Loading

Hancurnya Samurai Cabul - Fujidenkikagawa

OMBAK laut bergulung-gulung menuju pantai. Terlihat sesosok tubuh tua berdiri sendirian di tepi pantai. Matanya memandang ke arah laut. Mungkin juga ia sedang terheran-heran melihat air sebanyak itu, sebab biasanya yang dilihat hanya air sebatas di ember.
Tak seorangpun tahu apa sebabnya tokoh tua itu berdiri di pantai sendirian. Yang jelas ia diam tak bergerak sejak tadi. Tongkatnya menancap di pasir pantai. Jubah birunya melambai-lambai bagaikan robekan layar perahu. Rambutnya yang putih rata seperti jambul kuda itu diikat dengan ikat kepala warna hitam. Jenggotnya tipis, kira-kira hanya dua puluh empat lembar. Kumisnya ikut-ikutan tipis, entah berapa banyak tak sempat ada yang menghitungnya. Tubuhnya kurus, mungkin sering puasa atau memang nggak pernah punya beras, entahlah! Matanya agak kecil, tapi tajam memandang. Setajam-tajamnya tak setajam ujung bambu runcing.
Kakek jubah biru bertongkat hitam itu hanya menarik napas, karena memang menarik napas mudah dilakukan daripada menarik perahu. Hatinya sempat berdecak heran. Rupanya ia melihat bocah kecil berusia delapan tahun bermain selancar di atas gulungan ombak besar. Papan selancar yang digunakan adalah pelepah daun pisang muda. Bocah bercelana ungu dan berompi pendek ungu pula itu tampak gembira sekali. Tubuhnya melayang-layang mengiukti irama ombak sambil berdiri di atas pelepah daun pisang. Rupanya sang kakek merasa lebih tertarik dengan tontonan itu ketimbang harus nonton atraksi lumba-lumba.





Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: