Bagai angin puyuh, tujuh atau delapan bocah laki-laki berlari melintasi ladang. Mereka mengayun-ayunkan tongkat ke hamparan kembang sesawi berwarna kuning dan kembang lobak berwarna putih bersih untuk mencari tawon-tawon dengan kantong madu, yang biasa disebut tawon Korea. Anak Yaemon, Hiyoshi, baru berusia enam tahun, tapi wajahnya yang berkerut-kerut tampak seperti buah prem yang diasamkan. Ia lebih kecil dibandingkan anak-anak lainnya, namun sifatnya yang ugal-ugalan dan liar tak tertandingi.
"Bodoh!" ia berseru ketika jatuh terdorong oleh anak yang lebih besar, saat mereka memperebutkan seekor tawon. Sebelum sempat bangun, ia terinjak oleh anak lain. Hiyoshi menjegal kaki anak itu.
"Tawon itu milik siapa saja yang bisa menangkapnya! Kalau kau bisa menangkapnya, tawon itu jadi milikmu!" katanya sambil melompat berdiri dan menangkap seekor tawon yang sedang terbang. "Yow! Yang ini milikku!"
Dengan tangan terkepal, Hiyoshi maju sepuluh langkah, kemudian membuka kepalannya. Ia membuang kepala dan kedua sayap tawon yang ditangkapnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Perut tawon itu penuh madu manis. Anak-anak itu, yang tak pernah mengenal gula, betul-betul takjub bahwa ada sesuatu yang begitu manis. Sambil setengah memejamkan mata, Hiyoshi membiarkan madu itu mengalir ke kerongkongannya, lalu mengecap-ngecapkan bibir.
Anak-anak lain hanya bisa menonton.
"Monyet!" seru seorang bocah besar yang dijuluki Ni'o, satu-satunya yang tak dapat diimbangi oleh Hiyoshi. Karena mengetahui hal ini, yang lainnya ikut-ikutan.
"Babon!"
"Monyet!"
"Monyet, monyet, monyet!" mereka mengejek.
Bahkan Ofuku, bocah yang bertubuh paling kecil, ikut bergabung. Meski usianya sekitar delapan tahun, ia hanya sedikit lebih besar dari Hiyoshi yang berumur enam tahun.
Tapi penampilannya berbeda jauh; kulitnya putih, dan mata serta hidungnya menempati posisi yang pantas di wajahnya. Sebagai putra warga desa yang kaya, Ofuku-lah satu-satunya yang mengenakan kimono sutra. Nama sebenarnya mungkin Fukutaro atau Fukumatsu, namun namanya telah disingkat dan diberi awalan o, seperti kebiasaan di antara putra-putra orang berada.
"Kau selalu ikut-ikutan!" ujar Hiyoshi sambil melotot ke arah Ofuku. Ia tak peduli dipanggil monyet oleh yang lain, tapi dengan Ofuku masalahnya sedikit berbeda. "Kau sudah lupa bahwa akulah yang selalu membelamu, dasar pengecut!"
Diingatkan seperti itu, Ofuku tak bisa berkata apa-apa. Keberaniannya mendadak lenyap, dan ia menggigit-gigit kukunya. Meski masih kanakkanak, dituduh tidak tahu terima kasih membuatnya lebih malu daripada dimaki sebagai pengecut. Yang lainnya mengalihkan pandangan, perhatian mereka berpindah dari tawon madu ke awan debu kuning yang terlihat di
seberang ladang-ladang.
"Lihat, ada pasukan!" salah seorang bocah berteriak.
"Samurai!" anak lain berkata. "Mereka baru pulang perang."
Semua anak melambaikan tangan dan bersorak-sorai.
Penguasa Owari, Oda Nobuhide, dan tetangganya, Imagawa Yoshimoto, merupakan musuh bebuyutan. Situasi ini menimbulkan pertempuran-pertempuran kecil yang tak ada habisnya di sepanjang perbatasan. Suatu ketika, pasukan Imagawa menyeberangi perbatasan, membakar desa-desa, dan menghancurkan hasil panen. Pasukan Oda keluar dari benteng-benteng di Nagoya dan Kiyosu, menyergap pasukan musuh dan membantai mereka sampai ke orang terakhir. Pada musim dingin berikutnya, baik pangan maupun tempat berteduh tidak tersedia dalam jumlah mencukupi, tapi rakyat tidak menyalahkan penguasa mereka. Kalau mereka harus kelaparan, mereka menanggungnya; kalau mereka harus kedinginan, mereka menanggungnya juga. Berlawanan dengan perkiraan Yoshimoto, penderitaan mereka justru mempertebal kebencian mereka terhadapnya.
Anak-anak itu telah melihat dan mendengar hal-hal seperti itu sejak mereka lahir. Ketika melihat pasukan penguasa mereka, mereka seperti melihat diri sendiri. Tak ada yang lebih mengasyikkan bagi mereka daripada melihat prajurit-prajurit bersenjata lengkap.
"Ayo, kita tonton mereka!"
Anak-anak itu bergegas ke arah para serdadu, kecuali Ofuku dan Hiyoshi yang masih saling memelototi. Ofuku, si pengecut, sebenarnya ingin ikut dengan yang lain, namun tatapan Hiyoshi memaksanya untuk tetap di tempat.
0 komentar:
Post a Comment