Pada hari Raya Imlek atau Tahun Baru China, akan terdengar ucapan Selamat Tahun Baru di mana-mana. Selamat Tahun Baru dalam bahasa Mandarin diucapkan Guo Nian Hao. Sejak pagi-pagi orang sudah mulai Bai Nian, yakni pergi saling mengunjungi dan saling mengucapkan Gua Nian Hao. Pertama-tama mereka akan berkunjung ke kerabat dekat, kemudian relasi dekat, dan kemudian ke segenap handai tolan yang mereka kenal dan dapat mereka kunjungi. Mengapa mereka saling mengucapkan Guo Nian Hao, apa alasannya, dan dari mana asalnya serta kapan mulainya?
Pada zaman dahulu kala di negeri China ada sebuah desa yang sangat indah, aman, serta tenteram. Penduduk di desa itu sangat ramah, suka menolong, saling menghormati, dan bersama-sama mereka hendak membuat desa itu makmur dan damai. Karena itu, desa tersebut dikenal sebagai Desa Cinta Damai, penuh berkat dan bahagia. Penduduk desa yang harus bekerja di negeri yang jauh, selalu rindu pulang ke desanya dan menikmati damai bersama penduduk desa lainnya. Desa itu juga menjadi desa teladan, sehingga desa-desa tetangga ingin membangun desa mereka seperti Desa Cinta Damai. Tak pernah ada pencuri, tak pernah ditemui ada pengacau, bahkan yang luar biasa, tak pernah terjadi keributan antar tetangga.
Ketika membaca kisah ini dalam berbagai versi, saya kira mirip dengan negeriku Indonesia pada zaman dahulu. Saya masih ingat lirik sebuah lagu yang menggambarkan hal itu "... mereka saling menghargai, saling menghormati hak asasi; mereka bernaung di bawah pusaka Garuda Pancasila dan Sang Saka Merah Putih lambang Indonesia". Ketentraman dan kedamaian Desa Cinta Damai suatu saat terusik. Dan, sejak saat itu Desa Cinta Damai berubah menjadi desa yang mencekam dan menakutkan. Hal itu membuat penduduk mulai meninggalkan Desa Cinta Damai, khususnya malam menjelang Tahun Baru China. Penyebabnya adalah seekor makhluk bernama Nian.
Pada kalender China bulan dua belas tanggal tiga puluh malam, makhluk raksasa itu selalu datang ke desa itu. Setiap kali datang, Nian selalu merusak ladang dan memakan tanaman, merusak kandang serta memakan hewan-hewan peliharaan. Penduduk desa telah berusaha keras untuk mencegah datangnya Nian pada setiap malam Tahun Baru China; dan ketika Nian datang, mereka sudah berusaha untuk mengusir dan menghalaunya. Walau Nian hanya datang semalam, dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Seisi desa porak-poranda. Keberingasan, kesadisan, serta kebrutalan Nian membuat penduduk ketakutan, bahkan menjadi trauma. Bayangkan, sawah, ladang, serta pemukiman menjadi berantakan. Burung-burung di pohon pun berkurang drastis, bunga rumput dan ilalang pun makin lama makin sedikit. Tahun demi tahun keadaan makin memprihatinkan. Desa yang aman dan tenteram itu berubah menjadi desa yang menakutkan dan memprihatinkan. Desa yang selalu ingin dikunjungi oleh penduduk dari desa-desa tetangga, berubah menjadi desa yang mengancam keselamatan pengunjungnya. Desa yang selalu dirindukan penduduknya pada saat mereka jauh, khususnya untuk berkumpul bersama pada malam Tahun Baru China, kini telah berubah menjadi desa yang dihindari. Desa Cinta Damai menjadi desa angker penuh nestapa. Oleh karena itu, penduduk yang masih tinggal dan belum berniat pindah ke desa-desa lain, akan meninggalkan desa itu khususnya pada tanggal 30 bulan dua belas tahun kalender China.
Di desa itu tinggal satu keluarga yang bertahan, bahkan berniat mengembalikan suasana desa tersebut seperti sediakala. Namun, rasa takut masih menghantui mereka. Keputusan pindah atau tidak pindah menjadi pergulatan batin yang tak mudah bagi mereka. Suatu saat mereka sampai pada keputusan untuk pindah; namun belum sempat niat itu terwujud, Nian sudah tiba di desa tersebut. Seperti kesetanan, ia memorak-porandakan desa itu. Akan tetapi, saat itu tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dimakan, tidak ada lagi hewan untuk disantap, membuat keberingasan serta kebrutalan Nian makin menjadi-jadi. Ia membongkar rumah demi rumah penduduk untuk mencari apa saja yang bisa dimakan. Kalau tidak tumbuhan dan hewan, Nian juga bisa memakan manusia yang ditemuinya. Satu per satu rumah sudah dibongkar dan hanya tersisa beberapa lagi, termasuk rumah dari keluarga yang masih bertahan itu. Ayah, ibu, dan anak-anak dalam keluarga itu pun berdiskusi. Sebab, cepat atau lambat Nian pasti akan sampai di rumah mereka. Memikirkan hal ini, mereka menjadi takut karena jika Nian tidak menemukan apa-apa, pasti tubuh merekalah yang akan menjadi santapannya. "Ayo cepat kita melarikan diri, jangan membawa barang apa pun, yang penting kita sekeluarga bisa selamat," demikian teriak sang ayah. Mereka segera berlari keluar rumah dan bertekad seisi keluarga dapat selamat. Namun, sang ibu tidak rela meninggalkan peralatan dapur dan perabot rumah kesukaannya. Maka, ia membawa banyak peralatan dapur dan perabot rumah. Ada gelas, piring, baskom, ember, dan sebagainya. Barang-barang itu sangat banyak, maka ayah dan anak-anaknya pun membantu sang ibu. Namun karena ada barang yang harus dibawa, lari mereka pun menjadi sangat lambat. Nian makin lama makin mendekat, dan anak-anak mulai ketakutan dan panik. Barang-barang bawaan sang ibu pun dilempar satu per satu sambil tetap berlari tanpa menoleh ke belakang.
"Prang...! Klontang...! Pang...! Piung...!"
Barang-barang yang dilemparkan itu menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Ketika barang-barang sudah habis, sang ayah pun menggendong anaknya yang paling kecil dan terus berlari menyelamatkan diri. Setelah beberapa puluh langkah lagi, mereka merasa tidak mampu berlari lagi. Dan, pada saat yang bersamaan tidak terdengar suara Nian lagi. Mereka pun berhenti berlari dan memberanikan diri menoleh ke belakang. Sungguh ajaib, Nian benar-benar sudah tidak ada. Namun, setelah dilihat dengan teliti dan saksama, ternyata makhluk itu masih berdiri di balik sebuah pohon dengan raut muka yang ketakutan. Merasa mantap, dengan sisa-sisa tenaga yang ada, sang ayah pun berteriak memanggil penduduk desa agar masing-masing membawa barang yang jika dijatuhkan bisa menimbulkan suara gaduh. Ia sendiri berlari kembali dan mengambil barang-barang yang sudah dibuangnya. Nian tampak tidak bereaksi. Sang ayah dengan keras memukul loyang. Dan bersamaan dengan itu penduduk mulai datang, juga memukulkan barang-barang bawaan mereka. Suara yang ditimbulkan pun tambah gaduh dan berisik. "Dang... dang... klontang... pang... piung..." sahut-menyahut. Nian mulai panik. Makin lama makin ketakutan. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil langkah seribu, lari terbirit-birit. Makhluk menakutkan itu berlari sekencang mungkin dan sejauh mungkin. Legalah hati keluarga itu. Mereka sangat bergembira. Mereka bukan hanya tidak jadi pindah ke desa tetangga, tetapi juga berhasil membuat Nian ketakutan dan lari tunggang-langgang.
Akhirnya, penduduk desa tersebut kembali membangun desa mereka dengan tenang dan membuat keadaan seperti sedia kala. Lambat-laun, penduduk desa yang sudah mengungsi, pulang kembali ke desa mereka. Sejak saat itu mereka saling mengucapkan Guo Nian Hao. Untuk mencegah Nian datang kembali, seluruh penduduk desa, tua-muda, besar-kecil, akan memukul benda-benda dapur dan perabotan sekeras mungkin pada tanggal 30 bulan dua belas malam. Esok harinya mereka akan dengan sukacita menikmati hari raya Imlek dan saling mengucapkan Guo Nian Hao.
Tahun demi tahun mereka membunyikan perabotan rumah tangga dan pada akhirnya digantikan dengan petasan pada dewasa ini dengan maksud agar hal yang menakutkan tidak mengganggu mereka dalam menikmati tahun yang baru.
0 komentar:
Post a Comment