Ujung selendang kain sutra cinde yang melilit pundaknya dan beberapa helai rambutnya melambai-lambai ditiup angin. Laut Jawa dari arah buritan. Hidungnya yang seperti belahan segitiga sama sisi menghirup asin air laut dan bibirnya agak sedikit terbuka.
Musim hujan belum lagi menerjang, dan angin barat tertiup cukup keras. Langit yang semburat hanya digantungi segerombolan awan. Senja masih terasa hangat di sisa matahari.
Dyah Pitaloka merasa tak seperti nasib mentari, yang sudah pasti akan kembali esok pagi. Dia tengah menghadapi sebuah masa depan yang sesunggunhya tidak pasi. Mungkin dia akan menyongsong fajar yang merekah esok pagi. Namun mungkin juga baginya fajar hanyalah sebuah fatamorgana.
Gadjah Mada tidak ingin Kerajaan Sunda menjadi kerikil dalam Kerajaan Majapahit. Untuk melengkapi keberhasilannya menyatukan Nusantara, Majapahit harus menaklukkan Sunda. Bila kekuatan angkatan perang tidak mungkin, cara lainnya adalah melalui pernikahan.
Pernikahan Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit, bagi Gadjah Mada, bukanlah perkawinan antara seorang raja dengan putri dari dua kerajaan, melainkan penyerahan upeti sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada, melalui Sumpah Palapa, telah mengukuhkan simbol dirinya sebagai sosok patih yang ambisius. Ambisinya itu tidak hanya membumihanguskan Kerajaan Sunda, juga dirinya sendiri.
Pahlawan terbesar sepanjang sejarah Majapahit itu, orang yang pertama kali menyatukan seluruh Nusantara, akhirnya menjadi buronan negerinya sendiri. Nama besarnya runtuh karena hanya mementingkan ambisi dan mengabaikan sesuatu yang tak kalah besar: Cinta. Berbahan baku sejarah, novel ini bercerita tentang nilai sebuah kesetiaan dan pengkhianatan. Sebuah "dongeng" sejarah yang manis.
Dyah Pitaloka (Korban Ambisi Politik Gajah Mada) ~ Editor By. I-One
2 komentar:
Banyak bukti sejarah yang menyatakan bahwa sebetulnya raja muda Majapahit yang masih bujangan, Hayam Wuruk, benar-benar cinta pada Dyah Pitaloka dan ingin menjadikan dia sebagai permaisuri. Yang salah paham, atau sengaja "salah paham" dan menyebabkan rencana itu berantakan adalah paman patih Gajah Mada. Keinginan tulus Hayam Wuruk untuk memperisteri Dyah Pitaloka, sekaligus untuk mempererat Majapahit dan Pajajaran, telah dibelokkan oleh Gajah Mada sebagai tanda takluk Pajajaran pada Majapahit. Kematian Dyah Pitaloka dalam pertikaian politik dengan Gajah Mada itu, sangat disesali Hayam Wuruk. Konon sang raja muda ini sangat berduka berbulan-bulan lamanya dan tidak mau lagi bicara pada paman patih Gajah Mada. Bahkan setelah kejadian itu, catatan sejarah tidak pernah lagi menulis tentang keberadaan Gajah Mada. Catatan-catatan lain menyebutkan Gajah Mada mengasingkan diri (atau diusir sang raja...) ke bagian ujung Sumatera (Aceh) dan meninggal entah di mana. Konon dia merasa bersalah kepada Hayam Wuruk, dan Hayam Wuruk pun kabarnya tidak mau memaafkan kesalahan itu.
> Dari fakta sejarah ini, seharusnya orang Sunda tidak boleh membenci Hayam Wuruk. Dia justru korban dari permainan politik Gajah Mada, maha patih yang menjabat sejak pemerintahan ayahanda Hayam Wuruk.
Betul, seharusnya Hayam Wuruk jangan terbawa-bawa ikut dibenci oleh orang Bandung. Dia justru ingin jadikan Pitaloka sebagai permaisuri. Gajah Mada saja yang punya persepsi salah dan ada ambisi yang salah penerapannya.
Post a Comment