Selain kupersembahkan untuk Pulau kecil tempat aku lahir, Belitong dan masyarakatnya yang unik, novel ini terutama sekali kupersembahkan padamu Kawan, pembaca novel-novelku. Tanpamu, semuanya tak berarti.
Aku tahu, novel terakhirku sebelum Dwilogi Padang Bulan ini: Maryamah Karpov, telah membuatmu sedikit garuk-garuk kepala. Sudah tebal, khayalannya melantur sana-sini, kisahnya tak selesai pula. Judulnya Maryamah Karpov, tapi tak ada kisah Maryamah Karpov. Dan aku maklum. Bahkan sebelum novel itu dulu selesai kutulis, aku sudah bisa memperkirakan reaksi pembaca.
Namun Kawan, sesudah engkau membaca Dwilogi Padang Bulan, kuharap dirimu paham pula mengapa aku menulis Maryamah Karpov begitu rupa. Karena, tanpa memahami kekhasan dan keeksentrikan sosiologi dari mana aku berasal, barangkali akan agak susah menerima bahwa sedikit banyak Dwilogi Padang Bulan inspired by a true story.
Maka yang kulakukan di dalam Maryamah Karpov adalah menggambarkan cultural landscapedan moralitas sebuah masyarakat di mana kemudian di atasnya kuletakkan kisah Dwilogi Padang Bulan. Ini adalah desain yang sangat sengaja sesuai dinamika kreativitas.
Melalui pemahaman ini, mudah-mudahan dirimu dapat melihat Maryamah karpov dengan cara yang berbeda, dan ketika menyandingkan Maryamah Karpov, Padang Bulan, dan Cinta di dalam Gelas, lalu membacanya secara berurutan, akan mendapat kesan yang baru tentang Maryamah Karpov.
Saat mempersiapkan ketiga novel itu, aku menjadi tergila-gila pada riset budaya. Sekarang aku berterima kasih, padahal dulu aku suka menggerutu, mengapa untuk kuliah teori ekonomi, mata kuliah budaya diwajibkan bagi kami-di Sheffield Hallam University-untuk diambil selama 2 semester. Pun aku telah terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah DR. Hofstede- yang metodologinya banyak kupakai untuk riset novel ini-sekarang, aku menyesal.
Riset untuk menulis dwilogi Padang Bulan telah menyita waktu hampir 3 tahun. Satu tahun sendiri habis untuk berkomunikasi dengan pengajarku dulu tentang cara memodifikasi teori Hofstede –sebuah teori yang aslinya dibuat untuk riset corporate culture-dan terutama apakah modifikasi itu secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Hasil riset itu adalah bertumpuk-tumpuk data setinggi dada, dan bagaimana membunyikan data itu menjadi novel-sebuah karya sastra, kembali membuat kepala pening.
Sebab, aku yang tak tahu menahu soal sastra ini, tiba-tiba paham, bahwa riset bukan melulu ditujukan untuk mencari bahan yang akan ditulis, namun untuk menemukan dan menentukan apa yang tidak akan/tidak mau/tidak boleh ditulis. Bahwa hanya dengan menulis sesuatu tentang orang kecil, sesuatu yang memarahi pemerintah, sesuatu yang begitu surealisnya sampai tak seorangpun mengerti maksudnya-termasuk penulisnya sendiri, dan hanya dengan merubah kata cinta menjadi renjana, sedih menjadi nestapa, dan maling menjadi bramacarah, apakah serta merta dapat disebut sastra?
Riset itu, juga tiba-tiba membuatku paham bahwa menulis buku yang bagus sesungguhnya sangat tidak gampang. Lalu sampailah aku pada satu kesimpulan, bahwa sastra tak ubahnya sepak bola, semua orang pandai membicarakannya, semua orang pandai berkomentar. Dan begitu mudahnya seseorang dapat menyitir perkataan sastrawan besar pada masa listrik belum ditemukan manusia, lalu melemparkannya ke sebuah forum, agar ia tampak lihai. Nyatanya, amat sedikit orang yang benar-benar mengerti sastra. Sedih. Lebih dari itu, Argentina-tim kesayanganku telah kalah di piala dunia 2010. Pedih. Kurasa Veron musti belajar cara yang betul dalam menyundul bola.
Aku, yang masih termasuk orang yang belum memahami sastra, di akhir riset itu lalu tenggelam dalam kebingungan dan mulai dilanda keraguan apakah aku telah termasuk dalam golongan novelis, yang oleh seorang novelis Australia yang baru kukenal di sebuah festival sastra, disebut sebagai novelis kodian. Namun ia pula yang selalu menginspirasiku dengan kalimat canggihnya: let’s bloody do it! Lalu, seseorang di US Embassy menelponku dan mengatakan bahwa aku telah dinominasikan untuk sebuah program beasiswa writing di University of Iowa. Maka berbekal dua hal itu aku kemudian berani menulis Dwilogi Padang Bulan. Perkara novel ini bermutu atau tidak, nanti bolehlah kita bicarakan kalau aku sudah selesai sekolah. Sebab sekolah tiga bulan itu akan menjadi pengalaman pertamaku masuk kelas untuk belajar menulis sastra.
Akhirnya Kawan, mari kita jangan berpusing-pusing. Selamat membaca Dwilogi Padang Bulan. Nikmati, jangan pikirkan. Biarlah tugas berpikir kita serahkan pada penerbit buku. Lalu usai membacanya, cepat-cepat bercermin. Dan lihatlah di situ, di dalam cermin itu, betapa indahnya dirimu.
Aku tahu, novel terakhirku sebelum Dwilogi Padang Bulan ini: Maryamah Karpov, telah membuatmu sedikit garuk-garuk kepala. Sudah tebal, khayalannya melantur sana-sini, kisahnya tak selesai pula. Judulnya Maryamah Karpov, tapi tak ada kisah Maryamah Karpov. Dan aku maklum. Bahkan sebelum novel itu dulu selesai kutulis, aku sudah bisa memperkirakan reaksi pembaca.
Namun Kawan, sesudah engkau membaca Dwilogi Padang Bulan, kuharap dirimu paham pula mengapa aku menulis Maryamah Karpov begitu rupa. Karena, tanpa memahami kekhasan dan keeksentrikan sosiologi dari mana aku berasal, barangkali akan agak susah menerima bahwa sedikit banyak Dwilogi Padang Bulan inspired by a true story.
Maka yang kulakukan di dalam Maryamah Karpov adalah menggambarkan cultural landscapedan moralitas sebuah masyarakat di mana kemudian di atasnya kuletakkan kisah Dwilogi Padang Bulan. Ini adalah desain yang sangat sengaja sesuai dinamika kreativitas.
Melalui pemahaman ini, mudah-mudahan dirimu dapat melihat Maryamah karpov dengan cara yang berbeda, dan ketika menyandingkan Maryamah Karpov, Padang Bulan, dan Cinta di dalam Gelas, lalu membacanya secara berurutan, akan mendapat kesan yang baru tentang Maryamah Karpov.
Saat mempersiapkan ketiga novel itu, aku menjadi tergila-gila pada riset budaya. Sekarang aku berterima kasih, padahal dulu aku suka menggerutu, mengapa untuk kuliah teori ekonomi, mata kuliah budaya diwajibkan bagi kami-di Sheffield Hallam University-untuk diambil selama 2 semester. Pun aku telah terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah DR. Hofstede- yang metodologinya banyak kupakai untuk riset novel ini-sekarang, aku menyesal.
Riset untuk menulis dwilogi Padang Bulan telah menyita waktu hampir 3 tahun. Satu tahun sendiri habis untuk berkomunikasi dengan pengajarku dulu tentang cara memodifikasi teori Hofstede –sebuah teori yang aslinya dibuat untuk riset corporate culture-dan terutama apakah modifikasi itu secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Hasil riset itu adalah bertumpuk-tumpuk data setinggi dada, dan bagaimana membunyikan data itu menjadi novel-sebuah karya sastra, kembali membuat kepala pening.
Sebab, aku yang tak tahu menahu soal sastra ini, tiba-tiba paham, bahwa riset bukan melulu ditujukan untuk mencari bahan yang akan ditulis, namun untuk menemukan dan menentukan apa yang tidak akan/tidak mau/tidak boleh ditulis. Bahwa hanya dengan menulis sesuatu tentang orang kecil, sesuatu yang memarahi pemerintah, sesuatu yang begitu surealisnya sampai tak seorangpun mengerti maksudnya-termasuk penulisnya sendiri, dan hanya dengan merubah kata cinta menjadi renjana, sedih menjadi nestapa, dan maling menjadi bramacarah, apakah serta merta dapat disebut sastra?
Riset itu, juga tiba-tiba membuatku paham bahwa menulis buku yang bagus sesungguhnya sangat tidak gampang. Lalu sampailah aku pada satu kesimpulan, bahwa sastra tak ubahnya sepak bola, semua orang pandai membicarakannya, semua orang pandai berkomentar. Dan begitu mudahnya seseorang dapat menyitir perkataan sastrawan besar pada masa listrik belum ditemukan manusia, lalu melemparkannya ke sebuah forum, agar ia tampak lihai. Nyatanya, amat sedikit orang yang benar-benar mengerti sastra. Sedih. Lebih dari itu, Argentina-tim kesayanganku telah kalah di piala dunia 2010. Pedih. Kurasa Veron musti belajar cara yang betul dalam menyundul bola.
Aku, yang masih termasuk orang yang belum memahami sastra, di akhir riset itu lalu tenggelam dalam kebingungan dan mulai dilanda keraguan apakah aku telah termasuk dalam golongan novelis, yang oleh seorang novelis Australia yang baru kukenal di sebuah festival sastra, disebut sebagai novelis kodian. Namun ia pula yang selalu menginspirasiku dengan kalimat canggihnya: let’s bloody do it! Lalu, seseorang di US Embassy menelponku dan mengatakan bahwa aku telah dinominasikan untuk sebuah program beasiswa writing di University of Iowa. Maka berbekal dua hal itu aku kemudian berani menulis Dwilogi Padang Bulan. Perkara novel ini bermutu atau tidak, nanti bolehlah kita bicarakan kalau aku sudah selesai sekolah. Sebab sekolah tiga bulan itu akan menjadi pengalaman pertamaku masuk kelas untuk belajar menulis sastra.
Akhirnya Kawan, mari kita jangan berpusing-pusing. Selamat membaca Dwilogi Padang Bulan. Nikmati, jangan pikirkan. Biarlah tugas berpikir kita serahkan pada penerbit buku. Lalu usai membacanya, cepat-cepat bercermin. Dan lihatlah di situ, di dalam cermin itu, betapa indahnya dirimu.
Download :
0 komentar:
Post a Comment