Loading

Pelangi Retak - Dewi Anjani


Pagi yang indah di Citra Persada.....
Ada selengkung pelangi yang mengantar keberangkatanku tadi. Jalanan juga tak seramai biasanya. Ah...pagi yang menyenangkan.
"Rien...kamu terlihat lebih segar pagi ini. Selamat ya!"
Sapaan bu Indah yang selalu ramah seperti biasanya. Heran juga, tiga bulan di sini aku tak pernah bisa menyainginya untuk tiba lebih awal di kantor.
Tapi apa tadi katanya? Selamat? Atas apa? Padahal kemarin aku sudah menyiapkan diri untuk menerima keluhannya atas hasil presentasiku yang kurang memuaskan. Ditambah lagi kemarin aku nggak masuk dengan alasan sakit, padahal aku menjenguk Hilma.
"Makasih, bu..." sahutku masih dalam ketidakmengertian.
"Sudah sehat, ya?"
"Ee... iya. Alhamdulillah. Tapi...selamat untuk apa, Bu?"
"Hm...masa sih belum tahu? Presentasimu kemarin berhasil meyakinkan pihak Mitra Mandiri dan mereka menyetujui kontrak kerja dengan kita. Semua design program, testing dan controling intern ekstern mereka percayakan ke kita. Dan ini... adalah proyek besar yang harus kamu tangani sungguh-sungguh. Ibu sudah memilihmu sebagai pimpinan konseptornya. Untuk aplication software yang tidak bisa kita buat sendiri bisa ibu carikan dari luar. Yang penting, sekarang kamu siapkan energi sebanyak-banyaknya untuk proyek ini."
"Mm...kenapa harus saya, Bu?"
"Karena Ibu tahu kamu mampu. Jangan panik gitu dong! Be Confidence! Kamu masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Proyek ini baru akan mulai satu bulan lagi."
"Satu bulan lagi?"
"Iya. Delegasi Mitra Mandiri yang menangani proyek ini masih mengurusi saudaranya yang sakit. Lagipula anak perusahaan yang akan kita tangani itu baru bisa beroperasi sekitar satu tahun ke depan. Oh ya, sudah tahu orangnya belum? Nanti kamu akan banyak bekerja sama dengannya."
Aku hanya menggeleng meski sebuah nama sudah melintas di otakku.
"Janindra Setiawan. Biasa dipanggil Pak Indra."
Deg! Kerongkonganku tercekat. Dugaanku tepat. Nama itulah yang tadi melintas di pikiranku. Makanya, laki-laki itu begitu yakin bahwa kami akan bertemu lagi dalam proyek selanjutnya. Ah..., sebuah tantangan baru menghadang jalanku.
Ya, Tuhan... bantu aku menstabilkan emosi... Jangan hanya karena ini aku akan punya pikiran untuk meninggalkan Citra Persada.

*****

Akhir pekan.
Aku berharap pekerjaanku tak terlalu banyak hari ini. Agar aku bisa pulang lebih awal dan menjenguk Hilma di rumah sakit. Sudah empat hari aku tak tahu keadaannya.
Aku baru akan memulai pekerjaan ketika Siemens-ku berdering. Kutatap sejenak nama yang terpampang di layar mungil itu. Mas Indra? Ada apa dia meneleponku sepagi ini? Tentang Hilmakah? Atau tentang proyek itu?
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikum salam... Li! Kamu bisa ke rumah sakit sekarang juga? Hilma mencoba bunuh diri. Dia butuh kamu saat ini. Emosinya sangat labil."
"Hah? Bunuh diri?" darahku terkesiap. Inikah arti dari diamnya kemarin? Hilma...kenapa kau berubah sejauh ini?
"Li, bisa kan? Biar aku yang minta izin ke Bu Indah. Akan kukatakan bahwa ini ada hubungannya dengan proyek kita."
Nah, benar kan? Mas Indra sampai bela-belain menunda proyek ini demi Hilma. Ada apa sebenarnya dengan mereka?
"Ng...nggak usah, Mas. Kukira Mas Indra nggak perlu berbohong. Biar aku sendiri yang minta izin, " Tukasku cepat. Untuk apa pula dia membohongi atasanku? Bodoh! Kenapa pula aku tadi memanggilnya dengan sebutan mas bukan bapak. Ini kan kantor dan sekarang dia adalah mitra kerjaku.
"Yakin? Ya sudah, kalo gitu. Aku tunggu di rumah sakit."
Klik. Telepon terputus setelah terdengar ucapan salam. Aku hanya bisa menarik nafas berat. Lalu melangkah gontai ke ruangan bu Indah.
"Permisi, Bu..."
"Eh, Rien. Masuk! Ada apa?"
"Sa...saya mau minta izin, Bu..." entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Ada segumpal perasaan tak enak di hatiku. Kemarin aku sudah nggak masuk. Sekarang minta izin pulang lebih awal... mana tanggung jawabku?
"Kenapa, Rien? Wajahmu pucat. Kamu sakit lagi?"
Aku menggeleng. Tapi wanita anggun itu memang punya empati yang cukup besar pada siapapun.
"Seharusnya kamu istirahat dulu di rumah. Sebelum benar-benar pulih kamu bisa izin. Mungkin badanmu terlalu lelah karena persiapan presentasi kemarin. Sudahlah, kesehatanmu jauh lebih penting. Sekarang, ibu izinkan kamu pulang. Segera ke dokter dan istirahat sebanyak mungkin. Makan yang bergizi. Oh ya, satu lagi... tenangkan pikiran!"
Duh, bu Indah...aku sampai bingung bagaimana caranya berterima kasih. Hanya hatiku yang tiada henti mengucapkan syukur bisa memiliki atasan sebaik dia. Sebenarnya aku ingin menjelaskan hal yang sebenarnya tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat...
Aku segera beranjak dari ruangan bu Indah. Tujuanku sekarang adalah rumah sakit!

