Kata orang hidup adalah pilihan. Awalnya aku tak percaya kata-kata itu. Sebelum akhirnya membuktikan kebenarannya. Kebenaran tentang hidup yang ternyata bukanlah sebuah pilihan. Kenapa? karena kita sudah dipilih atau terpilih menjadi seseorang. Seperti aku ini, yang terlahir sebagai anak seorang Koruptor.
Sejak kecil, aku diperlakukan seperti anak raja. Semua yang aku butuhkan, selalu disediakan oleh kacung-kacung bergaji murah. Satu juta rupiah sebulan termasuk murah bukan? Ya, harga segitu buat keluargaku tidak ada apa-apanya kale! Whatever lah! Yang pasti, dengan gaji segitu mereka -kacung-kacung itu- selalu siap dengan perintahku. Ketika aku lapar, hidangan mewah selalu tersedia di meja bundar, yang terbuat dari kayu jati itu. Mulai dari ayam ala Kentucky sampai babi panggang. Ketika aku haus, minuman aneka rupa dan aneka rasa, berjajar di mini bar yang ada di ruang tengah.
”Yusril!” teriakku memanggil nama seorang kepala kacung yang namanya mengingatkaku pada nama seorang mantan menteri.
”Dalem, Den,” sambut Yusril sambil berlari kecil ke arahku.
Begitu jarak kami tiga meter, Yusril langsung merendahkan badannya dan memberi hormat padaku. Sebuah hormat ala Jepang. Setelah memberi hormat, ia merangkak, mendekat ke arahku. Apa yang dilakukan Yusril, memang sudah menjadi adat istiadat keluargaku sejak dahulu kala. Itulah cara Yusril dan kacung-kacungku yang lain dalam menghormati kami. Persis seperti Abdi Dalem kala menghadap paduka Raja.
Aku dan keluarga memang harus menjaga jarak dengan para kacung. Mengertilah wahai teman-temanku, strata kami berbeda. Kami ini jauh tinggi di langit, sedang mereka jauh berada di bawah bumi. Kami juga diajari untuk selalu dilayani bukan melayani. Jadi jangan heran kalo istilah ”melayani” sangat langka dalam kehidupan kami. Melayani cukup dilakukan oleh kacung. Tak ada istilah dalam lingkungan keluargaku.
Bukan cuma makan dan minum yang harus dilayani oleh kacung-kacung. Ketika aku ingin pup, seorang kacung dengan sigap menyiapkan tangannya untuk menceboki pantat kami yang ada bekas kotoran. Ketika kami ingin ML, kacung kami juga ready to search wanita-wanita yang siap untuk kami ML-kan. Termasuk menyediakan kondom-kondom aneka rupa. Ada yang rasa cokelat, stawberry, durian, mangga, pisang, jambu, sate padang, nasi gila, roti bakar edi, dan rasa-rasa lain.
”Maybe I was a bit spoiled. I made it because the circumstance that my Father used to do”.
Kelihatannya keluarga kami memang aneh. Kelihatannya apa yang kami kerjakan menyalahi formalitas yang berlaku di masyarakat. Namun itulah kebiasaan kami. Kebiasaan yang sudah menjadi sebuah format kewajaran. Oh iya, bicara soal kewajaran, buat orangtua kami, apa yang dianggap tidak wajar oleh banyak orang, justru menjadi hal yang lumrah. Misalnya, menitip fee dari pemenang tender, memberi izin Pengusaha-Pengusaha yang menebang kayu tanpa lewat prosedur, menyelundupkan hewan-hewan yang dilindungi, dan masih banyak lagi.
Beberapa kali, aku sempat mendengar Ayahku berbicara dengan Adrian Kiki Ariawan. Kenal dong siapa pria ini? Dia buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tempo hari ditangkap oleh pemerintah Australia atas kerjasama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia adalah salah satu orang berdarah dingin yang membuat Pemerintah jadi kehilangan uang. Padahal uang itu bisa dipergunakan untuk banyak hal, termasuk menyekolahkan anak-anak putus sekolah, atau memberi makan keluarga-keluarga kelaparan.
Ayahku juga sempat terlibat pembicaraan dengan tujuh Kepala Yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) soal dana Rp 1,4 triliun. Ayahku juga tahu soal korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu yang berhasil merugikan negara senilai US $ 24.8 juta. Ayahku pun tahu penyimpangan penyaluran dana BLBI senilai Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun serta penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Last but not least, Ayahku sempat berhubungan dengan Joko S. Tjandra sebelum kabur.
Pembicaraan Ayahku dengan para koruptor itu kencang sekali. Hampir seisi rumah mendengar. Padahal pembicaraan itu sangat sensitif yang sebenarnya aku tak perlu mendengarkannya. Yang sebenarnya sangat-sangat mengajarkan hal-hal negatif. Tapi Ayahku cuek. Ayahku tak peduli apakah aku nantinya akan mengikuti jejaknya atau malah menjadi pembelot. Bayangkan, apakah wajar seorang Ayah bicara soal sogok-menyogot, tipu-menipu, bahkan bunuh-membunuh didengar oleh anak seperti diriku yang keren ini. Namun, sekali lagi, hal seperti ini sudah lumrah, sudah wajar di keluarga kami.
Mungkin Anda pikir, aku beruntung memiliki kehidupan yang luar biasa. Kehidupan yang semua manusia ingin mendapatkannya. Kehidupan yang selalu dibayangkan oleh banyak orang, dimana orang-orang ini terus mengejarnya dengan cara berkompetisi. Mungkin perasaan Anda, aku tak akan pernah merasakan kepedihan dalam mengarungi kehidupan sesungguhnya. Tak pernah ada tangis. Tak pernah ada kekecewaan. Semuanya happy. Boleh jadi benar!
Aku cukup beruntung. Ya, aku beruntung. Aku bersyukur dengan apa yang telah aku miliki, meski aku tahu harta ini didapat ini dari cara korupsi yang Ayahku selalu lakukan. Anda tak perlu tahu korupsi model apa yang sudah dilakukannya. Pokoknya aneka cara sudah dia lakukan. Dan aku tahu, Ayahku tidak akan pernah menyesal ataupun merasa bersalah, ketika apa orang yang mempertanyakan kehalalan semua harta benda tesebut.
”Ah tahu apa kalian tentang halal?” kata Ayahku suatu hari, ketika seorang jurnalis bertanya soal asal usul pendapatannya.
”Halal itu relatif! Menurut Ulama haram, kalo menurut saya halal, Anda mau bilang apa?”
Jurnalis bingung.
”Kenapa yang mendapatkan cap halal haram selalu sesuatu yang nggak penting? Rokok, misalnya. Atau soal infotainment dan yoga yang juga dianggap haram. Terakhir soal Facebook yang juga dikatagorikan haram. Aya-aya wae! Kenapa semua minuman keras tidak dicap haram di botolnya? Kenapa rumah-rumah prostitusi tidak diberikan bilboard bertuliskan haram? Masih banyak contoh lagi yang tidak bisa jabarkan satu per satu. Intinya halal haram itu relatif”.
Jurnalis mengangguk. Bukan karena mengerti, tapi makin bingung.
”Lagipula Ulama-ulama itu kan juga manusia. Mereka bisa membuat halal atau haram berdasarkan pesanan seseorang, kok! Asal ada duitnya....”
Aku memang cukup beruntung, tapi aku bosan. Aku bosan dengan kondisiku sekarang. Semua serba enak. Tak ada yang tak mungkin. Semua bisa dilakukan oleh keluarga kami. Semuanya mudah aku dapatkan. Tinggal minta, pasti tersedia. Tinggal tunjuk, semua beres. Inilah yang membuatku merasa tak ada tantangan.
Yap! Tantangan! Itulah kata kunci. Sebagai pria, aku memang butuh itu, butuh tantangan, agar eksistensiku bisa terekspos. Bahwa aku adalah survivor! Mampu berdiri dengan segala kekurangan. Bukankah aku masih menjadi lelaki jantan?
”Ayah, mulai besok saya akan kabur dari rumah ini,” ucapku pada Ayah someday and somewhere.
Aku bingung, Ayahku tak shock. Dia tak memperlihatkan kekagetan dengan ucapanku itu. Responnya dingin-dingin saja. Kok bisa? Kok seorang Ayah yang selama ini aku bangga-banggakan ternyata tidak berusaha menahanku agar tidak pergi dari rumahku. Ayah yang selama ini mengasihiku, menyayangiku, dan memanjakanku dengan aneka materi, kok cuma bereaksi dingin atas permintaanku itu. Ketidakheranan Ayahku membuatku malah semakin menggebu untuk kabur dari rumahku.
”Kapan kamu mau keluar dari rumah ini?”
”Mulai besok Ayah,” jawabku masih dalam kondisi bingung dengan sikap Ayahku.
”Kenapa nggak sekarang saja?”
Pernyataanya Ayahku itu makin membuatku terpojok. Membuat aku marah. Sebab, aku merasa kaburnya aku seperti sudah dinanti-nantikan Ayahku. Kenapa begitu? Aku merasa tak dianggap. Aku jadi berpikir macam-macam. Jangan-jangan aku bukan anak kandungnya? Jangan-jangan kasih sayang Ayahku selama ini cuma basa-basi?
”Baik Ayah! Mulai hari ini saya keluar dari rumah ini!”
Aku kabur tanpa cium tangan. Tanpa cipika-cipiki. Kalian sudah tahu jawabannya. Itu karena aku merasa direndahkan oleh Ayahku. Karena aku merasa tak dianggap olehnya. Aku sakit hati. Kata Meggy Z, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Padahal yang namanya sakit, ya tetap aja sakit. Mau sakit gigi kek, sakit hati kek, ya tetap aja sakit. Tapi aku harus kuat. Harus tegar. Bukankah ini termasuk bagian dari ujian pertamaku sebagai manusia normal yang akan kulakukan di luar rumah? Ujian pertama dari anak Koruptor yang selama ini hidup di comfort zone?
”What am I supposed to do?”
Aku belum pernah merasakan keadaan yang menyedihkan ini. Menjadi orang miskin. Tak punya uang. Tidur di bawah kolong jembatan, kehujanan, dan tanpa uang sepersen pun. Aku juga belum pernah merasakan berdesak-desakan di kendaraan umum. Saling serobot tanpa atrean. Mencium keringat anekarasa di Metromini, di Mayasari Bakti. Belum pernah mencium udara kota besar yang sudah berpolusi dan berkeringat karena terkena sinar matahari.
Kini hembusan angin menusuk-nusuk dinding tubuhku. Hari ini hujan disertai oleh angin badai.
Dingin sekali. Rasa dingin kini membuat perutku keroncongan. Aku lapar! Kenapa kok aku mulai lemah? Kenapa kok aku mulai mempertanyaakan kekuatanku menghadapi ujian-ujian ini? Padahal banyak orang yang sudah terbiasa dengan kondisi ini. Tak makan seharian. Berpanas-panasan di hujani terik matahari. Kehujanan. Lihatlah Pengemis-Pengemis itu! Mereka di jalanan tak peduli panas, hujan terus mengetuk-ngetukan kaca mobil. Tengoklah Pengamen-Pengamen cilik itu. Mereka tanpa lelah bernyanyi dari mobil ke mobil, meski tak setiap mobil memberikan uang recehan. Tapi kenapa aku kalah? Kalah dengan mereka!
”It is tough for me, because the circumstance want me to survive alone. I know I’m young that never do this way. Find money and the way to live”.
Ternyata aku bukan seorang suvivor. Ternyata aku pria yang mudah putus asa. Ternyata aku pria yang lebih suka dihormati atau dilayani layaknya raja. Lebih tepatnya gila hormat. Ternyata jauh lebih enak menjadi orang kaya dan hidup serba ada, seperti kehidupanku sebelumnya. Ngapain juga hidup bersama 34,96 juta orang miskin di tanah air ini? Najis! Dalam kondisi depresi seperti ini, aku kangen Ayahku. Aku juga kangen dengan kacung-kacungku. Kalau saja ada BlackBerry, akan kuhubungi Ayahku sekarang. Aku akan minta maaf dan mengatakan padanya:
”Ayahku yang kucinta, aku bangga punya orangtua seperti Ayah. I will always support what you do that, till dead do us part. Aku bangga pada Ayah, meski Ayah seorang Koruptor”.
0 komentar:
Post a Comment