Sebuah buku yang di-breidel selalu mengundang minat baca yang tinggi.  Kekuatan terbesar dari buku seperti ini terletak pada kecurigaan dan  rasa penasaran terhadap alasan dibalik pem-breidel-an itu sendiri.  Implikasi moral bagi penulisnya pun jelas, Chen Guidi dan Wu Chuntao  harus membayar dengan teror atas keselamatan keluarga mereka.Secara garis besar, buku ini terbagi kedalam dua bagian yang tak  terpisahkan. Bagian pertama menceritakan kehidupan petani cina yang  sangat menderita oleh pemungutan pajak liar oleh perangkat desa. Pajak  ini menyimpang jauh dari ketetapan elit partai maupun pemerintah pusat  yang bertujuan untuk memberikan keringanan pajak khususnya bagi para  petani yang merupakan mayoritas di cina.
Penderitaan petani yang dipaparkan dalam buku ini nyaris melampaui  jangkauan imajinasi dan pikiran sehat. Angka pajak ilegal yang  dibebankan melampaui penghasilan petani dan harus dibayarkan tepat pada  saat jatuh tempo. Tidak ada toleransi terhadap para pemberontak, sebutan  bagi petani malang yang tidak punya cukup uang untuk membayar pajak  desa. Dalam hal ini perangkat desa akan menyasar harta mereka yang  nilainya tak seberapa sebagai pengganti seperti, radio, perabot  seadanya, sepeda, ternak, rumah, atau lebih tepatnya disebut gubuk,  maupun secuil tanah semata wayang. Jika itupun tidak ada, mereka harus  menyerahkan kepemilikan yang paling asasi yaitu keselamatan diri,  keluarga bahkan nyawa yang memang sudah seujung rambut karena kelaparan.
Teror dan pembunuhan yang dilakukan perangkat desa disebabkan oleh telat  bayar pajak sudah menjadi hal yang lumrah. Demi gaya hidup mewah,  praktik ini terus dipelihara dan dipertahankan oleh pejabat  mulai dari tingkat desa sampai dengan propinsi, bahkan tidak tertutup  kemungkinan pada tingkat pusat di Beijing. Para pejabat ini seakan  memintal diri mereka membentuk gurita kejahatan yang mengakar sampai ke  inti bumi.
Petani adalah manusia biasa yang memiliki batas kesabaran. Sampai pada  titik dimana melihat pejabat seperti melihat anjing, beberapa pemuda  kampung yang melek huruf dan melek hukum ala kadar, berjuang untuk  kepentingan desanya ketingkat pemerintahan lebih tinggi. Jangankan  didengarkan, mereka malah diusir layaknya binatang dari kantor-kantor  pemerintah yang megah. Belum lagi harus berhadapan dengan preman bengis  yang disiagakan penuh sepanjang jalan menuju Beijing. Akan tetapi tekat  sudah bulat, darah kehilangan warna dan kuburan laiknya kebahagian yang  menunggu untuk diraih. Perlu diingat bahwa ini bukanlah cerita fiktif  belaka, melainkan hasil penelitian dan pengalaman penulis buku yang juga  berasal dari kelas petani.
Di bagian kedua, Chen Guidi dan Wu Chuntao tidak menutup mata terhadap  beberapa abdi negara ataupun loyalis partai yang membela petani meskipun  mengorbankan karir atau keselamatan keluarga. Keringat dan airmata  mereka menetes untuk petani. Dibagian ini dibeberkan juga  kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat Cina yang bertujuan untuk  meringankan beban petani dan keseriusan pemerintah pusat untuk menindak  tegas penyelewengan pajak dengan hukum yang keras.
Sebuah negara bekas komunis yang diperkirakan akan menjadi raksasa ekonomi,  dan berpotensi menjadi penyeimbang kekuatan dunia akan monopoli AS,  ternyata selama ini melakukan maksiat besar di balik selimut merahnya  (baca: undercover ). Chen dan Wu mengutip Mao Zedong yang menegaskan  bahwa revolusi bukanlah makan malam. Akan tetapi pada kenyataannya  mereka menemukan banyak kotoran menempal pada gigi pejabat cina  mutakhir.
Buku ini juga memberi seberkas kecurigaan terhadap maksiat lain di  negara lain yang belum terkuak jelas. Akan tetapi amisnya sudah lama  menyebar di masyarakat.
CHINA UNDERCOVER ~ Editor By. I-One


0 komentar:
Post a Comment