Memuat kisah-kisah zaman Revolusi, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dibagi secara kronologis menjadi tiga bagian: Jaman Jepang, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Dari buku yang tipis ini, kita dapat melihat semacam evolusi Idrus dari gaya romantik ke gaya khas satir tragikomiknya yang belum banyak dianut saat itu. Ringkas, lincah, dan lugas, Idrus mengolok-olok Jepang, dan menjungkirbalikkan “kesakralan” heroisme revolusi.
Dua cerita di bagian pertama, Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam, ditulis di awal perkenalannya dengan figur seperti Sutan Takdir Alisjahbana di Balai Pustaka, dan kental menunjukkan pengaruh romantis jaman itu. Namun di bawah pengawasan ketat sensor Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang, kedua cerita itu mengalami nasib yang sama dengan majalah Pujangga Baru yang dibredel: dilarang beredar karena dianggap tidak mencerminkan semangat “ketimuran” (Judul “Ave Maria” dianggap kebarat-baratan!), bahkan dikatakan mengandung anasir propaganda untuk melawan Jepang.
Kendati demikian, Idrus dengan sembunyi-sembunyi tetap menulis, dan hasil catatan-catatan yang ia buat dengan rahasia ini, dirangkum dalam bagian Corat-Coret di Bawah Tanah. Di bawah judul yang sedikit mengingatkan kita pada Notes from the Underground Dostoyevsky, kita menemukan cerita-cerita tajam realistis humoris, berdasarkan apa yang disebut Jassin sebagai “kesederhanaan baru”. Yang menarik adalah, Idrus menulis sebagian karya-karya yang tajam ini, saat dia bekerja di Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa, yang berada di bawah Seksi Propaganda Sendenbu, setelah ia pindah dari Balai Pustaka karena tak puas dengan gajinya yang kecil. Dalam cerita Pasar Malam Jaman Jepang kita bisa membaca sedikit mengenai Sendenbu ini:
Semua orang telah mengerti arti Sendenbu. Sendenbu, barisan propaganda. Tapi mereka belum mengerti, mengapa Sendenbu itu selalu harus campur tangan. Sandiwara dengan bantuan Sendenbu, perkumpulan musik dengan bantuan Sendenbu, pertandingan dbola dengan bantuan Sendenbu.
Tapi mereka bergirang hati juga, sebab apa-apa yang dicampuri Sendenbu selalu menarik hati.
“Corat-coret” Idrus memberi kita gambaran gamblang mengenai kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu. Menggelitik, acuh, kerap mencemooh, terkadang humoris, selalu tajam, Idrus menangkap apa yang disebut Jassin sebagai “sikap jiwa masa bodoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap besar di masa itu.”
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, oleh Idrus (1948). No. Panggil: F IDR Ave
Dalam Fujinkai, kita melihat kehebohan Nyonya Sastra mempersiapkan rapat Fujinkai di kampung A, “repot betul, seperti hendak mengawinkan anaknya. Pinjam meminjam kursi, panggil memanggil anggota.” Dengan tajam kita membaca timpalan ejekan dan sinisme dari para peserta rapat, kekonyolan kehebohan sok resmi tanpa juntrungan yang jelas, sampai kemarahan peserta yang harus menghabiskan banyak waktunya mendengarkan omong kosong hapalan hanya untuk kemudian dimintai sumbangan seringgit demi membuat “kuwe-kuwe” untuk prajurit Nippon yang sakit. “Nyonya Sastra mengapus keringat di keningnya. Rapat bubar dengan selamat.” Kita tertawa (getir?) membacanya, mengingat hingga sekarangpun, situasi “rapat” birokratis sepertinya juga tidak banyak berubah.
Sikap mencemooh ini terus tertuang bahkan setelah Jepang angkat kaki, dalam bagian terakhir, Sesudah 17 Agustus 1945. Di sini kita dapati satu novelet Idrus yang sangat terkenal, mengusung peristiwa besar “Hari Pahlawan” di kota kita, bahkan menggunakannya sebagai judulnya,Surabaya. Seolah tak peduli dengan gegap-gempita revolusi, Idrus membabat habis gambaran heroisme 10 November. Para pemuda, diibaratkannya sebagai cowboy dan bandit. Mereka berjalan dengan dada membusung, revolver dan belati di pinggang: “Revolver-revolver guna menembak pencuri-pencuri sapi dan pisau-pisau belati… guna perhiasan.” Tapi pencurian sapi tidak pernah terjadi, dan bunyi letupan-letupan revolver, ternyata ditembakkan ke atas, “ke tempat Tuhan lama.”
Kekacauan kondisi kaum pelarian dengan segala kesengsaraan dan kekonyolannya, digambarkan dengan sinis dan tajam, terkadang kasar dan jenaka. Seorang pemuda menyamar menjadi orang tua, tertembak dan dihajar habis-habisan. Kedatangan wartawan mesum dari Jakarta dengan dada dan pantat tipis, teriakan trauma seorang ibu yang menjadi pemandangan sehari-hari dan ditinggal orang tidur, pemeriksaan badan yang semena-mena di stasiun-stasiun, hingga pelarian-pelarian perempuan yang “banyak dapat makanan dan cinta pengawal-pengawal”, dengan segala tukang catut dan “penyakit raja singa” (sipilis).
Seorang perempuan dihajar setengah mati atas tudingan mata-mata, karena ia mengenakan selendang merah, baju putih dan selop biru (yang ternyata, setelah ditilik lebih jeli, berwarna hitam!). Citra bambu runcing sebagai satu-satunya senjata perjuangan jaman itu pun, dipertanyakan, seiring dengan tindakan-tindakan semena-mena anggota tentara yang “banyak bertentangan dengan adat kesopanan”.
Novelet Surabaya pertama kali diterbitkan oleh Merdeka Press di tahun 1947, dan menimbulkan banyak kontroversi. Idrus dicap kontrarevolusi karena penggambaran karikatur (skeptis)nya mengenai pertempuran Surabaya (dan revolusi pada umumnya). Tapi memang, kisah-kisah bandit yang menjelma menjadi pejuang (dadakan) dan beraksi bak koboi di berbagai kota di Jawa, tercatat dalam sejarah hingga beberapa tahun setelah Surabaya terbit. Sesuai dengan sinisme massa yang meragukan janji-janji revolusi dan heroisme di tengah-tengah kemelaratan dan kesengsaraan jaman, bisa jadi Idrus hanya menggambarkan kisah dan keluhan yang kerap bersliweran saat itu.
“Di kala mana sedang revolusi berkobar dengan hebatnya dengan semboyan-semboyan yang berapi-api, pengarang telah melihat dan mengeritik berbagai kekurangan yang dilihatnya,” tulis Jassin dalam pendahuluan buku ini. Tak jarang ia didamprat karena tulisan-tulisannya dianggap menghina revolusi. Idrus, dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi kita banyak kritik dan laporan sejarah, untuk tidak tenggelam dalam sekedar simbol dan semboyan mendayu-dayu.
Dua cerita di bagian pertama, Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam, ditulis di awal perkenalannya dengan figur seperti Sutan Takdir Alisjahbana di Balai Pustaka, dan kental menunjukkan pengaruh romantis jaman itu. Namun di bawah pengawasan ketat sensor Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan Jepang, kedua cerita itu mengalami nasib yang sama dengan majalah Pujangga Baru yang dibredel: dilarang beredar karena dianggap tidak mencerminkan semangat “ketimuran” (Judul “Ave Maria” dianggap kebarat-baratan!), bahkan dikatakan mengandung anasir propaganda untuk melawan Jepang.
Kendati demikian, Idrus dengan sembunyi-sembunyi tetap menulis, dan hasil catatan-catatan yang ia buat dengan rahasia ini, dirangkum dalam bagian Corat-Coret di Bawah Tanah. Di bawah judul yang sedikit mengingatkan kita pada Notes from the Underground Dostoyevsky, kita menemukan cerita-cerita tajam realistis humoris, berdasarkan apa yang disebut Jassin sebagai “kesederhanaan baru”. Yang menarik adalah, Idrus menulis sebagian karya-karya yang tajam ini, saat dia bekerja di Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa, yang berada di bawah Seksi Propaganda Sendenbu, setelah ia pindah dari Balai Pustaka karena tak puas dengan gajinya yang kecil. Dalam cerita Pasar Malam Jaman Jepang kita bisa membaca sedikit mengenai Sendenbu ini:
Semua orang telah mengerti arti Sendenbu. Sendenbu, barisan propaganda. Tapi mereka belum mengerti, mengapa Sendenbu itu selalu harus campur tangan. Sandiwara dengan bantuan Sendenbu, perkumpulan musik dengan bantuan Sendenbu, pertandingan dbola dengan bantuan Sendenbu.
Tapi mereka bergirang hati juga, sebab apa-apa yang dicampuri Sendenbu selalu menarik hati.
“Corat-coret” Idrus memberi kita gambaran gamblang mengenai kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu. Menggelitik, acuh, kerap mencemooh, terkadang humoris, selalu tajam, Idrus menangkap apa yang disebut Jassin sebagai “sikap jiwa masa bodoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap besar di masa itu.”
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, oleh Idrus (1948). No. Panggil: F IDR Ave
Dalam Fujinkai, kita melihat kehebohan Nyonya Sastra mempersiapkan rapat Fujinkai di kampung A, “repot betul, seperti hendak mengawinkan anaknya. Pinjam meminjam kursi, panggil memanggil anggota.” Dengan tajam kita membaca timpalan ejekan dan sinisme dari para peserta rapat, kekonyolan kehebohan sok resmi tanpa juntrungan yang jelas, sampai kemarahan peserta yang harus menghabiskan banyak waktunya mendengarkan omong kosong hapalan hanya untuk kemudian dimintai sumbangan seringgit demi membuat “kuwe-kuwe” untuk prajurit Nippon yang sakit. “Nyonya Sastra mengapus keringat di keningnya. Rapat bubar dengan selamat.” Kita tertawa (getir?) membacanya, mengingat hingga sekarangpun, situasi “rapat” birokratis sepertinya juga tidak banyak berubah.
Sikap mencemooh ini terus tertuang bahkan setelah Jepang angkat kaki, dalam bagian terakhir, Sesudah 17 Agustus 1945. Di sini kita dapati satu novelet Idrus yang sangat terkenal, mengusung peristiwa besar “Hari Pahlawan” di kota kita, bahkan menggunakannya sebagai judulnya,Surabaya. Seolah tak peduli dengan gegap-gempita revolusi, Idrus membabat habis gambaran heroisme 10 November. Para pemuda, diibaratkannya sebagai cowboy dan bandit. Mereka berjalan dengan dada membusung, revolver dan belati di pinggang: “Revolver-revolver guna menembak pencuri-pencuri sapi dan pisau-pisau belati… guna perhiasan.” Tapi pencurian sapi tidak pernah terjadi, dan bunyi letupan-letupan revolver, ternyata ditembakkan ke atas, “ke tempat Tuhan lama.”
Kekacauan kondisi kaum pelarian dengan segala kesengsaraan dan kekonyolannya, digambarkan dengan sinis dan tajam, terkadang kasar dan jenaka. Seorang pemuda menyamar menjadi orang tua, tertembak dan dihajar habis-habisan. Kedatangan wartawan mesum dari Jakarta dengan dada dan pantat tipis, teriakan trauma seorang ibu yang menjadi pemandangan sehari-hari dan ditinggal orang tidur, pemeriksaan badan yang semena-mena di stasiun-stasiun, hingga pelarian-pelarian perempuan yang “banyak dapat makanan dan cinta pengawal-pengawal”, dengan segala tukang catut dan “penyakit raja singa” (sipilis).
Seorang perempuan dihajar setengah mati atas tudingan mata-mata, karena ia mengenakan selendang merah, baju putih dan selop biru (yang ternyata, setelah ditilik lebih jeli, berwarna hitam!). Citra bambu runcing sebagai satu-satunya senjata perjuangan jaman itu pun, dipertanyakan, seiring dengan tindakan-tindakan semena-mena anggota tentara yang “banyak bertentangan dengan adat kesopanan”.
Novelet Surabaya pertama kali diterbitkan oleh Merdeka Press di tahun 1947, dan menimbulkan banyak kontroversi. Idrus dicap kontrarevolusi karena penggambaran karikatur (skeptis)nya mengenai pertempuran Surabaya (dan revolusi pada umumnya). Tapi memang, kisah-kisah bandit yang menjelma menjadi pejuang (dadakan) dan beraksi bak koboi di berbagai kota di Jawa, tercatat dalam sejarah hingga beberapa tahun setelah Surabaya terbit. Sesuai dengan sinisme massa yang meragukan janji-janji revolusi dan heroisme di tengah-tengah kemelaratan dan kesengsaraan jaman, bisa jadi Idrus hanya menggambarkan kisah dan keluhan yang kerap bersliweran saat itu.
“Di kala mana sedang revolusi berkobar dengan hebatnya dengan semboyan-semboyan yang berapi-api, pengarang telah melihat dan mengeritik berbagai kekurangan yang dilihatnya,” tulis Jassin dalam pendahuluan buku ini. Tak jarang ia didamprat karena tulisan-tulisannya dianggap menghina revolusi. Idrus, dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi kita banyak kritik dan laporan sejarah, untuk tidak tenggelam dalam sekedar simbol dan semboyan mendayu-dayu.
1 komentar:
hm,,, Sepertinya novel yang bagus,, saya jadi penasaran,,,, :D
Kunjungi gubug saya ya..
www.keluargale.co.cc
Post a Comment