Loading

Memperjuangkan Harta Finniston - Enid Blyton

BERKUMPUL KEMBALI

Julian menyeka keningnya yang basah berkeringat.

“Huhh,” desahnya, “mendingan tinggal di daerah khatulistiwa! Di sana pasti tak sepanas begini!”

Anak jangkung itu bersandar pada sepedanya. Napasnya sengal-sengal. Tenaganya seperti terkuras, sehabis mendaki bukit yang tinggi dan terjal itu. Dick menatapnya sambil nyengir.

“Kau kurang latihan, Ju!” katanya. “Sekarang kita beristirahat saja sebentar, sambil menikmati pemandangan. Sudah tinggi juga kita mendaki!”


Kedua anak itu menyandarkan sepeda mereka ke pagar yang ada di situ. Kemudian mereka duduk di tempat itu pula. Di bawah bukit terbentang luas daerah Dorset, di Inggris sebelah selatan. Hawa panas tengah hari itu menyebabkan pemandangan seakan bergelombang. Hari itu begitu cerah, sehingga mata bisa menatap sampai jauh sekali sampai ke ufuk yang kabur kebiru-biruan. Julian menghembuskan napas lega, ketika terasa angin sepoi lewat.

“Kalau aku tahu hari ini akan panas sekali, aku takkan mau naik sepeda!” katanya. “Untung saja Anne tidak ikut – pasti ia sudah menyerah pada hari pertama!”

“Tapi kalau George, tidak!” kata Dick. “Anak itu pantang menyerah. Diajak apa saja, selalu mau.”

“Ya, ya – si George,” kata Julian sambil memejamkan mata. “Aku senang bisa berjumpa lagi dengan mereka berdua. Tentu saja bepergian sendiri juga asyik – tapi jika kita berempat sudah bergabung, rasanya selalu ada saja kejadian yang menarik.”

“Kenapa berempat? Berlima, Maksudmu!” kata Dick. “Jangan lupa Timmy dong! Huh – aku belum pernah melihat anjing yang kayak dia. Ya, pasti asyik nanti jika kita sudah lengkap lagi, menjadi lima sekawan. Kita tak boleh lupa waktu, Ju!”

Julian diam saja.

“He – bangun, Keledai!” kata Dick sambil tertawa setelah melirik abangnya sebentar. “Kalau kita tidur sekarang, nanti terlambat menjemput Anne dan George.”

Tapi mata Julian tetap terpejam. Dick memandang arlojinya, sambil menghitung-hitung. Saat itu setengah tiga siang.

“Bis yang ditumpangi anak itu akan tiba di halte dekat gereja desa Finniston pukul tiga lewat lima menit,” kata Dick dalam hati. “Dari sini ke Finniston lima mil, menuruni bukit. Yah – Julian bisa tidur selama lima belas menit. Asal aku jangan ikut tertidur!”

Tapi semenit kemudian kelopak mata Dick mulai terasa berat. Karenanya ia buru-buru bangun, lalu berjalan mondar mandir untuk menghilangkan rasa mengantuk. Anne dan George perlu dijemput, karena mereka membawa barang-barang. Dick dan Julian bermaksud untuk mengangkut barang-barang itu dengan jalan menaruhnya pada boncengan sepeda.

Keempat anak itu hendak berlibur di sebuah pertanian. Pertanian itu dikenal dengan nama Finniston Farm. Letaknya di bukit, di sebelah atas desa Finniston. Julian serta saudara-saudaranya belum pernah ke situ. Sedang mendengar mengenalnya pun baru ketika mereka hendak berlibur kali itu. Bibi Fanny, ibu George, mendengar dari seorang teman sekolahnya dulu, bahwa ia menerima tamu-tamu yang ingin berlibur di pertaniannya. Teman itu menanyakan pada Bibi Fanny, apakah mungkin di antara kenalannya ada yang berminat. Lalu George langsung mengatakan, ia ingin melancong ke Finniston Farm selama liburan musim panas, bersama ketiga saudara sepupunya.

“Mudah-mudahan saja tempat itu nyaman,” pikir Dick, sambil melayangkan pandangan ke arah lembah yang terbentang di bawah, di mana tanaman jagung yang sudah mulai menguning melambai-lambai tertiup angin lembut. “Tapi kalau tidak, juga tidak apa-apa – karena kan cuma dua minggu saja. Dan pokoknya kita bisa berkumpul lagi. Asyik!”

Dick melirik arlojinya. Nah – sekarang sudah waktunya berangkat. Digoyangnya Julian yang masih tidur.

“He – bangun!”

“Sepuluh menit lagi,” gumam Julian. Ia memutar tubuh. Dikiranya ia berbaring di tempat tidur! Ia tak sadar bahwa di sampingnya ada parit kering yang dangkal. Dan begitu berputar, Julian langsung terguling ke dalamnya. Seketika itu juga ia terduduk, sambil mengejap-ngejapkan mata karena kaget.

“Astaga – kukira aku di tempat tidur,” katanya. “Wah, nyaris saja aku terlanjur tidur terus, apabila tidak kaubangunkan.”

“Sudah waktunya kita berangkat lagi, apabila masih ingin menyongsong Anne dan George,” kata Dick. “Selama kau tidur tadi, aku terpaksa mondar-mandir terus di sini – karena takut aku tertidur. Ayo – kita harus berangkat sekarang!”

Mereka lantas naik lagi ke sepeda masing-masing. Bukit dituruni dengan hati-hati, apalagi pada tikungan-tikungan yang tajam. Mereka sering berpapasan dengan berbagai kendaraan pertanian. Mulai dari gerobak, sampai pada traktor-traktor. Dan kadang-kadang juga berpapasan dengan segerombolan sapi. Maklumlah, daerah itu memang terkenal karena pertaniannya.

Akhirnya nampak desa Finniston yang kecil, tersempil di kaki bukit. Kelihatannya kuno. Suasana di situ tenang, seakan mengantuk.

“Aduh – untung di sini ada yang menjual limun dan es krim!” kata Dick lega, ketika melihat tanda reklame terpasang di jendela sebuah toko di desa itu. “Lidahku sudah kering sekali rasanya. Kalau aku ini Timmy – pasti sudah kujulurkan ke luar lidahku itu!”

“Sekarang kita cari saja dulu halte dekat gereja,” kata Julian. “Tadi sewaktu masih menuruni bukit, dari kejauhan aku melihat puncak menara gereja itu! Tapi sesampai di bawah, tidak kelihatan lagi.”

“Itu dia bis mereka!” seru Dick, ketika terdengar deru mesin mobil di kejauhan. Sesaat kemudian bis itu muncul di tikungan jalan. “Yuk, kita ikuti!”

“Itu Anne – dan George!” seru Julian. “Ternyata kita tiba tepat pada waktunya. Hai, George! Anne!”

Bis itu berhenti dekat gereja. Anne dan George turun, masing-masing menenteng sebuah koper. Timmy juga turun dari bis. Lidahnya yang panjang terjulur ke luar. Anjing itu merasa lega, karena tidak perlu lebih lama lagi duduk diam-diam dalam bis yang pengap itu.

“Itu Dick dan Julian!” seru George, sementara bis berangkat lagi. George melambai-lambai dengan bersemangat. “Hai, Julian! Halo, Dick! Untung kalian tidak terlambat datang!”

Kedua anak laki-laki itu mempercepat kayuhan mereka, menghampiri Anne dan Dick. Begitu sampai, langsung meloncat turun. Timmy melonjak-lonjak mengelilingi kedua anak itu, sambil menggonggong dengan gembira. Dick dan Julian silih berganti menepuk punggung kedua anak perempuan yang baru datang.

“Kalian berdua masih tetap sama saja,” kata Dick. “George, dagumu kotor! Dan kau, Anne – kenapa sekarang pakai buntut kuda?”

“Dan kau masih tetap kurang ajar, Dick,” balas George, sambil membentur kaki saudara sepupunya itu. “Sekarang aku jadi bingung, kenapa tadi kami begitu kepingin berjumpa lagi denganmu! Nih, tolong bawakan koperku ini – tidak tahu aturan, ya?”

“Siapa bilang?” jawab Dick, sambil menyambut koper yang disodorkan. “Aku cuma heran melihat cara Anne mengatur rambutnya sekarang! Tidak pantas, ah. Bagaimana pendapatmu, Julian? Macam-macam saja pakai buntut kuda. Kalau buntut keledai – nah, itu baru cocok!”

“Ya deh, ya deh,” kata Anne. Ia buru-buru menggeraikan rambutnya. “Tadi kuikat ke belakang, karena dalam bis panas sekali.” Ia paling tidak senang, jika dicela abang-abangnya. Julian membelai lengan Anne.

“Aku senang bisa berkumpul lagi dengan kalian berdua,” kata Julian. “Sekarang, bagaimana jika kita minum limun dan makan es krim dulu? Di sebelah sana ada sebuah toko yang menjualnya.”

“He! Kalian sama sekali belum menyapa Timmy,” kata George agak tersinggung. “Padahal sedari tadi ia mengitari kalian terus!”

“Salam, Tim,” kata Dick sambil menyodorkan tangan. Dan Timmy mengangkat kaki depannya dengan sopan, lalu bersalaman dengan Dick. Setelah melakukan hal serupa dengan Julian, anjing besar itu lantas seperti kemasukan setan. Ia lari berputar-putar, nyaris terguling seorang anak kecil yang sedang naik sepeda karena ditabarak olehnya. Timmy bukan tiba-tiba menjadi gila! Ia begitu, hanya karena tidak bisa menahan kegembiraannya bertemu dengan Julian dan Dick.

“Yuk, Tim – kau mau es krim, kan?” ajak Dick, sambil meletakkan tangan ke ubun-ubun anjing itu. “Coba dengar napasnya tersengal-sengal, George! Kalau bisa, pasti Timmy sekarang ini juga melepaskan mantel bulunya itu dari badannya. Ya kan, Tim?”

“Guk,” gonggong Timmy mengiyakan, sambil memukulkan ekornya ke betis Dick.

Keempat anak itu masuk ke toko tempat menjual es krim, diiringi oleh Timmy. Di toko itu dijual roti serta berbagai hasil produksi susu. Ketika mereka masuk, seorang anak perempuan berumur sekitar sepuluh tahun datang menghampiri.

“Ibuku sedang istirahat sebentar,” kata anak itu. “Kalian mau membeli apa? Es krim ya! Semua kelihatan ingin makan es krim hari ini.”

“Betul,” kata Julian. “Lima es krim yang besar dan empat botol limun jahe.”

“Lho! Es krimnya lima? Apakah untuk anjing itu?” tanya anak yang melayani dengan heran. Ia memandang Timmy.

“Guk,” gonggong Timmy.

“Nah, itu jawabannya,” kata Dick. “Timmy mengatakan, betul!”

Sesaat kemudian mereka sudah makan es krim dengan nikmat. Bagian untuk Timmy ditaruhkan pada sebuah piring. Tapi baru beberapa kali anjing itu menjilat, es krimnya sudah terdorong jatuh dari piring. Timmy menjilatnya terus, sehingga es krim itu terdorong-dorong ke segala penjuru toko. Anak perempuan yang melayani memperhatikan dengan takjub.

“Maaf, dia tidak kenal aturan makan yang baik,” kata Julian dengan tampang serius. “Maklumlah, yang mendidiknya juga sama saja dengan dia!”

George langsung melotot, karena merasa disindir. Julian nyengir puas, karena memang itulah maksudnya. Ia membuka botol limunnya.

“Ha, sedaap – dingin dan segar,” katanya. “Liburan kita dimulai dengan nikmat.” Diteguknya limun, lalu diletakkannya gelas ke meja sambil mendesah puas.

“Kudoakan selamat panjang umur bagi orang yang menciptakan es krim, limun serta lain-lainnya yang enak,” katanya. “Kalau aku pencipta, aku lebih senang mencipta barang-barang kayak itu – daripada membuat bom, roket dan lain-lain senjata pemusnah. Aaahhh – segar lagi badanku sekarang! Kalian bagaimana? Sudah siap untuk mencari pertanian itu?”

“Pertanian siapa?” tanya anak perempuan yang menjaga toko. Ia datang dari balik meja pelayanan untuk mengambil piring bekas es krim Timmy. Ketika anak itu membungkuk, Timmy sempat menjilat mukanya sebagai pernyataan terima kasih. Anak itu kaget, lalu mendorong kepala Timmy supaya menjauh.

“Rupanya Timmy menyangka kau juga es krim,” kata Dick, sambil menyodorkan sapu tangan supaya anak itu mengelap mukanya. “Kami hendak pergi ke Finniston Farm. Kau tahu di mana tempatnya?”

“Tentu saja,” jawab yang ditanya. “Kalian terus saja sampai ke ujung desa iini, lalu kemudian membelok masuk ke jalan yang ada di sebelah kanan. Jalan itu mendaki bukit. Nah, pertanian yang kalian cari, letaknnya di ujung jalan itu. Kalian akan menginap di tempat keluarga Philpot?”

“Betul. Kau kenal dengan mereka?” tanya Julian, sambil merogoh kantong hendak membayar.

“Aku kenal dengan kedua anak kembar mereka,” kata anak perempuan penjaga toko. “Yah – sebetulnya dibilang kenal, juga tidak! Tak ada yang kenal baik dengan keduanya. Mereka tidak suka bergaul dengan orang lain. Kalau main, selalu berdua saja. Kalian harus hati-hati jika menghadapi Kakek! Dia kakek Pak Philpot. Orangnya galak sekali. Katanya dia pernah berkelahi melawan seekor sapi jantan yang mengamuk, dan menang. Sapi itu pingsan dihajar olehnya! Suaranya lantang sekali – sampai bermil-mil masih kedengaran. Dulu ketika aku masih kecil, aku paling takut datang ke pertanian itu, karena takut pada Kakek!” Anak itu mengangguk-angguk sebentar, lalu meneruskan ceritanya. “Tapi kalau Bu Philpot, wah – dia benar-benar baik hati! Kalian pasti senang padanya. Kedua anak kembarnya sangat menyayangi ibu mereka. Dan tentu juga ayah mereka! Pada saat libur, mereka berdua ikut bekerja di tempat itu. Mereka mirip satu sama lainnya – sama sekali tidak bisa dibedakan! Tidak bisa dibedakan antara Harry yang satu dengan Harry yang lain!”

“Lho – kenapa kedua-duanya kausebut Harry?” tanya Anne heran.

“Ya, sebabnya karena ….,” kata anak perempuan penjaga toko. Tapi ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu seorang wanita berbadan gemuk muncul dari belakang toko.

“Janie – kaujaga adikmu ya – biar aku yang mengurus toko lagi. Cepatlah!”

“Baik, Bu,” kata anak yang ternyata bernama Janie itu, lalu bergegas pergi ke belakang.

“Anak itu, kalau dibiarkan mengobrol takkan pernah bosan,” kata ibu anak itu. “Masih ada lagi yang kalian perlukan?”

“Tidak,” kata Julian sambil berdiri dari tempatnya. “Kami masih harus meneruskan perjalanan. Selama liburan ini kami tinggal di Finniston Farm. Jadi besar kemungkinannya kami akan menjadi langganan di sini selama itu. Es krim Anda enak!”

“O – jadi kalian ini akan menginap sebagai tamu di sana,” kata wanita gemuk itu sambil mengangguk-angguk. “Wah, aku ingin tahu bagaimana sikap kedua Harry terhadap kalian. Mudah-mudahan saja bisa cocok! Tapi hati-hati, jangan sampai menyebabkan Kakek marah. Orangnya sudah tua – sudah lebih dari delapan puluh tahun, tapi galaknya masih ampun-ampunan!”

Lima sekawan keluar dari toko itu. Julian memandang saudara-saudaranya sambil nyengir.

“Nah, bagaimana? Sudah siap untuk mendatangi Bu Philpot yang baik hati, serta kedua Harry yang penyendiri dan Kakek galak? Wah – kelihatannya liburan kita ini akan asyik nantinya!”




Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: