Loading

Kau Tak Perlu Mencintaiku - Almino Situmorang

Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar.
Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.
 Tolong beri tahu aku nomor teleponnya. Siapa saja, seseorang di dunia ini yang tak punya masalah. Kenalkan aku padanya. Akan kuberikan dia medali.

Di kantor aku tak menemukannya.

Layla yang cantik sedang bergumul dengan kanker payudara.

Pak Bowo sedang setengah mati ketakutan akan diceraikan istrinya, karena penyakit selingkuhnya yang tidak kunjung sembuh.

Ibu Jim yang sedang sekarat karena narkoba, hidup segan mati tak mau.

Bortje dijauhi orang karena kabarnya mengidap AIDS. Malah, ia dicurigai AC/DC alias biseksual.

Farrah bertengkar melulu dengan suaminya dan terancam perceraian.

Jean yang punya suami kaya raya belum bisa punya anak.

Bosku, Pak Rudy, tak bisa menghentikan hobinya berjudi.

Takeda San, sang bos Jepang yang punya banyak istri, senang menghambur-hamburkan uangnya. Dan, itu selalu membuatnya mabuk. Karen sakit jiwa.
 
Karen tidak sakit jiwa, sebenarnya. Tapi, semua orang setuju bahwa dia sedang bermasalah. Entah apa. Tapi, dia selalu mencari masalah denganku. Mungkin, akulah masalah baginya. Dan, dia memang potensial untuk menjadi masalah bagiku, walau aku merasa tak ada yang perlu dipermasalahkan.

Entahlah, tapi akhir-akhir ini dia makin seperti orang sakit jiwa saat menghadapiku. Dia lebih senior, walaupun usiaku lebih tua. Dia cantik. Tetap cantik, walaupun tengah hamil. Hamilnya besar hingga dia yang dulunya model, tinggi dan langsing, kini bagaikan babon, king kong, gajah gemuk atau sebutlah raksasa. Dia lumayan cerdas dan pekerja yang bagus. Tapi, itu mulai berubah akhir-akhir ini. Dia selalu mencari gara-gara padaku. Sering marah-marah tanpa sebab yang jelas, dan bicara dengan pedas tentang soal-soal yang tak berhubungan dengan pekerjaan. Aku mencoba memaklumi, mungkin itu gejala penyakit ibu muda yang sedang hamil pertama. Kata orang, bisa jadi, kelak bila anaknya lahir akan mirip denganku. Jadi, kuabaikan keganjilan sikapnya itu.

Tapi, makin lama makin menjadi.

Banyak hal yang tidak masuk akal dan tidak edukatif serta tidak pantas diucapkan keluar dari mulutnya tanpa sebab yang jelas. Tapi, jelas-jelas ditujukan padaku. Tak ada angin, tak ada hujan. Kata-kata yang dilontarkannya tajam-tajam, sampai bisa untuk memotong semangka!

“Kamu sadar nggak, sebentar lagi kamu akan jadi satu-satunya perawan tua di kantor ini?”

Astaga! Seumur hidupku, baru pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu. Perawan tua? Aku baru 28 tahun, kok. Sebentar lagi 29, sih. Baru dua delapan? Baru? Entah kenapa, aku tak suka mendengarnya. Aku merasa ada yang sakit di dalam hatiku. Kusadari, di satu sisi dia benar. Tinggal aku yang belum menikah. Layla sedang bertunangan. Padahal, setelah Jean, aku lebih tua dari semua wanita di kantor ini. Tapi, aku kan tak menghendaki hal itu. Itu terjadi di luar kuasaku, bukan?

Tapi, aku menganggap dia ada benarnya. Rasanya, dia juga tak sengaja menyakiti perasaanku. Anggaplah itu bentuk perhatiannya padaku. Jadi, segera kulupakan. Atau, kalau dia memang sengaja, kumaafkan saja. Aku terlalu sibuk untuk marah.

Tapi, ketika aku memutuskan untuk diam, mulutnya malah makin beraksi. Sering sekali dia menyebut kedua kata itu: perawan dan tua. Yang lebih parah lagi, ia menyebutkan istilah baru lagi.

“Jangan-jangan kamu lesbian, Ra. Temen pria kamu kan banyak. Banyak pula yang mengejar-ngejar kamu. Tapi, kok, kamu cuek aja, sih?”

Saat itu aku ingin menamparnya. Tapi, untunglah, tidak jadi. Aku hanya yakin bahwa aku tidak seperti yang dia sebutkan. Kumaafkan. Anggap saja angin lalu.

Begitulah hidup. Semua orang punya masalah, disadari atau tidak, diakui atau ditutupi. Sedangkan aku? Masalahku apa? Mungkin hanya satu.

Taka.

Itulah yang terbesar. Letak kesalahannya adalah aku telanjur mencintainya dan belum bisa pindah ke lain hati. Padahal, kisah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Terus terang, aku mulai pusing. Mulai agak panik. Panik? Ya! Aku tak suka menghitung usiaku. Aku takut seperti Jean yang terlambat menikah dan sampai kini setengah mati mengusahakan punya anak. Aku takut seperti Farrah yang menyesal menikah dengan pria pilihannya sendiri. Padahal, dulu pria itu dianggapnya ideal sekali. Aku takut ini dan takut itu….

Aku juga selalu pusing jika Mama dan Papa mulai berbicara soal keinginan mereka memiliki cucu. Hanya aku yang sedang ditunggunya untuk mengabulkan keinginan itu.

Aku bingung dengan semua hubungan yang sudah dan sedang kucoba jalani. Ada Nathan, Yoel, Aba, Ferry, Ibem, dan yang lain. Tapi, rasanya, belum ada yang mampu merebut hatiku seperti Taka. Kehadiran mereka justru makin membuatku merindukan Taka. Bukannya aku tak membuka hati. Tapi, bersama dengan pria-pria yang baik itu malah membuatku merasa tidak nyaman, sehingga aku lebih memilih untuk menikmati kebebasanku dalam kesendirian.

Apa dari Taka yang begitu istimewa? Tidak banyak. Dia hanyalah pria keturunan petani buah dari sebuah kampung pedalaman Tokyo, masih jauh dari Hachioji, kampus almamaternya.

Jalan hidup kami berpapasan ketika aku mengikuti program pertukaran mahasiswa ke kampusnya, dan dia mendaftar sebagai salah seorang relawan bagi mahasiswa asing. Kebetulan, dia salah satu mahasiswa teladan. Tapi, bukan itu daya tarik utamanya, walaupun, aku sangat beruntung memiliki dia sebagai guru bahasa Jepang pribadi dan gratis!

Aku tidak berencana berjalan-jalan di negeri mantan penjajah itu. Mencari kekasih juga tidak. Bahkan, aku bertekad untuk tidak tertarik pada seorang pria pun keturunan penganut Shinto itu. Aku bahkan tiba di sana dengan berat hati. Berkali-kali kuyakinkan orang tuaku bahwa Tuhan akan menjagaku di negeri asing itu. Masa lalu keluarga kami membuat mereka berat melepas kepergianku, walau hanya satu tahun.

Aku tidak peduli padanya sejak pertama melihat ia menjemputku di Bandara Narita itu. Instingku berkata bahwa dia adalah orang yang memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Dan, meski hampir tiap hari dia menemaniku pergi, perlu berbulan-bulan untukku berjuang menyangkal pesona pria ini. Akhirnya, aku kalah. Terpanah Dewa Cupid. Tak berdaya mengelak.
 
Aku tak tahu apakah itu yang namanya jatuh cinta.

Serasa jatuh, tak berdaya. Semua mengalir begitu saja. Alami dan tanpa rekayasa.

Aku tak tahu apakah itu yang dikhawatirkan oleh kedua orang tuaku.

Ternyata, aku salah. Kami berdua salah. Sebab, sejauh apa pun kami berpisah, sejauh apa pun aku melarikan diri, biarpun samudra luas membatasi kami, aku terus membawa dia dalam hatiku. Aku belum bisa melepas segala kenangan tentangnya.

Hebat sekali dia, pesonanya. Dulu, kukira pertemuan kami beberapa tahun lalu di Bandara Narita adalah pertemuan terakhir, sekaligus menjadi akhir dari satu babak perjalanan hidup yang mungkin paling manis. Kupikir, setelah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, aku akan segera menemukan orang lain dan melupakan pria bernama Taka. Dia juga mengharapkan hal serupa, yang ditegaskannya dalam sorot mata yang dalam, tapi teduh dan penuh kasih, jabatan tangan, serta rangkulan erat, ketika dia berbisik semoga aku selalu bahagia. Sebab, bila aku bahagia, dia juga akan bahagia.

Selalu bahagia.

Aku setuju dan selalu mengusahakannya. Selalu bahagia, kapan, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun. Tapi, tampaknya tak semudah itu. Selalu bahagia? Maaf, ada yang bisa menjelaskan definisinya? Sebab, selama ini selalu bahagia tak ada artinya. Selalu dan bahagia, tanpa dia? Maaf sekali lagi, sampai kini aku belum berhasil memenuhi harapannya itu.

Kesepian. Itulah oleh-oleh yang masih tertinggal, yang kubawa pulang dari Negeri Sakura itu. Yang kian terasa mencekam, seiring debur ombak yang memantulkan kelap-kelip lampu dari Hard Rock Café, ditambah langit mengguntur, serta bunyi jangkrik-jangkrik nakal yang menyiuli turis-turis hampir telanjang, yang sedang melintas pulang.

Pulang.
 
Aku juga harus pulang ke masa kini. Tak mungkin pulang ke masa lalu.
Entah karena kesepian, tiba-tiba aku jadi sangat merindukan masa lalu itu. Merindukan Taka. Sangat. Teramat.

“Bagaimana weekend-nya? Ada kekasih baru atau masih berkumpul dengan teman-teman lesbi?”

Karen, dengan perutnya yang makin membesar, menaruh setumpuk berkas di mejaku, sambil mengucapkan kalimat yang tajam itu. Lesbi.

Huff. Kalau setumpuk berkas itu mendarat di kepalanya, bisa nggak, ya, dia menahan keseimbangan tubuhnya? Tapi, jangan. Kasihan si janin. Aku menimbang-nimbang.

“Karen,” tegur Jim yang sedang lewat, “your mouth sounds like hell.”
“I’m not talking to you,” sergah Karen.
Kubuka segera berkas-berkas itu.
“Karen, ini berkas yang minggu lalu, ‘kan?” ujarku. “Sudah beres, ada di meja Pak Rudy.”
Wajahnya menyemburat merah. “Semuanya?”
 
Aku mengangguk. Menatap lurus matanya yang tajam. Bagaimanapun, dia lebih senior.
Farrah mengedipkan mata padaku. “Dia kan belum hamil, Ren. Jadi, masih gesit mengerjakan setumpuk kerjaan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.”
“Belum punya pacar pula,” sambung Karen, yang sengaja membalikkan sindiran Farrah. “Tapi, lain kali lapor ke saya dulu, dong, sudah selesai atau belum. Jadi, saya bisa memonitor. Jangan langsung ke Pak Rudy. Bisa-bisa kredibilitas saya dipertanyakan.”
Memang kamu siapa? Memangnya kamu punya kredibilitas? Cuma menang senioritas dan perut buncit saja! Aku memaki dalam hati. Untunglah, lampu merah kecil di ujung boks teleponku berkedip-kedip.

Terdengar suara khas Layla.

“Mbak Rara, line satu dari orang Jepang. Maaf, namanya kurang jelas. Kawa atau siapalah.” Klik.

Kuangkat. “Moshi-moshi, Rara degozaimasu.” (Halo, di sini Rara.)

“Ogawa desu. Hisashiburi ne, Rara chan. Genki?” (Ini Ogawa. Lama tak bertemu, Rara, apa kabar?)
“Takaaa…,” seruku, membuat banyak kepala di ruangan ini menoleh.

Ikuti cerita selanjutnya....!!!


( Password : Novel I-One )



Reff. ac-zzz.blogspot.com


Artikel Terkait:

1 komentar:

May 31, 2013 at 10:44 PM Eka Ikhsanudin said...

bagus artikelnya kang... :)
apalagi ada bahasa Jepangnya xixiii... jdi sekalian belajar bahasa jepang hehee

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: