Loading

Gajah Mada 4 : Perang Bubat - Langit Kresna Hariadi

Perang Bubat (buku Gajah Mada 4 oleh Langit Kresna Hariadi) adalah salah satu tonggak sejarah yang amat penting, kisahnya menjadi pewarna perjalanan Nusantara. (Perang Bubat) Perang yang mengawali kehancuran Majapahit itu menyisakan luka yang amat dalam bagi Jawa dan Sunda. Ini adalah akhir konflik kerajaan Majapahit dan Sunda Galuh, sekaligus kesalahan fatal Mahapatih Gajah Mada di akhir karier-nya yang gilang gemilang.

Sumber permasalahannya sebenarnya adalah kecantikan yang membawa luka. Adalah seorang sekar kedaton Sunda Galuh bernama Dyah Pitaloka Citraresmi memiliki kecantikan yang luar biasa yang terdengar hingga pelosok nusantara. Pada saat itu pula, Prabu Hayam Wuruk sudah cukup umur untuk memiliki seorang permaisuri. Tim intelijen dikerahkan untuk mencari gadis cantik yang cocok dijadikan isteri sang raja, dan salah satunya adalah Dyah Pitaloka.

Namun demikian, ketika antar keluarga saling menyetujui, Mahapatih Gajah Mada memiliki pemikiran lain. Ia memandang bahwa Sunda Galuh harus takluk saat itu juga dan Dyah Pitaloka dianggap sebagai putri seserahan, bukan sebagai calon isteri yang berderajat sama. Perang berkobar yang berujung pada bunuh dirinya Dyah Pitaloka, menyebabkan konflik pribadi Prabu Hayam Wuruk dengan Gajah Mada.

Dyah Pitaloka Citraresmi tersudut karena tidak mampu mengelak dari pinangan yang diajukan Raja Hayam Wuruk. Dyah Pitaloka mau menerima pinangan Prabu Hayam Wuruk dengan catatan bahawa dirinyalah nanti yang akan diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya. Syarat itu ternyata dipenuhi.

Namun, Dyah Pitaloka yang telah terlanjur jatuh cinta kepada Saniscara mendapati sosok itu ternyata hanyalah seorang laki-laki pengecut yang tidak mau bertindak dan hanya kebingungan saat Sekar Kedaton Sunda Guluh itu mempersembahkan jiwa dan raganya.

Mengapa Dyah Pitaloka Sampai Bunuh Diri?

Nampaknya tidak ada sumber sejarah yang menerangkan hingga detail apa motivasi Dyah Pitaloka bunuh diri. Pemahaman umum yang berkembang adalah karena putus asa karena semua keluarganya yang bertempur dengan gagah berani telah dibunuh pasukan Bhayangkara Majapahit. Celah ini, seperti ketika novel-novel bercerita tentang kisah cinta Gayatri (permaisuri Rajapatni — isteri Raden Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana), dimanfaatkan oleh penulis untuk memasukkan drama romantis yang tragis.

Langit Kresna Hariadi, dalam novel Perang Bubat, mengisahkan bahwa Dyah Pitaloka sebenarnya sudah terlanjur jatuh cinta kepada seorang rakyat jelata bernama Saniscara. Saniscara telah menumpahkan perasaan cintanya dengan cara yang paling mengagumkan yang bisa dibayangkan wanita mana pun: lukisan. Goresan-goresan dalam kanvasnya ditorehkan dengan penuh gairah. Dan ternyata cinta yang paling murni dari dua anak manusia ini bersambut, tetapi tidak mungkin bersatu karena faktor politik dan kedudukan serta derajat yang berbeda. Ini memberikan ruang bagi pembaca untuk bereksplorasi tentang apakah cinta harus dihalangi oleh norma-norma seperti itu.

Saya membayangkan, biar bagaimanapun juga, Dyah Pitaloka adalah seorang putri raja. Saya membayangkan ia adalah gadis yang dewasa (kenapa novel selalu melukiskan putri raja itu cantik dan manja?). Ia menyadari ia adalah kunci politik yang berharga dalam hubungan diplomatik dua negara. Jika pernikahannya dengan Prabu Hayam Wuruk bisa menyelamatkan Sunda Galuh dari posisi takluk sebagai negara jajahan, ia akan menekan segala perasaan dan mengutamakan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan cinta pribadinya. Toh, Prabu Hayam Wuruk kan raja yang tampan juga.

Jika ternyata kemudian ia telah ditelikung, dicurangi oleh Mahapatih Gajah Mada, dan keluarganya habis terbunuh, harga dirinya lah yang membuat ia lebih baik mati daripada harus menjadi putri seserahan. Jika keluarganya telah bersikap patriotik heroik, mengapa ia tidak melakukan jalan yang sama? Berdasarkan ini, saya memaklumi putri Sunda yang cantik itu mengambil keris kecil dan menusuk dadanya sendiri.

Tinggal Prabu Hayam Wuruk yang termenung sendirian. Ia memang telah dibakar oleh cinta pada pandangan pertama. Bagaimana pun juga, ia adalah negarawan yang masih berusia pemuda. Masih bergejolak. Itulah awal konfliknya dengan Gajah Mada. Dan mundurnya Gajah Mada dari kancak politik membuat Majapahit tidak menemukan negarawan sehebat dirinya. Itulah awal kemunduran kejayaan Majapahit yang akhirnya runtuh dan digantikan rezim kerajaan-kerajaan Islam (Demak Bintoro).
 
 
 
( Password : Novel I-One )
 
 
 

Gajah Mada 3 : Hamukti Palapa - Langit Kresna Hariadi

Kemarau panjang. Gunung Kampud meletus. Kekeringan melanda setiap jengkal tanah Majapahit.

Pada situasi seperti itulah, ruang perbendaharaan pusaka Majapahit dimasuki orang. Payung Udan Riwis dan Cihna Nagara Gringsing Lobheng Lewih Laka raib dari ruang perbendaharaan istana pada pencurian pertama! Bahkan pada pencurian yang kedua dengan orang yang agaknya berbeda – yang ternyata pencuri kedua ini merasa terkecoh karena Kiai Udan Riwis dan Cihna Nagara sudah tak berada di tempatnya — Ratu Gayatri sempat diculik dari ruang peristirahatannya! Istana Majapahit pun geger. Mengapa justru kedua pusaka itu yang dicuri orang – sebuah payung dan sebuah bendera — dan bukan pusaka lain yang lebih tak ternilai harganya? Untuk apa? Dan bagaimana mungkin Ratu Gayatri selamat tanpa kurang suatu apa dalam penculikan itu?

Telik sandi Bhayangkara pun disebar Gajah Mada. Tak kurang, Gajah Enggon, pentolan pasukan khusus itu pun harus turun tangan sendiri. Sesuai petunjuk Ratu Gayatri, salah seorang yang pernah membatik bendera Cihna Nagara (lambang negara) itu, Gajah Enggon harus memulainya dari Ujung Galuh. Di sana, kehidupannya bahkan akan dimulai dari awal. Dia hanya tak boleh menoleh ke belakang dan diminta mengikuti ke mana terjadi mendung dan hujan akan turun. Sebuah petunjuk yang tentu saja penuh teka-teki.

Bersama dengan Pradabasu, seorang mantan Bhayangkara yang masih banyak membantu Majapahit meski sudah menjadi orang luar, Gajah Enggon melakukan perjalanan ke Ujung Galuh. Dan ternyata, di sanalah “kehidupannya akan dimulai dari awal” memang terjadi.

Gajah Enggon bertemu dengan Kiai Agal yang misterius, yang ternyata mengenal dirinya, dan tanpa disangkanya, sudah memiliki rencana yang tak pernah disangkanya: orang misterius itu hendak menikahkan dirinya dengan Rahyi Suhenok, cucunya sendiri! Dan disanalah keduanya baru tahu, bahwa Kiai Agal tidak lain adalah Kiai Pawagal, orang dekat Raden Wijaya. Keduanya juga bertemu dengan Medang Dangdi, teman seperjuangan Kiai Pawagal yang bersama dengan Raden Wijaya membangun Majapahit. Namun, tidak seperti Nambi dan teman-temannya yang lain, keduanya memilih berada di luar pemerintahan.

Berkat informasi dari Medang Dangdilah, di Ujung Galuh itu Pradabasu berbagi tugas dengan Gajah Enggon. Gajah Enggon tetap memburu kedua pusaka yang hilang sebagaimana amanat Ratu Gayatri, sedangkan Pradabasu harus segera bergerak ke Keta dan Sadeng: dua buah wilayah yang disinyalir sedang memberontak terhadap Majapahit. Dan dari sinilah, teka-teki mengapa kedua pusaka Majapahit itu hilang mulai terkuak. Semuanya ada kaitannya dengan upaya Keta dan Sadeng mencari legitimasi kekuasaan melalui penggunaan kedua pusaka itu sebagai simbol. Dan itu harus dicegah.

Berkat upaya Pradabasu dan telik sandi Bhayangkara lainnya, pemberontakan kedua tempat itu mulai konangan. Bagaimana Patih Mogasidi dari Keta dan Patih Raganata dari Sadeng harus menelan pil pahit ketika diusir dari pasewakan Majapahit karena gerakan rahasia mereka untuk menyusun kekuatan menentang Majapahit berhasil diblejeti Gajahmada. Pasukan segelar-sepapan pun ditugaskan ngluruk ke kedua wilayah itu. Tak kurang upaya itu dibantu oleh armada laut Adityawarman dari Darmasraya yang sedang berkunjung ke Majapahit. Semua berkat informasi dari Pradabasu.

Di perjalanan lain, Gajah Enggon bersama istrinya, Rahyi Suhenok, mengejar orang yang mencuri kedua pusaka itu. Dan ternyata mereka tidak sendiri. Ada pihak lain yang juga menginginkan kedua pusaka itu. Pihak lain itu tak lain adalah mereka yang gagal mencuri kedua pusaka di Majapahit. Dan pihak itu memang terbukti ada hubungannya dengan Keta dan Sadeng.

Begitulah cerita itu bergulir. Keta dan Sadeng akhirnya berhasil ditaklukkan. Dan kedua pusaka akhirnya kembali ke Majapahit. Dengan sendirinya! Bagaimana bisa? Dan bagaimana bisa Ratu Gayatri sendirilah yang menyambut Sang Pencuri kedua pusaka itu di alun-alun Majapahit ketika hujan deras mengguyur dan membasahi bumi yang telah kerontang begitu lama?

Jawabnya bisa ditemukan pada bagian akhir novel setebal lebih dari 600 halaman ini.

Dan pada kesempatan inilah, Patih Arya Tadah mengundurkan diri dan digantikan dengan Gajahmada sebagai Patih Mangkubumi. Pengangkatan dirinya tentu membuat banyak pejabat yang lebih senior kecewa, apalagi ia menyampaikan sumpah palapanya yang terkenal itu. Sumpah yang tentu saja di telinga mereka seperti sebuah lelucon belaka.

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

***

Inilah novel paling tebal dari keempat buku Gajahmada yang telah diterbitkan hingga resensi ini dibuat. Lebih dari 600 halaman! Jika sehari bisa menulis 10 halaman, novel ketiga ini ditulis Langit Kresna Hariadi barangkali hanya dalam kurun waktu 60-an hari; alias dua bulanan saja!

Namun, sebagaimana serial sebelumnya, novel setebal itu bisa dikunyah selezat kedua seri sebelumnya. Bagaimanapun, Pak Langit tetap membumbui kisah Gajahmada kali ini dengan misteri; yakni tentang pencurian pusaka yang sebetulnya tak seberapa penting dan kaitannya dengan pergerakan pasukan secara sembunyi-sembunyi di Keta dan Sadeng. Dengan sisi misterius inilah pembaca dipaksa dibuat tetap erat memegang novel ini hingga sampai pada kata terakhir.

Mungkin belajar dari kedua seri sebelumnya, pada sekuel ketiga ini tak banyak lagi dijumpai kalimat-kalimat perulangan yang cukup mengganggu itu. Meski demikian, tebalnya yang lumayan cukup membuat keinginan untuk membacanya menjadi sedikit menurun. Tetapi kiranya bisa dipahami mengapa setebal itu, karena setidaknya ada 3 pertanyaan besar yang harus dijawab. Pertama, adanya pergerakan pasukan berkekuatan sepuluh kapal dari Darmasraya yang dipimpin Adityawarman yang telah tiba di Ujung Galuh. Bagaimanapun, putra Darmasraya ini termasuk laki-laki yang masih ada hubungan darah dengan raja Majapahit dan berhak atas dampar kencana itu. Apalagi sejak Prabu Jayanegara wafat dan kedua saudaranya, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, adalah perempuan semua.Kedua, hilangnya kedua pusaka – yang tak seberapa. Untuk apa keduanya dicuri. Dan ketiga, adanya gerakan di Keta dan Sadeng yang hendak melakukan makar terhadap Majapahit.

Dan inilah kelihaian Pak Langit mempertemukan ketiga isu tersebut dalam sebuah cerita yang terjalin apik. Di samping adanya isu tambahan akan mundurnya Arya Tadah dari kursi kepatihan. Yang memang agak mengherankan adalah bahwa isu yang – menurut saya – tambahan atau sampingan inilah yang justru dipilih Pak Langit menjadi judul novel ini. Gajahmada Hamukti Palapa; yakni peristiwa sumpah amukti palapa Gajahmada yang terkenal itu. Judul yang lebih tepat, barangkali, malahPemberontakan Keta dan Sadeng, karena isu inilah yang justru mengambil porsi terbanyak dari cerita ini.

Terus-terang saya tak pernah mendengar kisah raibnya pusaka Majapahit itu dalam sejarah. Adalah sungguh merupakan kejutan jika ternyata hal itu pernah terjadi dan juga kejutan pula jika tak pernah terjadi kecuali hanya khayalan penulis saja. Karena bagaimanapun mengaitkan isu itu dengan Pemberontakan Keta dan Sadeng, yang memang ada tertulis di dalam sejarah, adalah sebuah ide yang jitu.

Saya pun tak pernah mendengar Adityawarman membantu Gajahmada menyerang Sadeng dengan pasukan armada lautnya. Apalagi Sadeng terletak di sisi selatan Jawa Timur bagian timur (selatan Jember), yang tentu saja untuk mencapainya harus mengarungi Selat Bali dan menuju Samudera Hindia yang terkenal ganas ombaknya. Saya masih memiliki kesan bahwa kedatangan Adityawarman dan kerjasamanya menyerang Sadeng adalah skenario penulisnya saja. Mudah-mudahan saya salah.

Yang juga tak kalah mengambil banyak halaman adalah penceritaan set back bagaimana pertemuan nostalgia antara Gayatri dan Kiai Wirota Wiragati di masa lampau ketika terjadi pemberontakan Jayakatwang, Adipati Gelang-gelang, terhadap Raja Kertanegara. Cerita romantis yang juga “baru” saya dengar. Jika ini tak pernah terjadi, maka saya sedikit yakin Sang Penulisnya adalah orang yang cukup romantis. Mungkin suatu saat saya harus bertanya pada istrinya untuk lebih yakin lagi tentang hal ini.

Disamping hal-hal di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul setelah membaca novel tebal ini.Pertama, kelihatannya peran Gajah Enggon tak seberapa di dalam cerita ini. Ia hanya “mengejar” maling Kiai Udan Riwis dan tak berhasil menangkapnya. Karena ternyata, Branjang Ratus, Sang Maling, adalah suruhan Ratu Gayatri sendiri. Kedua pusaka itu akhirnya kembali ke Majapahit, dikembalikan oleh pencurinya sendiri. Lalu, untuk apa Gayatri menyuruh Gajah Enggon menelusuri raibnya kedua pusaka itu? Untuk sekedar menikahkan pimpinan Bhayangkara itu dengan cucu Kiai Pawagal?

Kedua, betapa mudahnya Keta dan Sadeng ditaklukkan. Seingat saya di dalam sejarah, keduanya itu benar-benar berupa sebuah “pemberontakan” sebagaimana pemberontakan Ranggalawe misalnya. Tetapi dalam cerita ini, Ma Panji Keta dan Adipati Sadeng dengan mudahnya diringkus. Kesaktian Gajah Mada sama sekali tak dikeluarkan dalam sekuel ini.

Ketiga, betapa mudahnya juga Kiai Wirota Wiragati, maling mumpuni jaman Singasari dan juga sahabat Raden Wijaya, yang semula membantu mati-matian Ma Panji Keta memberontak terhadap Majapahit menjadi luruh niatnya oleh bujukan Medang Dangdi dan Kiai Pawagal, kedua orang sahabatnya itu? Bagaimana mungkin begitu mudahnya ia dipengaruhi? Saya kira ini juga agak tak wajar, karena lantas terkesan ceritanya, “Ealah, mek ngono ae.” Ah, ternyata cuman begitu saja.

Namun, ada yang menarik pada sisipan peristiwa Sumpah Amukti Palapa Gajah Mada itu. Sebagaimana pernah disampaikan penulis pada saat Bookfair akhir tahun 2006 lalu di Senayan Jakarta, pada cerita itu disisipkan tafsiran penulis terhadap “hamukti palapa” sebagai sumpah untuk tidak beristirahat hingga tercapainya cita-cita Gajah Mada. “Palapa” diartikan sebagai “lara lapa” (jawa), yakni berani menderita untuk mencapai sebuah cita-cita mempersatukan nusantara. Jadi, hamukti palapa bukan berpuasa untuk makan buah palapa (kelapa) sebagaimana kita dengar selama ini. Bagi saya, tafsiran ini sungguh menarik dan patut diperhitungkan.

Lebih dari itu, apresiasi yang dalam dan juga dua jempol patut disampaikan kepada penulisnya yang telah dengan piawai meramu isu-isu tersebut di atas menjadi sebuah cerita yang mengasyikkan ini. Rasanya tak sabar untuk segera membaca sekuel keempat Gajah Mada terkait dengan Perang Bubat yang melegenda sekaligus kontroversial itu!
 
 
 
( Password : Novel I-One )
 
 
 

Gajah Mada 2 : Bergelut Dalam Kemelut Tahta Dan Angkara - Langit Kresna Hariadi


Jayanegara mangkat bukan dalam peperangan dengan pasukan segelar-sepapan, melainkan pada cicipan ramuan obat yang ternyata berisi racun di atas pembaringan ketika ia sedang sakit biasa. Ra Tanca, sang Pembunuh raja yang kebal segala bisa ular yang meracik obat Jayanegara itu pun tewas bersarung keris Gajahmada di ulu hati. Dan terkuaklah siapa “Bagaskara Manjer Kawuryan” setelah lenyap terkubur bumi sejak Ra Kuti madeg kraman sembilan tahun yang silam.

Namun, sang Misterius itu sudah mati membawa serta segala rahasianya. Dan kini Majapahit dihadapkan pada persoalan yang pelik. Jayanegara belum menikah dan karenanya tak punya anak. Apalagi anak laki-laki. Kekuasaan terletak pada dua orang Sekar Kedaton kakak beradik: Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Keduanya adalah putri biksuni Gayatri, istri keempat Raden Wijaya, raja Majapahit pertama.

Persoalannya bukan siapa dari keduanya yang bakal menggantikan raja Majapahit, melainkan justru karena keduanya sudah memiliki calon suami. Raden Cakradara, calon suami Gitarja, dan Raden Kudamerta, calon suami Dyah Wiyat. Di belakang masing-masing calon suami sekar kedaton itu berdiri pihak-pihak yang ingin menguasai kerajaan. Dengan segala cara, tentu. Dan pernikahan dengan sekar kedaton, bagaimanapun, adalah pintu gerbangnya.

Itulah setidaknya fenomena yang berhasil diendus telik-sandi Bhayangkara. Itulah yang kemudian membuat Gajahmada dengan cukup berani meminta kepada keempat ibu ratu, istri-istri Raden Wijaya, untuk tidak dulu mengangkat salah satu dari sekar kedaton menggantikan Jayanegara. Pemerintahan sementara diemban oleh keempat ibu ratu, yang kemudian memilih biksuni Gayatri untuk memimpin sementara Majapahit. Gajahmada ingin memastikan bahwa ancaman bahaya di belakang Cakradara dan Kudamerta benar-benar sudah dibersihkan.

Betapa tidak? Sesaat setelah Jayanegara mangkat dan belum sempat dikuburkan, beberapa orang terbunuh dalam semalam. Panji Wiradapa, Lembang Laut, Klabang Gendis, Kinasthen, Arya Surajaya. Mereka semua adalah prajurit pengawal dan orang dekat Raden Kudamerta. Bahkan Raden Kudamerta, pada acara pengabuan Jayanegara sempat diserang seseorang dengan senjata hingga mengenai dadanya. Untungnya ia tak terluka parah hingga harus menjemput gerbang kematian.

Apakah Cakradara ada di balik pembunuhan berantai ini?

Di sinilah persoalan kemudian ditelusuri Gajahmada dan para anggota Bhayangkara di bawah senopati Gajah Enggon. Gajahmada bahkan harus memeriksa Kudamerta, juga Cakradara. Terkuaklah banyak misteri dan fakta mencengangkan yang selama ini terpendam. Tentang Jayanegara yang pernah mengganggu Nyai Tanca. Tentang Kudamerta yang ternyata sudah beristri sebelum menikahi Dyah Wiyat, meski wanita itu mendadak hilang berikut bayinya di gendongan pada malam pernikahan Kudamerta dengan sekar kedaton. Tentang terdapatnya lambang buah maja terbelit ular pada setiap mayat mereka yang terbunuh. Tentang ditemukannya lambang aneh itu oleh prajurit Bhayangkara di rumah Nyai Tanca; bahkan wanita itu mengaku sebagai yang memiliki ide penciptaan lambang itu. Tentang adanya gerakan mencurigakan di Karang Watu yang tersembunyi: latihan perang pasukan segelar-sepapan. Tentang pengikut Ramapati yang menghilang ketika pejabat culas itu dieksekusi Jayanegara beberapa tahun lalu, yang disinyalir berada di balik semua peristiwa ini. Tentang kematian Pakering Suramurda, paman Cakradara, yang juga memiliki cita-cita untuk menjadikan Cakradara menjadi raja menguasai Majapahit.

Segenap misteri itu harus diungkap satu demi satu oleh Gajahmada dan para prajuritnya. Dan pada akhirnya, terkuaklah dalang segala peristiwa itu. Bahwa Panji Rukmamurti yang ternyata pemimpin pasukan pemberontak di Karang Watu tak lain adalah Nyai Tanca. Bahwa benar, ternyata Brama Rahbumi, pengikut setia Ramapati, berada di balik semua ontran-ontran ini. Ternyata orang ini tak lain adalah Panji Wiradapa alias Rangsang Kumuda, yang melenyapkan dirinya sendiri untuk meninggalkan kesan alibi mengarah padanya. Semua yang dilakukan Brama Rahbumi hanyalah untuk mendepak Cakradara dari kemungkinan menjadi raja. Dia ingin mendudukkan Kudamerta di atas singgasana, yang diyakininya bisa membawa dirinya serta kembali ke tampuk kekuasaan menjadi Mapatih.

***

Lagi-lagi Pak Langit membalut cerita ini dengan misteri yang kemudian diungkap di akhir cerita. Dan bagaimanapun, saat ketika dampar Majapahir lowong dan tak seorang laki-laki pun layak menjadi raja, dan di sisi lain, ada dua orang sekar kedaton yang layak dinaikkan sebagai raja, menjadi seting cerita ontran-ontran yang sangat tepat untuk dimainkan.

Di sinilah Pak Langit bermain. Satu persatu misteri diungkap. Namun, tak seperti pada Gajahmada yang pertama, penguakan fakta dan misteri pada Gajahmada edisi Bergelut dalam Kemelut ini serasa begitu “gampang”. Bagaimana seorang Panji Rukmamurti begitu saja menyerah ketika ditangkap. Bagaimana semua fakta dipertautkan di akhir cerita ketika semua tersangka berhasil ditangkap dan diadili. Seperti mengumpulkan semua wewadi dalam satu panci. Begitu mudah untuk dikait-kaitkan.

Itu perasaan saya, setidaknya jika dibandingkan dengan Gajahmada edisi sebelumnya. Namun, tentu saja hal itu tak mengurani kenikmatan membaca novel Gajahmada buku ke-2 ini. Apalagi Pak Langit melengkapinya dengan lanskap istana Majapahit yang cukup membantu, ditambah dengan berbagai catatan kaki – yang terus terang saya kurang nyaman — yang di satu sisi mungkin mengganggu, tetapi di sisi lain juga membantu pembaca. Gaya bahasa yang digunakan juga lebih “tenang”, tidak banyak perulangan tidak perlu sebagaimana di buku sebelumnya.

Yang agak mengganggu mungkin adalah adanya salah ketik antara menyebut Cakradara keliru Kudamerta, atau sebaliknya. Tetapi asal pembaca mengikuti dengan cermat, kesalahan itu tak perlu mengusik keasyikan membaca. Dan tak seperti pada saat mengungsikan Jayanegara ke Bedander yang penuh petualangan, pada buku ke-2 ini, kesaktian dan keprigelan Gajahmada dalam olah kanuragan tidak kelihatan atau diperlihatkan. Dia tak berkelahi sama sekali! Peran yang paling kelihatan bagi tokoh ini adalah ketika ia bisa mempengaruhi proses peralihan kekuasaan dari Jayanegara kepada penggantinya. Bahwa ia bisa menguasai Bhayangkara sedemikian rupa meski ia sudah menjadi Patih di Kahuripan dan Daha. Bahwa ia lebih menonjol dibandingkan dengan Mapatih Majapahit Arya Tadah. Mungkin penulis sengaja membuat demikian dalam rangka menjadi pijakan bagi buku-buku berikutnya; karena tanggung jawab ke depan Gajahmada akan semakin berat disamping ia akan menjadi tokoh paling berpengaruh bagi Majapahit.

Anyway, selamat dan salut lagi buat Pak Langit. Dan betapa gembiranya saya ketika kemarin bisa bertemu langsung dengan penulis murah senyum itu. Di balik senyumnya yang ramah ternyata terkandung produktivitas menulis yang luar biasa. Setidaknya 10 halaman per hari. Satu buku dalam dua bulan! Bahkan ia segera menyelesaikan buku ke-V Gajahmada!

***
Download Buku 
( Password : Novel I-One )



Gajah Mada #1 - Langit Kresna Hariadi

Damai yang senantiasa menyelimuti tiba-tiba koyak. Lepas pelukan mimpi tidak mungkin dituntaskan karena genderang perang membangunkan isi kehidupan Majapahit. Pada sebuah fajar yang masih beku, para Rakrian Dharmaputra Winehsuka menebar tembang duka. Ra Kuti menaburkan aroma pembantaian, pemerkosaan, dan penjarahan. Kemegahan bumi Wilwatika seketika porak-poranda. Akan tetapi, tetes darah, keringat, dan air mata Gajahmada serta pasukan Bhayangkara akhirnya mampu mengembalikan kehormatan dan mempersembahkan kejayaan yang bakal terus dikenang oleh sejarah.

Gajah Mada telah mendapat informasi penting tentang akan adanya makar. Telik sandi tak dikenal terus menyalurkan beberapa keterangan penting dengan menggunakan kata sendi hingga Gajah Mada dan pasukan Bhayangkaranya yang hanya berjumlah tak lebih dari dua puluh orang, berhasil menyelamatkan Raja yang terus diburu. Gajah Mada harus menyelamatkan Jayanegara hingga ke Bedander (Bojonegoro).

Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara selanjutnya menyerang balik dan berhasil mengjungkalkan Ra Kuti dari dhampar yang bukan haknya.

Membaca buku seri pertama dari tetralogi Gajah Mada ini kita seakan-akan dibawa kembali ke kerajaan Majapahit. Di buku ini, Gajah Mada, belum menjadi seorang Mahapatih yang terkenal dengan Sumpah (Hamukti) Palapanya.

Gajah Mada masih berpangkat Bekel. Gajah Mada pada awal karirnya digambarkan disini memimpin Pasukan Khusus pengawal raja yang bernama BHAYANGKARA. Di buku ini, digambarkan bahwa pasukan Bhayangkara ini telah memiliki telik sandi atau semacam intel atau agen rahasia jaman modern.

Mereka bisa mencari informasi dan bahkan menyusup di pasukan musuh atau pemberontak. Di buku ini diceritakan Pemberontakan yang dipimpin oleh Ra Kuti beserta pengikutnya. Ra Kuti memanglah seorang yang benar-benar licik.

Ra Kuti benar-benar seseorang yang bisa memanfaatkan situasi. Di tengah pemberontakan dan perang yang terjadi di Kota Raja, Ibu Kota Majapahit, Gajah Mada berusaha menyelamatkan Raja Majapahit Prabu Jayanegara.

Di sini digambarkan juga melalui kata-kata nan lengkap tentang keadaan kerajaan Majapahit. Kita seakan-akan berada dalam suasana Kerajaan Majapahit. Perang yang terjadi juga digambarkan secara lengkap. Bahkan sampai sisi lain dari perang juga digambarkan. Sangat LENGKAP!

Di sini juga diceritakan pasukan khusus Bhayangkara, yang jumlahnya sedikit namun memiliki kemampuan yang tinggi (Ilmu Kanuragan yang tinggi). Mereka bisa memanah dengan tepat, membunuh dengan diam-diam (silent killer). Benar-benar digambarkan secara nyata.

Tokoh-tokoh yang nantinya ada di seri-seri selanjutnya juga digambarkan secara lengkap oleh penulis. Membaca buku ini tidak hanya kita mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak tentang Majapahit.

Fantasi seorang Langit Kresna Hariadi benar-benar gila. Dia menggambarkan bagaimana strategi Gajah Mada menipu pasukan di bawah pimpinan Ra Kuti untuk menyelamatkan sang raja. Gajah Mada benar-benar digambarkan sebagai seorang yang jenius dengan strategi-strateginya oleh penulis.

Pasukan Bhayangkara juga digambarkan oleh Penulis secara komplit. Gaya penuturan yang mengalir membuat kita tidak bisa lepas dari buku ini. Kita dibuat tidak mau berhenti membaca dari awal hingga akhir.

Banyak kejutan-kejutan di dalam buku ini. Kita dibuat tidak menyangka. Gajah Mada dalam buku ini sekali lagi digambarkan pintar dan jenius.

Dia bisa memancing pembelot yang ada di dalam pasukannya, meski kondisi sangat sulit. Bahkan kita tidak bisa menebak siapa sang pembelot atau penyusup di dalam pasukan Bhayangkara.

Akhir atau ending dari buku pertama dari tetralogi Gajah Mada ini tidak akan pernah bisa kita tebak dan memang dibuat gantung.



( Password : Novel I-One )
 
 
 
 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: