Novel yang sudah memasuki cetakan keempaat ini (cetakan pertamanya tahun 2005) mengambil setting daerah bernama Lhok Nga (bener ga ya tulisannya .. ?) yang menjadi salah satu daerah korban tsunami tahun 2004 lalu. Mengisahkan tentang seorang anak berumur 6 tahun yang pada awalnya hidup di keluarga bahagia bersama orang tua dan ketiga kakak perempuannya. Keluarga yang hampir sempurna saya rasa, karena kehidupan yang cukup mapan, berada di lingkungan yang baik dan penuh nuansa islami (Dan tidak jauh dari kebanyakan hubungan persaudaraan yang diselingi pertengkaran kecil sesama saudara yang tentu saja). Dari yang saya tangkap di novel itu, di daerah Lhok Nga ada semacam kebiasaan dari masyarakatnya untuk memasukkan anak mereka ke semacam TPA (selain sekolah negeri). Hal ini mengingatkan saya pada kebiasaan di daerah saya yang hampir sama di mana kami diharuskan mengikuti pendidikan agama tambahan di MDA yang terpisah dari sekolah negeri. Pendidikan tambahan yang mengajarkan membaca al quran dan ilmu-ilmu islam lainnya (aqidah, akhlak, tarikh islam, bahasa arab dsb).
Anak yang bernama delisa itu harus menyelesaikan hafalan shalatnya yang akan disetorpada Ibu Guru Nur untuk nanti mendapat piagam kelulusan. Bunda delisa pun menjanjikan hadiah sebuah kalung emas 2 gram yang memiliki liontin D (D untuk Delisa) jika hafalan shalatnya terpenuhi. Oleh karena iming-iming hadiah itu, delisa sangat bersemangat untuk menghafal bacaaan shalat. Walaupun pada awalnya sulit dan seringkali terbalik-balik, dengan bantuan kakak-kakaknya, akhirnya delisa siap mengikuti ujian hafalan shalat yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Desember 2004 (hari terjadinya tsunami). Ketika delisa sedang mempraktekkan shalat, terjadi gempa dahsyat di aceh. Walaupun terjadi gempa, dan tangannya terluka terkena benda yang jatuh, delisa tetap berupaya melanjutkan shalatnya (Guru TPA nya pernah berkisah tentang sahabat nabi yang sangat khusuk dalam melaksanakan shalat sehingga tidak terganggu hal-hal lain, dan delisa ingen mempraktekkan shalat seperti beliau). Namun, menjelang gerakan sujud, tsunami menerpa aceh dan bacaannya terhenti karena delisa tak sadarkan diri.
Ketika sadar, delisa ternyata kehilangan banyak hal: bunda dan kakak-kakaknya, sebelah kakinya dan hafalan shalatnya. Yang membuat saya sangat tersentuh adalah, kehilangan segalanya tidak membuatnya hancur, seorang anak berumur 6 tahun mengajarkan bagaimana ikhlasnya melepas hal-hal yang berharga dalam hidupnya. Bahkan yang membuat dia paling sedih adalah kehilangan hafalan shalatnya (sesuatu yang mungkin tidak akan menjadi prioritas sebagian besar dari kita pada umur 6 tahun ketika kehilangan semuanya).
Hafalan Shalat Delisa ~ Editor By. I-One
0 komentar:
Post a Comment