menjadi novel yang penuh adegan seks dan pornografi. Kisah di atas memang menyediakan peluang untuk ini. Sebut saja, misalnya, percintaan antara Cindy dan Leo, operasi caesar Cindy, atau petualangan Anton dan Bram.
Tetapi, di tangan Gola Gong, cerita di atas didekati dengan semangat yang cukup Islami. Agaknya Gola Gong tidak tertarik untuk mengeksploitasi hal-hal di seputar seksualitas dan erotika itu. Gola justru menempatkannya sebagai tragedi moral dan kemanusiaan.
Dari sinilah kesadaran dan semangat Islami Gola membingnya untuk membawa dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi tokoh-tokohnya dengan pendekatan agama: pendosa adalah pendosa dan mereka harus diberi hukuman setimpal, kecuali mereka mau bertobat dan tidak mengulang perbuatan dosanya.
Maka, tokoh Bram yang mengingatkan kita pada watak Ramses II (Fir’aun) – congkak dan tak kenal Tuhan – dihukum jadi bangkrut dan masuk rumah sakit jiwa. Begitu juga Anton, aktivis mata duitan yang tidak punya prinsip hidup serta mau dibayar untuk membuang bayi Cindy, suka main judi dan perempuan ketika sudah kaya, dibikin bangkrut dan gila.
Sementara, Arum yang kemudian tobat, ‘diselamatkan’ meskipun kehilangan Cindy dan harus sibuk mencari cucunya. Ia terus dalam ujian hidup yang panjang. Dan, Susi yang nyaris bunuh diri, diselamatkan seorang haji, kemudian menjadi mahasiswi yang saleh di Surabaya.
Yang terasa kejam, barangkali, hukuman yang diberikan kepada Cindy. Gadis cantik ini sebenarnya hanyalah korban keadaan, tapi dimatikan oleh pengarangnya melalui kasus over dosis narkoba, karena putus asa tak diterima kembali oleh Leo. Sementara, Leo, pacar yang membenihinya, justru ‘diselamatkan’ dengan menjadi pemusik sukses (Anda terlalu kejam pada Cindy, Gola!).
Kisahnya memang belum selesai, karena novel ini baru Kupu-Kupu Pelangi 1. Bayi Cindy, yang ternyata dibuang ke Kali Ciliwung oleh Anton, ditemukan dan dibesarkan oleh komunitas ‘perempuan kotor’ yang memberinya nama Watik dan siap menjualnya sebagai pelacur. Sementara, neneknya, Arum, masih terus mencarinya. Kita belum tahu ‘nasib’ macam apa yang telah, sedang, atau akan ditimpakan sang pengarang kepada tokoh-tokoh yang tersisa itu.
***
Filosofi – atau tepatnya mitologi -- tentang kebenaran, bahwa hidup ini adalah pertarungan antara yang baik dan yang buruk, antara kebenaran dan kejahatan, kembali berbicara dalam novel Gola Gong ini. Dan, sebagaimana kisah-kisah pewayangan, dongeng, legenda, dan bahkan film-film Barat, kebenaran akan selalu muncul sebagai pemenang, dan yang jahat selalu menerima hukuman.
Sebenarnya, semua penulis cerita modern, baik novel maupun naskah film, yang mengakhiri kisahnya dengan akhir (ending) yang jelas – bukan ending yang mengambang – meletakkan plot dan nasib tokoh-tokoh cerita dalam bingkai filosofi tentang kebenaran itu. Pada tahap inilah seorang penulis, disengaja atau tidak, akan menanamkan nilai-nilai yang diyakininya kepada apresian (pembaca).
Sebuah karya sastra lazimnya akan dianggap berdampak positif jika nilai-nilai yang dimasyarakatkannya sesuai dengan nilai-nilai (kebenaran) moral dan agama yang diyakini oleh masyarakat pembacanya. Pergesekan ataupun perbenturan nilai akan terjadi ketika kebenaran yang diyakini oleh pengarang telah bergeser sehingga bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Pada kondisi tertentu, ketika ‘kebenaran baru’ yang semu telah benar-benar diyakini oleh pengarang, dan dia begitu lihai mengemasnya ke dalam karya sastra, apalagi jika kemudian mendapat dukungan dari media massa, ‘kebenaran semu’ tersebut dapat berakibat ‘penyesatan kolektif’.
Sebagai contoh adalah sikap liberal dan permisif yang diperlihatkan oleh novel-novel Dinar Rahayu dan Ayu Utami (juga Fira Basuki?) Bisa jadi, sikap blak-blakan dalam membicarakan masalah seks pada novel kedua penulis perempuan itu didasari oleh kemuakan mereka pada norma-norma lama yang mengungkung kaum perempuan dalam sikap ‘serba tabu’. Mereka berontak dan menawarkan nilai-nilai baru yang diambil dari komunitas sekuler yang liberal (Barat). Karena, dalam menawarkan ‘tatanan masyarakat baru’ itu tidak dilandasi nilai-nilai agama (Islam), maka hasilnya adalah novel-novel yang mengemas masalah seksual dalam selera rendah, dan kini mulai meresahkan masyarakat.
2 komentar:
satu kata kereeeeennnnn
... review nya bagus, mas...mksh sdh share...rr
Post a Comment