Loading

Kumpulan Cerpen Islami Edisi 1

Karma - Izzatul Jannah
Tidak ada yang salah dari sosok laki-laki berusia tiga puluhan itu. Hidupnya cukup sukses untuk laki-laki seusianya. Ia memiliki jabatan penting di perusahaannya. Bahkan ia sosok yang nyaris sempurna dengan predikatnya yang juga sebagai seorang da’i. Maha Pemurah Allah yang telah memberinya kemudahan-kemudahan hidup.

Sungguh Maha Suci Allah yang telah memberinya putri-putri yang begitu membanggakan! Setiap kali kejuaraan digelar, setiap kali ranking kelas diumumkan, hamper pasti putri-putrinya yang mendapat perdikat-predikat terbaik. Belum lagi, istrinya yang memiliki kedudukan sosial yang cukup terhormat sebagai salah satu staf pengajar di perguruan tinggi negeri di kotaku.

Pak Sukarma. Tidak ada yang salah dengan laki-laki itu, ia begitu terhormat di mata pegawaipegawainya, pantas dikagumi di kalangan rekan kerjanya, kecuali lidahnya yang tajam. Demi Allah tidak ada yang salah dengan sosok dirinya kecuali lidahnya. Lidah Pak Karma telah melibas belasan bahkan mungkin puluhan kali harga diri, martabat, bahkan kehormatan orang lain.
 
Ini bukan semata-mata ketersinggungan. Bukan semata-mata harga diriku sebagai seorang laki-laki diinjak-injak, tidak! Lebih dari itu. Lidah Pak Sukarma sudah merobek-robek persaudaraan, kehangatan, dan manisnya kasih sesame muslim, bahkan boleh jadi lidah Pak Sukarma sudah melecehkan kejujuran, kebenaran, yang konsekuensinya adalah berhadapan dengan Sang Pemilik Kebenaran. Terbayang sosoknya yang tinggi besar dengan mulut dan lidahnya berbusa-busa menjelaskan dan mentafsiri ayat-ayat Al-Qur’an dengan mata terbeliak dan kerut merut di dahi menandakan kesungguhan. Sementara saat itu juga aku merasakan hawa busuk kebohongan karena lidahnya yang merah tanpa tulang itu pula yang menari-nari kesana kemmari menebar kebencian. Tiba-tiba aku merasa muak.

***
“Lho, Sri, kenapa?” tanyaku keheranan. Kulihat Sri tertelungkup di meja dekat toilet kantor. Bahunya terguncang-guncang seperti sedang menangis hebat.
 
“Pak Kar…ma….., Mas….” Sahutnya lirih disela isak tangisnya. Aku terdiam. Jangan-jangan lidah laki-laki itu berulah lagi.
 
“Sri tahu … Sri tidak pantas menolak pria yang disodorkan Pak Karma untuk jadi suami Sri, … ta … ta…pi….tapi…tapi…,” Sri meledakkan tangisnya. Aku semakin mematung. Kucoba menghela nafas panjang. Tapi ya Allah … berat sekali. Pak Karma memang pernah ingin menjodohkan Sri – salah seorang pegawainya – dengan seorang laki-laki yang menurut Pak Karma pantas mendampingi Sri. Kata beliau, laki-laki itu jujur, sopan, seorang da’i yang tangguh …

Tapi Sri menolaknya. Dan bagi Pak Karma ini bukan sesuatu yang wajar untuk diterima. Maka lidahnya sering beraksi, mengolok-olok, merendahkan bahkan terkesan menghina Sri. Hanya karena Sri menolak laki-laki pilihannya.
 
***
“Yaaaaaaa…. Memang tabiatnya begitu, Mas………. Mau bagaimana lagi ?” begitu selalu kata Watik, istriku.
 
“Tapi seharusnya beliau sebagai atasan kan harus bisa menjaga perasaan pegawai pegawainya, Tik … “ sanggahku.

“Ya…. Idealnya memang begitu….. “ sahut Watik sambil terus memijit kakiku yang salah urat tadi pagi. Kupejamkan mataku menikmati pijatan jemari istriku yang panjang dan lentik. Butiran air mata sebesar-besar biji jagung berwarna bening berloncatan dari keningku lalu mengaliri pelipis dan sebagian meleleh, mencair terasa asin dalam mulutku. Aku mengerang ketika Watik memijit uratku.

“Wong… beliau itu kan pemimpin, atasan…. Seharusnya bisa ngayomi …..”

Tiba-tiba tersengar suara tangis. Si kecil Nuha terjaga dari tidurnya. Serentak Watik bangun dan tergopoh-gopoh menuju kamar si Kecil. Tinggal aku sendiri di kamar menggantung katakataku, menyesalkan Pak Karma.

***
Si Hasno juga pernah terkena si pahit lidah -- itu julukan Watik untuk Pak Karma -- . Ketika Hasno sudah hamper tiga tahun lebih menikah, dan belum-belum juga dikarunia anak. Lidah Pak Karma pun tanpa susah payah menjadikan hal itu sebagai bahan olok-olokan.

“Wah, bagaimana ini …… kamu ndak niat punya anak ya Has ? Jangan-jangan, ndak tau caranyaaaaaa…… gimana perlu diajari to ……? Oala….. Has……Has…… Hahahaha….”

Darahku mendidih saat itu, apalagi Hasno. Kulihat kedalam relung matanya yang hitam, ada gelombang kemarahan yang dahsyat, sekaligus kesedihan yang dingin seperti bongkahan es. Hasno saat itu hanya melirik Pak Karma tajam. Lalu pergi meninggalkannya tanpa suara, tanpa rasa hormat. Yang tinggal kini di ruagan itu hanya aku dan seringai Pak Karma dengan lidahnya yang bagi penciumanku berbau busuk., lebih busuk dari bangkai. Tidak seorangpun menginginkan kemandulan. Tidak seorang pun yang tidak menginginkan keturunan. Kemandulan dan ketidakmampuan memiliki keturunan bukan pilihan siapapun. Ia hanya mendatangkan rasa duka, masgul dan ketidaktenangan seprti menunggu-nunggu sesuatu yang tidak pasti, ia ibarat luka yang menganga karena diabetes, yang tak pernah kering itu. Pedih, ngilu sampai ke tulang sumsum. Bagiku kata-kata Pak Karma pada Hasno seperti menggarami luka yang menganag itu.






Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment

 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: