Loading

Cahaya Bintang - Bios





Di tengah hamparan rumput yang luas, seorang pemuda tampak asyik terlentang di atas jok sepeda motornya. Kedua matanya yang bening tampak memandang ke langit lepas, memperhatikan pesona malam yang begitu indah. Saat itu, ribuan bintang yang dilihatnya seolah menghibur, memberi ketenangan pada hatinya yang lara. Dalam renungannya dia tak mengerti, kenapa gadis yang begitu dicintainya lebih memilih pemuda lain? Padahal dia sendiri begitu tampan, bahkan sifatnya pun penuh dengan kasih sayang. 




“Duhai bintang yang gemerlap, duhai malam yang menyelimutiku. Kalian adalah teman sejatiku, yang senantiasa menemaniku di dalam keresahan ini. Ketahuilah... Hatiku hancur berkeping-keping ketika dia mengatakan tak bisa bersamaku. Saat itu juga harapanku punah seketika, berganti dengan segala penderitaan yang amat sangat. Kini aku tak punya gairah untuk hidup, sepertinya kehidupanku ke depan akan selalu dipenuhi dengan segala kesepian yang kian hari memang sudah terasa sepinya.

Kini pemuda itu teringat kembali dengan gadis pujaannya, betapa dia tak mungkin sanggup jika hidup tanpanya. Tiba-tiba saja, ingatan pemuda itu buyar seketika lantaran deru motor yang kian bertambah dekat. Dilihatnya sorot lampu yang menyilaukan terus melaju, menuju ke tempatnya berada. Namun pemuda itu mencoba tak mempedulikannya, dalam hati dia sudah bertekad, siapa pun yang datang tidak akan membuatnya bergeming dari posisinya sekarang, yang kini sedang asyik merenung dan mengadu pada malam berbintang. Kini pemuda itu sudah tak mendengar lagi deru motor yang semula mengganggunya, bahkan ingatan sudah kembali tertuju ke berbagai peristiwa yang kian membuatnya bertambah sedih.

“Malam yang indah ya?” ucap seorang gadis tiba-tiba.

Seketika pemuda itu menoleh, memperhatikan seorang gadis yang kini duduk bersantai di atas sepeda motornya seraya terus memandangnya. Wajah gadis itu tak kelihatan jelas, hanya berupa siluet yang disebabkan oleh efek sinar rembulan. Kini pandangan gadis itu sudah beralih ke langit lepas, memperhatikan keindahan gemerlap bintang yang bercahaya.
“Aku sungguh tidak menduga, ternyata ada juga manusia yang berprilaku sama sepertiku,” kata gadis itu lagi.

Saat itu, pemuda yang bernama Bobby tidak mempedulikan kata-katanya, dia malah memalingkan pandangannya pada bintang-bintang seperti semula.

“Kau sedang ada masalah?” tanya gadis itu padanya.
Bobby tidak menjawab, dalam hati dia sempat bertanya-tanya, ”Emm... Apa sebenarnya keperluan gadis itu datang ke mari? Apakah dia juga sedang sedih dan mengadu pada malam berbintang?”

“Kau salah, aku memang sedang sedih. Namun aku tidak mengadu pada malam berbintang, melainkan pada Tuhan yang menciptakannya,” jawab gadis itu tiba-tiba. Bobby terkejut mengetahui gadis itu menjawab apa yang ada di pikirannya, “Ka-kau bisa membaca pikiranku?” tanyanya tergagap. 

“Entahlah, aku juga tidak tahu? Kenapa tiba-tiba aku ingin bicara seperti itu,” jawab gadis itu lagi.
“Hmm... Siapa sebenarnya dia?” Tanya Bobby dalam hati. “Eng… Ja-jangan-jangan...”
“Kau tidak perlu takut!” pinta gadis itu tiba-tiba, kemudian dia melanjutkan kata-katanya. “Aku ini juga manusia sepertimu, hanya jenis kelamin kita saja yang berbeda.”

Lagi-lagi Bobby terkejut, sebab gadis itu kembali mengetahui apa yang ada di benaknya. Namun karena gadis itu mengatakan kalau dia tidak perlu takut, akhirnya dia berani untuk tidak mempedulikannya. “Hmm… Biarpun gadis itu hantu atau dedemit, pastilah dia itu hantu atau dedemit yang baik hati. Tapi... Apa iya ada hantu atau dedemit yang sedih dan mengadu pada Tuhan? Tuhan...???” tiba-tiba  Bobby tersentak menyadari sesuatu. “Ya, pantas saja selama aku tidak pernah mendapat jawaban. Sungguh aku telah salah memilih tempat mengadu. Padahal, sejak kecil aku sudah dikenalkan perihal Tuhan, namun entah kenapa Tuhan selalu aku nomor dua kan. Sejak kecil aku juga sudah diajarkan ilmu agama, namun entah kenapa ilmu yang kudapat itu selalu kupandang dengan sebelah mata. Apakah semua ini karena pengaruh lingkungan yang senantiasa mempengaruhiku dengan berbagai ajaran materialistis sehingga nilai spiritual menjadi aku kesampingkan?“ Tanya Bobby tersadar. 

Kini Bobby teringat kembali akan bayang-bayang gadis yang begitu dicintainya. Parasnya cantik dan begitu manis. Tubuhnya pun tampak indah dan menggugah selera. “Ya Tuhan, kenapa aku selalu memikirkannya. Apakah aku memang sudah begitu terobsesi dan sulit untuk keluar dari jerat cinta yang begitu mendalam. Cinta... Terdengar manis dan membahagiakan. Itulah yang selalu kubayangkan bersama gadis yang begitu aku cintai, aku bahagia bersamanya di dalam kesepian yang memang selalu hadir. Bahkan di dalam anganku dia selalu memanjakanku dengan segala kasih sayangnya, kemudian membelaiku dengan begitu mesra. Padahal pada kenyataannya, dia itu sudah menjadi kekasih orang. Ya Tuhan, sungguh aku tak sanggup lagi hidup tanpanya?”

Kini pemuda itu terbayang kembali dengan narkoba yang dulu pernah menjadi sahabat setianya. Dia sempat berpikir untuk menggunakannya kembali, dengan alasan untuk mengembalikan gairahnya yang kini terkubur.

“Jangan biarkan dirimu termakan oleh godaan setan yang senantiasa hadir di benakmu. Betapa setan sangat menginginkanmu untuk selalu murung dan terus merana. Dan jika kau sampai menggunakan benda laknat itu sebagai jalan keluar, maka setan akan bersorak di atas penderitaanmu,” kata gadis yang sejak tadi selalu berhasil membaca pikiran Bobby.

Mendengar itu, Bobby langsung tersadar. Semua itu memang sebuah bisikan sesat yang akan membawanya kembali menggunakan barang haram itu. Untuk sementara Bobby bisa menyingkirkan pikiran sesat yang semula begitu menggebu-gebu. Namun tak lama kemudian keinginan itu sudah kembali lagi, dia benar-benar sulit menahan sugesti yang sudah sekian lama mendarah-daging.

“Menyesallah kalau kau pernah menggunakan barang haram itu, dan berdoalah kepada Tuhan agar kau segera dijauhkan dari pikiran sesat yang terus menghantuimu!” kata gadis itu kembali memperingati.

Bobby pun segera menurut, hingga akhirnya pikiran itu kembali lenyap dan berganti dengan pikiran yang lain. Saat itu di benaknya ada sebuah harapan yang begitu gemilang. Bahkan dia sempat terperanjat ketika hal itu mampu membuka pintu hatinya, dan hal itulah yang membuatnya ingin terus bertahan hidup. Sebuah keinginan untuk menjadi manusia yang menjalankan misinya dengan penuh keridhaan Illahi.


Ikuti Cerita Selanjutnya ....!!!
( Password : Novel I-One )
Reff. ac-zzz.blogspot.com

Miss Pesimis - Alia Zalea

 
Aku berlari secepat mungkin mengejar pintu lift yang terbuka. Aku sadar sepatuku yang berhak lima sentimeter itu menghalangiku berlari. Tanpa pikir panjang, kulepaskan sepatu itu dan berlari di atas lantai marmer hitam tanpa alas kaki sambil berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset. Huuup! Aku menarik napas panjang ketika pintu lift tertutup denganku di dalamnya. Aku akan menekan tombol lantai 12, tapi ternyata tombol itu sudah menyala, menandakan bahwa satu satunya orang yang berada di dalam lift bersamaku juga menuju lantai yang sama.


Dengan terburu-buru aku membersihkan kedua telapak kakiku yang tertutup stoking berwarna kulit dengan telapak tangan. Setelah yakin tidak ada pasir yang menempel, kukenakan sepatuku kembali. Tanpa menghiraukan teman seliftku, aku menghadap salah satu cermin yang mengelilingi tiga sisi lift tersebut dan menyapukan lipgloss pink di bibirku. Kupastikan warna bibirku sudah rata sebelum mengalihkan perhatian pada rambutku yang hari itu dikucir kuda. Untung saja karet yang kugunakan cukup kuat untuk menahan rambutku yang sepunggung, sehingga aku tidak perlu mengaturnya kembali. Selanjutnya, kukeluarkan selembar tisu basah dan mengusapkannya pada kedua telapak tanganku sebelum melempar tisu bekas pakai kembali ke dalam tas. Langkah terakhir adalah menyemprotkan sedikit parfum pada pergelangan tanganku bagian dalam dan mengusapnya ke leher. Puas dengan penampilanku, aku lalu berdiri tegak dan menunggu hingga pintu lift terbuka.

Saat itu aku baru sadar bahwa satu-satunya orang yang berada di dalam lift bersamaku adalah laki-laki. Seharusnya aku tidak kaget, karena sewaktu memasuki lift aku bisa mencium aroma Hugo Boss. Tetapi, tetap saja aku sedikit tekrejut karena setelah mengalihkan pandanganku dari sepatu, celana panjang, dan kemejanya yang jelas-jelas tidak dibeli di Carrefour itu, ternyata wajah laki-laki tersebut terlihat seperti salah satu dewa Yunani. Ganteng abisss. Lebih tepatnya, dewa Yunani yang superganteng dan tampak agak jengkel. Ada kerutan di antara alisnya, sementara bibirnya tertutup rapat dan ujungnya tertarik ke bawah. Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi untuk meringankan suasana aku berkata, “Sori, ini hari pertama saya kerja, dan saya agak terlambat.”

Aku yang tinggal di Amerika hampir separoh hidupku, masih harus membiasakan diri dengan keadaan jalan-jalan di Jakarta yang superpadat dan tidak pernah bisa ditebak. Belum lagi aku masih agak kagok karena harus membawa mobil di sisi yang berlawanan daripada di Amerika. Di Jakarta ini aku terpaksa menyetir mobil sendiri, padahal aku lebih terbiasa naik Metro, yaitu sistem kereta api bawah tanah di Washington, D.C., tempatku bermukim semenjak aku SMA.

Laki-laki itu tidak bereaksi. Dia justru memandangiku sambil mengangkat salah satu alis sebelum kemudian mengalihkan perhatiannya pada pintu lift. Aku hanya menarik napas melihat tingkah lakunya. Setidak-tidaknya aku tidak perlu bertemu dengannya lagi setelah aku keluar dari lift ini, ucapku dalam hati.

BERAPA kali sebetulnya orang bisa bikin malu diri sendiri dalam satu hari? Selama ini aku menyangka bahwa satu kali sudah cukup. Dua kali kalau memang lagi sial. Tapi hari ini aku memecahkan rekor dengan melakukannya tiga kali.

Ketika pintu lift terbuka pada lantai 12, laki-laki itu melangkahkan kakinya keluar dari lift bersamaan denganku. Aku mencoba melewatinya dan berjalan secepat mungkin menuju pintu masuk Good Life yang terbuat dari kaca dengan logo Good Life berwarna putih. Jam di tanganku menunjukkan pukul 09.55. Aku dminta duduk di lobi bersama-sama dengan beberapa eksekutif muda lainnya yang sedang menunggu. Aku menemukan tempat duduk di sebelah seorang wanita yang sedang membaca majalah Times dengan sampul Donald Trump. Ketika dia mengangkat wajah, aku memberinya senyuman, namun dia tidak membalas senyum itu.

Bitch!!! Apa ibunya tidak pernah mengajarinya untuk membalas senyuman yang diberikan dengan tulus? omelku dalam hati. Tak lama setelah itu aku melihat laki-laki di lift itu memasuki pintu kaca yang tadi kulewati dan berbicara dengan resepsionis yang kemudian juga memintanya untuk menunggu di lobi. Ya ampuuunnn!!! Aku yakin sebentar lagi wajahku memerah karena detak jantungku tiba-tiba melonjak. Aku mencoba sebisa mungkin untuk tidak menatap ke arah laki-laki itu.

Tepat pukul 10.00, seorang bule, yang kemudian kukenal sebagai bosku, Mr. Patrick Morris, datang ke lobi dan mempersilakan kami memasuki ruang pertemuan berukuran superbesar. Aku memilih duduk di kursi yang paling jauh dari pintu masuk dan meletakkan tasku yang mulai terasa berat di bahuku. Ruangan ini dipenuhi foto berukuran besar beberapa produk yang diproduksi dan didistribusi oleh Good Life, seperti sampo, sabun mandi, sabun pencuci baju, dan lain-lain. Pada dasarnya Good Life adalah saingat terbesar Unilever di Asia-Pasifik, tetapi lain dengan Unilever yang berasal dari Inggris, kantor pusat Good Life ada di Amerika, tepatnya di Cincinnati, Ohio.

“Okay, everyone, make yourself comfortable, and please do take some of those delicious snacks and drinks,” kata bule itu mempersilakan kami semua untuk bersikap santai dan mengambil kudapan.

Aku bangkit dari duduk dan melangkahkan kakiku menuju meja yang menyediakan makanan kecil. Ketika aku sedang menuangkan kopi tanpa kafein ke dalam cangkir yang disediakan tanpa disangka-sangka laki-laki di lift tadi berdiri di sampingku, menunggu hingga aku selesai dengan termos kopi itu. Setelah mengambil sendok kecil, dua paket gula, dan dua paket krimer, aku pun kembali menuju tempat dudukku. Sambil pelan-pelan meminum kopiku, aku mulai memperhatikan semua orang di sekitarku. Dapat kulihat bahwa setiap orang terlihat lebih tua dariku setidak-tidaknya lima tahun, kecuali laki-laki yang kutemui di lift tadi. Kelihatannya dia sepantaran denganku. Konsentrasiku buyar ketika suara Mr. Morris terdengar lagi.

Ikuti cerita selanjutnya.....!!!


( Password : Novel I-One )



Reff. www.ac-zzz.tk
 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: