Tidak apa-apa jika kamu takut. Saat dirimu ketakutan, serahkan tanggung jawab pada yang lain. Mintalah pertolongan. Tidak ada yang lebih buruk dari seorang dokter yang lebih mementingkan egonya di atas keselamatan pasien".
Seorang dokter muda yang melakukan pembedahan pertamanya dan diejek oleh gurunya. Seorang wanita tua diselamatkan dari kematian, sedangkan dia tidak ingin hidup lebih lama lagi. Seorang dokter bedah terkenal mengalami stres akibat tumor otak yang ganas. Seorang ibu dari seorang anak penderita leukimia yang mulai merasa putus asa ...
Dalam memoar yang ditulis dengan detial dan indah ini, Mohamed Khadra menceritakan kisah-kisah dari kehidupannya sebagai seorang dokter bedah, dari tahun-tahun menjalani pelatihan melelahkan sampai malam-malam menguras tenaga untuk memenuhi panggilan tugas. Dia mengenang kembali para dokter dan pasien yang telah membentuk kariernya: keberanian, kesedihan, kekaguman, dan kebencian yang telah berlalu di bawah pisau operasinya: dan kehidupan para dokter yang hancur, terkalahkan oleh tekanan dari pekerjaannya.
Dengan memberontak melawan rintangan-rintangan dari keluarga dan masyarakat, seorang perempuan muda bangsa Mesir memutuskan untuk studi ilmu kedokteran, dan menjadi satu-satunya perempuan dalam kelas. Keterlibatannya dengan mahasiswa lainnya –demikian pula dengan mayat laki-laki maupun perempuan di ruang otopsi- mengintensifkan pencarian identitas dirinya. Disadarinya bahwa kaum lelaki bukanlah nabi, seperti yang diajarkan ibunya. Tetapi juga bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan setiap hal, dan bahwa ia tidak dapat dipuaskan dengan hidup dalam suatu kehidupan yang semata-mata mengandalkan pada pemikiran saja.
Setelah perkawinannya yang singkat dan tidak bahagia, ia lebih menekuni profesinya, dan menjadi dokter yang sukses dan kaya-raya. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, ia makin menyadari ketidakadilan dan kemunafikan yang hidup dalam masyarakat. Ia akhirnya mendapat penyelesaian bukan melalui pengasingan diri, melainkan melalui hubungan dengan orang lain.
Seorang dokter muda yang melakukan pembedahan pertamanya dan diejek oleh gurunya. Seorang wanita tua diselamatkan dari kematian, sedangkan dia tidak ingin hidup lebih lama lagi. Seorang dokter bedah terkenal mengalami stres akibat tumor otak yang ganas. Seorang ibu dari seorang anak penderita leukimia yang mulai merasa putus asa ...
Dalam memoar yang ditulis dengan detial dan indah ini, Mohamed Khadra menceritakan kisah-kisah dari kehidupannya sebagai seorang dokter bedah, dari tahun-tahun menjalani pelatihan melelahkan sampai malam-malam menguras tenaga untuk memenuhi panggilan tugas. Dia mengenang kembali para dokter dan pasien yang telah membentuk kariernya: keberanian, kesedihan, kekaguman, dan kebencian yang telah berlalu di bawah pisau operasinya: dan kehidupan para dokter yang hancur, terkalahkan oleh tekanan dari pekerjaannya.
Dengan memberontak melawan rintangan-rintangan dari keluarga dan masyarakat, seorang perempuan muda bangsa Mesir memutuskan untuk studi ilmu kedokteran, dan menjadi satu-satunya perempuan dalam kelas. Keterlibatannya dengan mahasiswa lainnya –demikian pula dengan mayat laki-laki maupun perempuan di ruang otopsi- mengintensifkan pencarian identitas dirinya. Disadarinya bahwa kaum lelaki bukanlah nabi, seperti yang diajarkan ibunya. Tetapi juga bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan setiap hal, dan bahwa ia tidak dapat dipuaskan dengan hidup dalam suatu kehidupan yang semata-mata mengandalkan pada pemikiran saja.
Setelah perkawinannya yang singkat dan tidak bahagia, ia lebih menekuni profesinya, dan menjadi dokter yang sukses dan kaya-raya. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, ia makin menyadari ketidakadilan dan kemunafikan yang hidup dalam masyarakat. Ia akhirnya mendapat penyelesaian bukan melalui pengasingan diri, melainkan melalui hubungan dengan orang lain.
1 komentar:
patutlah saya membaca novel ini, menceritakan teman sejawat saya
Post a Comment