*****

Kamar Hilma kosong. Apa dia dipindahkan ya? Mas Indra juga tidak kelihatan. Ponselnya tidak aktif.
"Sus, kok pasien di kamar ini nggak ada ya? Apa dia dipindahkan?" tanyaku pada seorang perawat yang kebetulan lewat di depan kamar Hilma.
"Oh, mbak Hilma... lho, Mbak ini siapa ya? Mbak Hilma kan sudah dibawa pulang?" seru suster itu heran mendengar pertanyaanku. Aku ikut-ikutan heran mendengar jawabannya.
"Dibawa pulang? Apa dia sudah sembuh? Kapan dibawa pulang?"
"Baru sekitar sejam yang lalu, Mbak. Belum sembuh total tapi menurut dokter...sebenarnya fisiknya sudah sembuh. Dia hanya mengalami depresi. Jadi, dokter menyarankan agar mbak Hilma ditangani psikiater." Takut-takut perawat itu melontarkan penjelasannya.
"Berapa lama dia dirawat di sini, Sus?"
"Mm...kira-kira dua puluh hari, mbak."
Dua puluh hari? Selama itukah? Kenapa Mas Indra baru menghubungiku empat hari yang lalu?
"Hm.. Sus, maaf, ini pertanyaan terakhir... Selama di sini, siapa saja yang sering menjenguknya?"
"Mm... sepertinya nggak ada, Mbak. Selama di sini hanya ada seorang laki-laki yang katanya kakak sepupunya. Laki-laki itulah yang selalu menemaninya saat dia di sini."
Oohh... terjawablah sudah kebingunganku. Tapi aku tetap tak boleh mengambil keputusan karena emosi sesaat. Mungkin Mas Indra melakukannya karena kasihan. Hilma kan tidak punya saudara di sini. Mungkin juga, karena mereka memang punya hubungan khusus...

Pagi terasa begitu dingin ketika pelan-pelan kubuka jendela kamar. Tak seperti biasanya. Entah karena memang udara yang dingin atau justru hatiku yang dingin. Saat ini aku tak hanya merasa kehilangan, tapi juga kecewa. Hilma. Dia pergi entah ke mana. Ponsel Mas Indra juga nggak pernah aktif sejak kemarin. Aneh.
Aku merasa dibohongi oleh mereka. Sahabatku sendiri. Tapi aku masih berharap suatu saat akan menemukan mereka. Setidaknya ada banyak misteri yang terus menderaku dalam rantai belenggu tanda tanya.
"Kriing..."
Lamunanku terhenti ketika bel pintu depan berbunyi. Ada seseorang yang datang. Entah siapa. Tapi suara bel itu justru mengingatkanku untuk segera mandi dan bergegas ke kantor.
"Rien...! Ada kiriman untukmu!" teriak Rita. Teman sebelah kamarku yang biasanya rajin menjadi penerima tamu.
"Dari siapa, Ta?" tanyaku penasaran.
"Kata pak posnya, si pengirim nggak mau menyebutkan namanya. Di bingkisan ini juga tidak ada tulisannya..."
"Lho, kok? Memangnya kamu udah nanya ke pak posnya?"
"Iya, dong. Kamu kan jarang dapat kiriman. Jadi wajar kalo aku penasaran..."
Rita nyengir melihat aku mengernyitkan alis. Tangannya menyerahkan bingkisan itu ke arahku. Sebuah kotak bersampul putih. Terikat pita berwarna merah jambu dan sekuntum mawar kuncup di ujungnya. Elegan. Pasti pengirimnya adalah orang yang romantis. Tapi siapa? Dalam rangka apa? Aku tidak punya pacar...
Di dalam kamar, kubuka kotak itu perlahan. Sebuah kue tart berwarna putih bersih dengan ornamen berbentuk benang terpilin. Kue itu dikelilingi tumpukan mahkota mawar berwarna senada. Sehelai kartu ucapan berwarna merah jambu terselip di antara tumpukan mahkota mawar itu.

Selamat Ulang Tahun
Semoga kau tak pernah lupa pada hari kelahiranmu hingga terus dapat berpikir tentang hari kematianmu...

Deg! Darahku seperti berhenti mengalir. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kulirik kalender meja yang terletak di sisi pembaringan. Hari ulang tahunku? Ah, ya. Hari ini usiaku tepat dua puluh lima tahun. Hampir saja aku melupakannya kalau saja bingkisan itu tidak pernah datang...
Lagipula buat apa diingat. Momen itu hanya tahun-tahun yang berulang, tapi...
Hari kematian? Bukankah itu satu-satunya kepastian dalam kehidupan. Selain kematian, semuanya hanyalah jalinan dari begitu banyak benang kemungkinan yang kadang terpintal tak karuan. Begitu rumit menguraikannya. Bayangan ibu, Hilma, Mas Indra, Bu Indah, Pak Aan dan beberapa orang yang akhir-akhir ini menyapa hari-hariku melintas satu persatu di layar pikiranku. Laksana pemutaran slide yang telah terprogram secara otomatis...
Tubuhku lemas seketika. Semangatku untuk berangkat ke kantor menghilang tiba-tiba.

*****

Bingkisan tanpa nama pengirim itu membuatku menyadari banyak hal. Begitu banyak kejadian tak terduga yang kualami akhir-akhir ini. Semuanya menyita perhatianku. Hingga sering kali aku lalai mengingat kematian. Aku tak lagi berpikir apa tujuan sesungguhnya dari hidup yang melelahkan ini. Kusadari, banyak hal yang kulakukan tanpa tujuan. Hanya menuruti ke mana emosiku meminta kepuasan.
Sepotong kalimat dalam bingkisan itu memaksaku menelusuri kembali kejadian demi kejadian yang kulalui...
Lili kecil adalah gadis mungil yang lincah, murah senyum namun suka menjahili orang. Dia menjalani kesederhanaan hidupnya dengan riang. Tanpa perlu mengerti beragam masalah yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan dalam lingkungan keluarganya. Yang dia tahu hanyalah sosok ibu yang tegar membesarkannya seorang diri. Dia juga tak pernah merasa kekurangan kasih sayang meski tak mengenal sosok ayah seperti teman-temannya. Harapan kecilnya yang sederhana adalah bisa menjadi seperti kuntum bunga Lili yang tumbuh subur di bawah jendela kamarnya. Tetap tersenyum dan selalu merekah menyambut kejora yang berganti pelangi pagi. Dia ingin seperti daun-daun bunga Lili yang tumbuh rimbun. Kelihatan lemah namun tak mudah tercabut meski oleh terpaan banjir sekalipun...
Lili remaja adalah seorang gadis yang enerjik. Dan kemampuan berpikirnya yang mulai mengalami dinamisasi memaksanya untuk belajar menghadapi badai. Membantu ibunya mencari nafkah dan tetap giat belajar. Dia tak ingin terkalahkan oleh apapun dan siapapun. Dan itu membawanya ke puncak prestasi. Namun, Lili remaja ternyata gagal meraih cintanya. Saat itu dia mulai kehilangan impian kecilnya. Dan terobsesi untuk mengubah apapun yang pernah menjadi masa lalunya. Dia bertekad untuk menjadi wanita berpendidikan tinggi, memiliki karir yang sukses dan tidak pernah bergantung pada siapapun, termasuk pada seorang lelaki.
Akhirnya gadis itu meraih pendidikan tinggi meski tanpa dukungan sedikitpun dari sang ibu. Wanita bijak yang sangat dihormatinya masih berpikir bahwa tempat seorang wanita hanyalah di dapur, kasur dan sumur. Ah, sesuatu yang sangat kolot bagi Lili. Bahkan, wanita yang sangat dicintainya pun tak pernah mau menghadiri event terbesar dalam hidupnya, tak mau mendampinginya saat wisuda sarjana. Kecewa memang. Tapi hal itu tak pernah membuat Lili mengurangi cintanya sedikitpun terhadap wanita yang mulai renta itu.

Baca Cerita Selanjutnya......!!!



( Password : Novel I-One )






Artikel Terkait:

5 komentar:

March 8, 2013 at 10:52 AM penyuluh perikanan said...

Berkunjung untuk sahabatku, selamat siang dan selamat beraktifitas

March 8, 2013 at 3:59 PM What Shares said...

wadah puitis sekali kang tulisannya ini. terlalu tinggi tulisan artikelnya, jd gk ngerti. hehehe

March 9, 2013 at 6:43 PM Motamatika said...

Ijin download untuk baca2 di kos :D
Makasih sob :)

September 1, 2018 at 8:23 PM Unknown said...

Saya sudah hampir lupa pernah menulis ini, dulu novel ini mengudara saat dunia sosmed masih tertutup. Baru nyoba googling judulnya hari ini trnyata sdh banyak yg menerbitkan lewat pdf. Semoga bermanfaat bagi pembacanya.

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: