Loading

Gajah Mada 3 : Hamukti Palapa - Langit Kresna Hariadi

Kemarau panjang. Gunung Kampud meletus. Kekeringan melanda setiap jengkal tanah Majapahit.

Pada situasi seperti itulah, ruang perbendaharaan pusaka Majapahit dimasuki orang. Payung Udan Riwis dan Cihna Nagara Gringsing Lobheng Lewih Laka raib dari ruang perbendaharaan istana pada pencurian pertama! Bahkan pada pencurian yang kedua dengan orang yang agaknya berbeda – yang ternyata pencuri kedua ini merasa terkecoh karena Kiai Udan Riwis dan Cihna Nagara sudah tak berada di tempatnya — Ratu Gayatri sempat diculik dari ruang peristirahatannya! Istana Majapahit pun geger. Mengapa justru kedua pusaka itu yang dicuri orang – sebuah payung dan sebuah bendera — dan bukan pusaka lain yang lebih tak ternilai harganya? Untuk apa? Dan bagaimana mungkin Ratu Gayatri selamat tanpa kurang suatu apa dalam penculikan itu?

Telik sandi Bhayangkara pun disebar Gajah Mada. Tak kurang, Gajah Enggon, pentolan pasukan khusus itu pun harus turun tangan sendiri. Sesuai petunjuk Ratu Gayatri, salah seorang yang pernah membatik bendera Cihna Nagara (lambang negara) itu, Gajah Enggon harus memulainya dari Ujung Galuh. Di sana, kehidupannya bahkan akan dimulai dari awal. Dia hanya tak boleh menoleh ke belakang dan diminta mengikuti ke mana terjadi mendung dan hujan akan turun. Sebuah petunjuk yang tentu saja penuh teka-teki.

Bersama dengan Pradabasu, seorang mantan Bhayangkara yang masih banyak membantu Majapahit meski sudah menjadi orang luar, Gajah Enggon melakukan perjalanan ke Ujung Galuh. Dan ternyata, di sanalah “kehidupannya akan dimulai dari awal” memang terjadi.

Gajah Enggon bertemu dengan Kiai Agal yang misterius, yang ternyata mengenal dirinya, dan tanpa disangkanya, sudah memiliki rencana yang tak pernah disangkanya: orang misterius itu hendak menikahkan dirinya dengan Rahyi Suhenok, cucunya sendiri! Dan disanalah keduanya baru tahu, bahwa Kiai Agal tidak lain adalah Kiai Pawagal, orang dekat Raden Wijaya. Keduanya juga bertemu dengan Medang Dangdi, teman seperjuangan Kiai Pawagal yang bersama dengan Raden Wijaya membangun Majapahit. Namun, tidak seperti Nambi dan teman-temannya yang lain, keduanya memilih berada di luar pemerintahan.

Berkat informasi dari Medang Dangdilah, di Ujung Galuh itu Pradabasu berbagi tugas dengan Gajah Enggon. Gajah Enggon tetap memburu kedua pusaka yang hilang sebagaimana amanat Ratu Gayatri, sedangkan Pradabasu harus segera bergerak ke Keta dan Sadeng: dua buah wilayah yang disinyalir sedang memberontak terhadap Majapahit. Dan dari sinilah, teka-teki mengapa kedua pusaka Majapahit itu hilang mulai terkuak. Semuanya ada kaitannya dengan upaya Keta dan Sadeng mencari legitimasi kekuasaan melalui penggunaan kedua pusaka itu sebagai simbol. Dan itu harus dicegah.

Berkat upaya Pradabasu dan telik sandi Bhayangkara lainnya, pemberontakan kedua tempat itu mulai konangan. Bagaimana Patih Mogasidi dari Keta dan Patih Raganata dari Sadeng harus menelan pil pahit ketika diusir dari pasewakan Majapahit karena gerakan rahasia mereka untuk menyusun kekuatan menentang Majapahit berhasil diblejeti Gajahmada. Pasukan segelar-sepapan pun ditugaskan ngluruk ke kedua wilayah itu. Tak kurang upaya itu dibantu oleh armada laut Adityawarman dari Darmasraya yang sedang berkunjung ke Majapahit. Semua berkat informasi dari Pradabasu.

Di perjalanan lain, Gajah Enggon bersama istrinya, Rahyi Suhenok, mengejar orang yang mencuri kedua pusaka itu. Dan ternyata mereka tidak sendiri. Ada pihak lain yang juga menginginkan kedua pusaka itu. Pihak lain itu tak lain adalah mereka yang gagal mencuri kedua pusaka di Majapahit. Dan pihak itu memang terbukti ada hubungannya dengan Keta dan Sadeng.

Begitulah cerita itu bergulir. Keta dan Sadeng akhirnya berhasil ditaklukkan. Dan kedua pusaka akhirnya kembali ke Majapahit. Dengan sendirinya! Bagaimana bisa? Dan bagaimana bisa Ratu Gayatri sendirilah yang menyambut Sang Pencuri kedua pusaka itu di alun-alun Majapahit ketika hujan deras mengguyur dan membasahi bumi yang telah kerontang begitu lama?

Jawabnya bisa ditemukan pada bagian akhir novel setebal lebih dari 600 halaman ini.

Dan pada kesempatan inilah, Patih Arya Tadah mengundurkan diri dan digantikan dengan Gajahmada sebagai Patih Mangkubumi. Pengangkatan dirinya tentu membuat banyak pejabat yang lebih senior kecewa, apalagi ia menyampaikan sumpah palapanya yang terkenal itu. Sumpah yang tentu saja di telinga mereka seperti sebuah lelucon belaka.

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

***

Inilah novel paling tebal dari keempat buku Gajahmada yang telah diterbitkan hingga resensi ini dibuat. Lebih dari 600 halaman! Jika sehari bisa menulis 10 halaman, novel ketiga ini ditulis Langit Kresna Hariadi barangkali hanya dalam kurun waktu 60-an hari; alias dua bulanan saja!

Namun, sebagaimana serial sebelumnya, novel setebal itu bisa dikunyah selezat kedua seri sebelumnya. Bagaimanapun, Pak Langit tetap membumbui kisah Gajahmada kali ini dengan misteri; yakni tentang pencurian pusaka yang sebetulnya tak seberapa penting dan kaitannya dengan pergerakan pasukan secara sembunyi-sembunyi di Keta dan Sadeng. Dengan sisi misterius inilah pembaca dipaksa dibuat tetap erat memegang novel ini hingga sampai pada kata terakhir.

Mungkin belajar dari kedua seri sebelumnya, pada sekuel ketiga ini tak banyak lagi dijumpai kalimat-kalimat perulangan yang cukup mengganggu itu. Meski demikian, tebalnya yang lumayan cukup membuat keinginan untuk membacanya menjadi sedikit menurun. Tetapi kiranya bisa dipahami mengapa setebal itu, karena setidaknya ada 3 pertanyaan besar yang harus dijawab. Pertama, adanya pergerakan pasukan berkekuatan sepuluh kapal dari Darmasraya yang dipimpin Adityawarman yang telah tiba di Ujung Galuh. Bagaimanapun, putra Darmasraya ini termasuk laki-laki yang masih ada hubungan darah dengan raja Majapahit dan berhak atas dampar kencana itu. Apalagi sejak Prabu Jayanegara wafat dan kedua saudaranya, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, adalah perempuan semua.Kedua, hilangnya kedua pusaka – yang tak seberapa. Untuk apa keduanya dicuri. Dan ketiga, adanya gerakan di Keta dan Sadeng yang hendak melakukan makar terhadap Majapahit.

Dan inilah kelihaian Pak Langit mempertemukan ketiga isu tersebut dalam sebuah cerita yang terjalin apik. Di samping adanya isu tambahan akan mundurnya Arya Tadah dari kursi kepatihan. Yang memang agak mengherankan adalah bahwa isu yang – menurut saya – tambahan atau sampingan inilah yang justru dipilih Pak Langit menjadi judul novel ini. Gajahmada Hamukti Palapa; yakni peristiwa sumpah amukti palapa Gajahmada yang terkenal itu. Judul yang lebih tepat, barangkali, malahPemberontakan Keta dan Sadeng, karena isu inilah yang justru mengambil porsi terbanyak dari cerita ini.

Terus-terang saya tak pernah mendengar kisah raibnya pusaka Majapahit itu dalam sejarah. Adalah sungguh merupakan kejutan jika ternyata hal itu pernah terjadi dan juga kejutan pula jika tak pernah terjadi kecuali hanya khayalan penulis saja. Karena bagaimanapun mengaitkan isu itu dengan Pemberontakan Keta dan Sadeng, yang memang ada tertulis di dalam sejarah, adalah sebuah ide yang jitu.

Saya pun tak pernah mendengar Adityawarman membantu Gajahmada menyerang Sadeng dengan pasukan armada lautnya. Apalagi Sadeng terletak di sisi selatan Jawa Timur bagian timur (selatan Jember), yang tentu saja untuk mencapainya harus mengarungi Selat Bali dan menuju Samudera Hindia yang terkenal ganas ombaknya. Saya masih memiliki kesan bahwa kedatangan Adityawarman dan kerjasamanya menyerang Sadeng adalah skenario penulisnya saja. Mudah-mudahan saya salah.

Yang juga tak kalah mengambil banyak halaman adalah penceritaan set back bagaimana pertemuan nostalgia antara Gayatri dan Kiai Wirota Wiragati di masa lampau ketika terjadi pemberontakan Jayakatwang, Adipati Gelang-gelang, terhadap Raja Kertanegara. Cerita romantis yang juga “baru” saya dengar. Jika ini tak pernah terjadi, maka saya sedikit yakin Sang Penulisnya adalah orang yang cukup romantis. Mungkin suatu saat saya harus bertanya pada istrinya untuk lebih yakin lagi tentang hal ini.

Disamping hal-hal di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul setelah membaca novel tebal ini.Pertama, kelihatannya peran Gajah Enggon tak seberapa di dalam cerita ini. Ia hanya “mengejar” maling Kiai Udan Riwis dan tak berhasil menangkapnya. Karena ternyata, Branjang Ratus, Sang Maling, adalah suruhan Ratu Gayatri sendiri. Kedua pusaka itu akhirnya kembali ke Majapahit, dikembalikan oleh pencurinya sendiri. Lalu, untuk apa Gayatri menyuruh Gajah Enggon menelusuri raibnya kedua pusaka itu? Untuk sekedar menikahkan pimpinan Bhayangkara itu dengan cucu Kiai Pawagal?

Kedua, betapa mudahnya Keta dan Sadeng ditaklukkan. Seingat saya di dalam sejarah, keduanya itu benar-benar berupa sebuah “pemberontakan” sebagaimana pemberontakan Ranggalawe misalnya. Tetapi dalam cerita ini, Ma Panji Keta dan Adipati Sadeng dengan mudahnya diringkus. Kesaktian Gajah Mada sama sekali tak dikeluarkan dalam sekuel ini.

Ketiga, betapa mudahnya juga Kiai Wirota Wiragati, maling mumpuni jaman Singasari dan juga sahabat Raden Wijaya, yang semula membantu mati-matian Ma Panji Keta memberontak terhadap Majapahit menjadi luruh niatnya oleh bujukan Medang Dangdi dan Kiai Pawagal, kedua orang sahabatnya itu? Bagaimana mungkin begitu mudahnya ia dipengaruhi? Saya kira ini juga agak tak wajar, karena lantas terkesan ceritanya, “Ealah, mek ngono ae.” Ah, ternyata cuman begitu saja.

Namun, ada yang menarik pada sisipan peristiwa Sumpah Amukti Palapa Gajah Mada itu. Sebagaimana pernah disampaikan penulis pada saat Bookfair akhir tahun 2006 lalu di Senayan Jakarta, pada cerita itu disisipkan tafsiran penulis terhadap “hamukti palapa” sebagai sumpah untuk tidak beristirahat hingga tercapainya cita-cita Gajah Mada. “Palapa” diartikan sebagai “lara lapa” (jawa), yakni berani menderita untuk mencapai sebuah cita-cita mempersatukan nusantara. Jadi, hamukti palapa bukan berpuasa untuk makan buah palapa (kelapa) sebagaimana kita dengar selama ini. Bagi saya, tafsiran ini sungguh menarik dan patut diperhitungkan.

Lebih dari itu, apresiasi yang dalam dan juga dua jempol patut disampaikan kepada penulisnya yang telah dengan piawai meramu isu-isu tersebut di atas menjadi sebuah cerita yang mengasyikkan ini. Rasanya tak sabar untuk segera membaca sekuel keempat Gajah Mada terkait dengan Perang Bubat yang melegenda sekaligus kontroversial itu!
 
 
 
( Password : Novel I-One )
 
 
 


Artikel Terkait:

2 komentar:

June 5, 2013 at 10:20 PM Mohammad Isnaeni said...

waduh sebenarnya ini hobby saya, tapi takut kepanjangan jadi lupa waktu bacanya. Ntar masih bersambung lagi tapi susah carinya. Saya cari lanjutan mencari bende mataram (kalau gak salah melawat ke barat) ada gak gan ...?

June 6, 2013 at 11:07 AM M. Alex Joenaedi said...

mantap mas, mungkin film seri yang ada disalah satu tv swasta sekarang dari sini juga ya sumber referensinya

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: