Loading

Rahasia Kitab Tujuh - Motinggo Busye

Sejak ribuan lebah itu berhasil diusir oleh Pita Loka secara ajaib. Penduduk Kumayan merasa berhutang budi padanya. Tiap hari ada saja di antara penduduk yang datang ke rumah Pita Loka membawa beras, telur, padi, tebu, kelapa, minyak tanah, bahkan uang sebagai ucapan terimakasih Ki Putih Kelabu melihat perubahan gelagat Pita Loka setelah kehadiran tamu-tamu itu. Lalu dia menegur puterinya: “Pita Loka, sikapmu berubah jadi angkuh kepada mereka.  Bukankah sikap itu tidak baik?”
“Memang itu saya sengaja, ayah”, sahut Pita Loka.
“Disengaja? Ah itu lebih buruk lagi” ujar Ki Putih Kelabu.
“Tapi akan lebih buruk lagi apabila terlalu saya layani penghormatan mereka. Saya akan dikultuskan mereka menjadi Manusia Sakti. Padahal saya tidak memiliki apa-apa. Kecuali menjadi manusia biasa”. Ki Putih Kelabu tampak kecewa. Memang hari demi hari, setelah diselidikinya segala tingkah laku Pita Loka, puterinya tidak memperlihatkan perilaku yang ganjil-ganjil. Kembalinya dari Guha Lebah dan pernah termashur karena dianggap berhasil dalam ngelmu, lalu berhasilnya dia mengusir ribuan lebah yang sempat membuat penduduk Kumayan lumpuh dalam sakit dan panik itu, seakan-akan suatu peristiwa “biasa” saja. Yang paling mengejutkan Ki Putih Kelabu dan orang-orang di hari-hari belakangan ini adalah kegiatan Pita Loka mengurus legalisasi sekolahnya.
Dia mundar-mandir ke Kakanwil PDK di Kumayan untuk mendaftarkan diri ikut ujian masuk ke SMA yang dibangun didesa itu.
“Kau mau bersekolah lagi, nak?” tanya sang ayah.
“Lho, apa itu tak wajar?” tanya Pita Loka pada sang penanya.
“Kau akan menjadi cerita dari mulut ke mulut bila bersekolah lagi”, ujar sang ayah, “Padahal di
desa kita ini nama keluarga kita sedang naik. Dihormati. Dan terutama kau, sedang disegani”.
Percakapan itu terhenti, karena ada tamu.




Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: