Loading

Kau Tak Perlu Mencintaiku - Almino Situmorang

Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar.
Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.
 Tolong beri tahu aku nomor teleponnya. Siapa saja, seseorang di dunia ini yang tak punya masalah. Kenalkan aku padanya. Akan kuberikan dia medali.

Di kantor aku tak menemukannya.

Layla yang cantik sedang bergumul dengan kanker payudara.

Pak Bowo sedang setengah mati ketakutan akan diceraikan istrinya, karena penyakit selingkuhnya yang tidak kunjung sembuh.

Ibu Jim yang sedang sekarat karena narkoba, hidup segan mati tak mau.

Bortje dijauhi orang karena kabarnya mengidap AIDS. Malah, ia dicurigai AC/DC alias biseksual.

Farrah bertengkar melulu dengan suaminya dan terancam perceraian.

Jean yang punya suami kaya raya belum bisa punya anak.

Bosku, Pak Rudy, tak bisa menghentikan hobinya berjudi.

Takeda San, sang bos Jepang yang punya banyak istri, senang menghambur-hamburkan uangnya. Dan, itu selalu membuatnya mabuk. Karen sakit jiwa.
 
Karen tidak sakit jiwa, sebenarnya. Tapi, semua orang setuju bahwa dia sedang bermasalah. Entah apa. Tapi, dia selalu mencari masalah denganku. Mungkin, akulah masalah baginya. Dan, dia memang potensial untuk menjadi masalah bagiku, walau aku merasa tak ada yang perlu dipermasalahkan.

Entahlah, tapi akhir-akhir ini dia makin seperti orang sakit jiwa saat menghadapiku. Dia lebih senior, walaupun usiaku lebih tua. Dia cantik. Tetap cantik, walaupun tengah hamil. Hamilnya besar hingga dia yang dulunya model, tinggi dan langsing, kini bagaikan babon, king kong, gajah gemuk atau sebutlah raksasa. Dia lumayan cerdas dan pekerja yang bagus. Tapi, itu mulai berubah akhir-akhir ini. Dia selalu mencari gara-gara padaku. Sering marah-marah tanpa sebab yang jelas, dan bicara dengan pedas tentang soal-soal yang tak berhubungan dengan pekerjaan. Aku mencoba memaklumi, mungkin itu gejala penyakit ibu muda yang sedang hamil pertama. Kata orang, bisa jadi, kelak bila anaknya lahir akan mirip denganku. Jadi, kuabaikan keganjilan sikapnya itu.

Tapi, makin lama makin menjadi.

Banyak hal yang tidak masuk akal dan tidak edukatif serta tidak pantas diucapkan keluar dari mulutnya tanpa sebab yang jelas. Tapi, jelas-jelas ditujukan padaku. Tak ada angin, tak ada hujan. Kata-kata yang dilontarkannya tajam-tajam, sampai bisa untuk memotong semangka!

“Kamu sadar nggak, sebentar lagi kamu akan jadi satu-satunya perawan tua di kantor ini?”

Astaga! Seumur hidupku, baru pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu. Perawan tua? Aku baru 28 tahun, kok. Sebentar lagi 29, sih. Baru dua delapan? Baru? Entah kenapa, aku tak suka mendengarnya. Aku merasa ada yang sakit di dalam hatiku. Kusadari, di satu sisi dia benar. Tinggal aku yang belum menikah. Layla sedang bertunangan. Padahal, setelah Jean, aku lebih tua dari semua wanita di kantor ini. Tapi, aku kan tak menghendaki hal itu. Itu terjadi di luar kuasaku, bukan?

Tapi, aku menganggap dia ada benarnya. Rasanya, dia juga tak sengaja menyakiti perasaanku. Anggaplah itu bentuk perhatiannya padaku. Jadi, segera kulupakan. Atau, kalau dia memang sengaja, kumaafkan saja. Aku terlalu sibuk untuk marah.

Tapi, ketika aku memutuskan untuk diam, mulutnya malah makin beraksi. Sering sekali dia menyebut kedua kata itu: perawan dan tua. Yang lebih parah lagi, ia menyebutkan istilah baru lagi.

“Jangan-jangan kamu lesbian, Ra. Temen pria kamu kan banyak. Banyak pula yang mengejar-ngejar kamu. Tapi, kok, kamu cuek aja, sih?”

Saat itu aku ingin menamparnya. Tapi, untunglah, tidak jadi. Aku hanya yakin bahwa aku tidak seperti yang dia sebutkan. Kumaafkan. Anggap saja angin lalu.

Begitulah hidup. Semua orang punya masalah, disadari atau tidak, diakui atau ditutupi. Sedangkan aku? Masalahku apa? Mungkin hanya satu.

Taka.

Itulah yang terbesar. Letak kesalahannya adalah aku telanjur mencintainya dan belum bisa pindah ke lain hati. Padahal, kisah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Terus terang, aku mulai pusing. Mulai agak panik. Panik? Ya! Aku tak suka menghitung usiaku. Aku takut seperti Jean yang terlambat menikah dan sampai kini setengah mati mengusahakan punya anak. Aku takut seperti Farrah yang menyesal menikah dengan pria pilihannya sendiri. Padahal, dulu pria itu dianggapnya ideal sekali. Aku takut ini dan takut itu….

Aku juga selalu pusing jika Mama dan Papa mulai berbicara soal keinginan mereka memiliki cucu. Hanya aku yang sedang ditunggunya untuk mengabulkan keinginan itu.

Aku bingung dengan semua hubungan yang sudah dan sedang kucoba jalani. Ada Nathan, Yoel, Aba, Ferry, Ibem, dan yang lain. Tapi, rasanya, belum ada yang mampu merebut hatiku seperti Taka. Kehadiran mereka justru makin membuatku merindukan Taka. Bukannya aku tak membuka hati. Tapi, bersama dengan pria-pria yang baik itu malah membuatku merasa tidak nyaman, sehingga aku lebih memilih untuk menikmati kebebasanku dalam kesendirian.

Apa dari Taka yang begitu istimewa? Tidak banyak. Dia hanyalah pria keturunan petani buah dari sebuah kampung pedalaman Tokyo, masih jauh dari Hachioji, kampus almamaternya.

Jalan hidup kami berpapasan ketika aku mengikuti program pertukaran mahasiswa ke kampusnya, dan dia mendaftar sebagai salah seorang relawan bagi mahasiswa asing. Kebetulan, dia salah satu mahasiswa teladan. Tapi, bukan itu daya tarik utamanya, walaupun, aku sangat beruntung memiliki dia sebagai guru bahasa Jepang pribadi dan gratis!

Aku tidak berencana berjalan-jalan di negeri mantan penjajah itu. Mencari kekasih juga tidak. Bahkan, aku bertekad untuk tidak tertarik pada seorang pria pun keturunan penganut Shinto itu. Aku bahkan tiba di sana dengan berat hati. Berkali-kali kuyakinkan orang tuaku bahwa Tuhan akan menjagaku di negeri asing itu. Masa lalu keluarga kami membuat mereka berat melepas kepergianku, walau hanya satu tahun.

Aku tidak peduli padanya sejak pertama melihat ia menjemputku di Bandara Narita itu. Instingku berkata bahwa dia adalah orang yang memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Dan, meski hampir tiap hari dia menemaniku pergi, perlu berbulan-bulan untukku berjuang menyangkal pesona pria ini. Akhirnya, aku kalah. Terpanah Dewa Cupid. Tak berdaya mengelak.
 
Aku tak tahu apakah itu yang namanya jatuh cinta.

Serasa jatuh, tak berdaya. Semua mengalir begitu saja. Alami dan tanpa rekayasa.

Aku tak tahu apakah itu yang dikhawatirkan oleh kedua orang tuaku.

Ternyata, aku salah. Kami berdua salah. Sebab, sejauh apa pun kami berpisah, sejauh apa pun aku melarikan diri, biarpun samudra luas membatasi kami, aku terus membawa dia dalam hatiku. Aku belum bisa melepas segala kenangan tentangnya.

Hebat sekali dia, pesonanya. Dulu, kukira pertemuan kami beberapa tahun lalu di Bandara Narita adalah pertemuan terakhir, sekaligus menjadi akhir dari satu babak perjalanan hidup yang mungkin paling manis. Kupikir, setelah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, aku akan segera menemukan orang lain dan melupakan pria bernama Taka. Dia juga mengharapkan hal serupa, yang ditegaskannya dalam sorot mata yang dalam, tapi teduh dan penuh kasih, jabatan tangan, serta rangkulan erat, ketika dia berbisik semoga aku selalu bahagia. Sebab, bila aku bahagia, dia juga akan bahagia.

Selalu bahagia.

Aku setuju dan selalu mengusahakannya. Selalu bahagia, kapan, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun. Tapi, tampaknya tak semudah itu. Selalu bahagia? Maaf, ada yang bisa menjelaskan definisinya? Sebab, selama ini selalu bahagia tak ada artinya. Selalu dan bahagia, tanpa dia? Maaf sekali lagi, sampai kini aku belum berhasil memenuhi harapannya itu.

Kesepian. Itulah oleh-oleh yang masih tertinggal, yang kubawa pulang dari Negeri Sakura itu. Yang kian terasa mencekam, seiring debur ombak yang memantulkan kelap-kelip lampu dari Hard Rock Café, ditambah langit mengguntur, serta bunyi jangkrik-jangkrik nakal yang menyiuli turis-turis hampir telanjang, yang sedang melintas pulang.

Pulang.
 
Aku juga harus pulang ke masa kini. Tak mungkin pulang ke masa lalu.
Entah karena kesepian, tiba-tiba aku jadi sangat merindukan masa lalu itu. Merindukan Taka. Sangat. Teramat.

“Bagaimana weekend-nya? Ada kekasih baru atau masih berkumpul dengan teman-teman lesbi?”

Karen, dengan perutnya yang makin membesar, menaruh setumpuk berkas di mejaku, sambil mengucapkan kalimat yang tajam itu. Lesbi.

Huff. Kalau setumpuk berkas itu mendarat di kepalanya, bisa nggak, ya, dia menahan keseimbangan tubuhnya? Tapi, jangan. Kasihan si janin. Aku menimbang-nimbang.

“Karen,” tegur Jim yang sedang lewat, “your mouth sounds like hell.”
“I’m not talking to you,” sergah Karen.
Kubuka segera berkas-berkas itu.
“Karen, ini berkas yang minggu lalu, ‘kan?” ujarku. “Sudah beres, ada di meja Pak Rudy.”
Wajahnya menyemburat merah. “Semuanya?”
 
Aku mengangguk. Menatap lurus matanya yang tajam. Bagaimanapun, dia lebih senior.
Farrah mengedipkan mata padaku. “Dia kan belum hamil, Ren. Jadi, masih gesit mengerjakan setumpuk kerjaan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.”
“Belum punya pacar pula,” sambung Karen, yang sengaja membalikkan sindiran Farrah. “Tapi, lain kali lapor ke saya dulu, dong, sudah selesai atau belum. Jadi, saya bisa memonitor. Jangan langsung ke Pak Rudy. Bisa-bisa kredibilitas saya dipertanyakan.”
Memang kamu siapa? Memangnya kamu punya kredibilitas? Cuma menang senioritas dan perut buncit saja! Aku memaki dalam hati. Untunglah, lampu merah kecil di ujung boks teleponku berkedip-kedip.

Terdengar suara khas Layla.

“Mbak Rara, line satu dari orang Jepang. Maaf, namanya kurang jelas. Kawa atau siapalah.” Klik.

Kuangkat. “Moshi-moshi, Rara degozaimasu.” (Halo, di sini Rara.)

“Ogawa desu. Hisashiburi ne, Rara chan. Genki?” (Ini Ogawa. Lama tak bertemu, Rara, apa kabar?)
“Takaaa…,” seruku, membuat banyak kepala di ruangan ini menoleh.

Ikuti cerita selanjutnya....!!!


( Password : Novel I-One )



Reff. ac-zzz.blogspot.com

Rahasia Kebangkitan Rara Jonggrang - Java Joe

Penerbit : C [ Publishing
Pengarang : JH Setiawan
Jumlah halaman : 240 halaman
Ukuran : 13 x 20,5 cm
ISBN : 978-979-24-3937-4

Java Joe? Judulnya campuran lokal dan manca. Apakah ini nama orang? Tentu saja. Judul novel ini sama dengan karakter utamanya, Commander Java Joe. Kenapa ada subjudul Rara Jonggrang segala? Ini menyangkut masa lalu leluhur Java Joe yaitu Gandrung Wicaksana. Siapa itu? Dialah saudara lain ibu dari Bandung Bondowoso. Gandrung Wicaksana yang merupakan salah satu dari Pangeran utama Kerajaan Pengging di masa lalu adalah cinta sejati Rara Jonggrang, tapi Bandung Bondowoso menginterupsinya.

Memang baik Gandrung maupun Bandung sama-sama mencintai Rara Jonggrang. Di Prambanan, upaya Bandung Bondowoso untuk membangun seribu candi dalam semalam gagal akibat kecurangan Rara Jonggrang, tentu kutukan Bandung Bondowoso tak terelakkan. Rara Jonggrang hanya bisa bangkit kembali di malam bulan purnama perak oleh keturunan langsung dari Gandrung Wicaksana yang tidak lain adalah Commander Java Joe sendiri.

Cukup hanya itu ceritanya? Oh, tidak. Masih ada subplot lain tentu berupa petualangan Java Joe bersama rekan-rekannya yaitu Profesor Henry Jones, hacker Chavez serta dua mantan kekasih Java Joe yaitu Sarah Lou dan Cynthia dalam mencari lokasi tempat Rara Jonggrang yang abadi berada di suatu tempat misterius di Jawa Tengah karena Rara Jonggrang juga diperebutkan pihak-pihak lain yang haus kekuasaan dan haus kepentingan. Berhasilkah Java Joe dan rekan-rekannya menyelamatkan Rara Jonggrang?

Sang pengarang yaitu JH Setiawan merupakan seorang dosen yang juga mantan wartawan majalah remaja dan juga penulis biografi tokoh-tokoh penting negeri ini seperti mantan gubernur Gorontalo/menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad sampai mantan Putri Indonesia Nadine Chandrawinata yang juga memberikan secuplik endorser menarik di sudut kiri atas kover novel ini, tak ketinggalan pula endorser dari tokoh pers senior Aristides Katoppo dan penyiar radio ternama Kemal di kover belakang.

Walaupun memiliki beberapa percabangan plot baik melibatkan masa lalu sampai dua milenia kemudian, JH Setiawan pintar membagi situasi dan dialog yang cukup masuk akal. Karakterisasi pun cukup menarik terutama Java Joe dan sobatnya, si hacker jenius Chavez. Profesor Henry Jones jelas-jelas mengacu pada karakter arkeolog petualang Indiana Jones, sementara tokoh pendamping Profesor Ungaran tampaknya terinspirasi dari budayawan legendaris Umar Khayam. Dua tokoh utama wanita di sini yang sama-sama mencintai Java Joe yaitu Sarah Lou dan Cynthia tampaknya justru yang paling biasa dan tidak memberi kesan khusus.

Novel ini memiliki percampuran genre antara fiksi-ilmiah dan aksi petualangan, tapi tampaknya cenderung ke genre kedua karena banyaknya aksi di sini termasuk kebut-kebutan mobil, kejar-kejaran pesawat jet dengan helikopter sampai petualangan di luar angkasa segala. Banyak sekali unsur Star Trek di sini, juga unsur The X-Files. Tidak masalah karena hal semacam ini sangat langka dalam kancah sastra Indonesia. Berbagai istilah asing tampak dominan di sini tapi juga pas dengan plot cerita jadi malah memperkuat unsur ketegangan.

Yang sangat saya sayangkan adalah endingnya karena menurut saya pasti ada sekuel, tapi sampai kini belum ada tanda bahwa JH Setiawan akan melanjutkan kisahnya. Semoga saja ada karena novel JAVA JOE ini merupakan salah satu novel lokal yang sangat langka dan perlu diperbanyak lagi kuantitasnya.
 
 
 
 
( Password : Novel I-One )
 
 
 

Yang Kedua - Ali N


BENIH ITU DITANAM
RIS duduk di dekat jendela ruang kelasnya yang ada di lantai tiga. Senyum-senyum sendiri. Entah kenapa, warna biru langit dan kumpulan gas putih yang menghiasinya selalu tampak menarik bagi gadis sembilan belas itu. Sudah tiga puluh menit ia duduk di sana dan belum merasa bosan sedikitpun. Iris melihat banyak bentuk-bentuk awan yang menyerupai sesuatu. Mobil, beruang, kelinci. Bahkan, Iris kadang melihat awan yang menyerupai mendiang ayahnya. Ayah Iris tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Motornya disambar truk yang oleng karena supirnya mengantuk. Iris tak pernah punya ayah lagi sejak itu. Usianya baru tujuh tahun. Sejak saat itu, Iris sangat merindukan figur seorang ayah.

“Ris, udahan kek bengongnya..” Eta menyikut bahunya pelan, “Gue laper tau.. nyari makan kek..”

Iris ngikik melihat wajah Eta yang manyun gara-gara kelaparan. Persis warga Ethiopia yang busung lapar itu. Ia akhirnya mengangguk dan meninggalkan spot favoritnya.

Eta adalah sahabat Iris sejak mereka pertama kali berkenalan tepat di hari ujian masuk kampus. Kala itu, Iris lupa membawa alat tulis. Eta yang duduk di sebelahnya dengan baik hati menawarkan alat tulis cadangan miliknya untuk Iris pakai. Setelah mengobrol lama, rupanya Iris dan Eta berdomisili di daerah yang sama. Hanya beda wilayah kompleks saja. Ketika mereka sama-sama lulus ujian masuk, keduanya pun memutuskan untuk mencari kamar kos berbarengan. Akhirnya, kedua gadis itu malah menyewa satu kamar kos untuk berdua agar lebih murah.

“Makan apa kita?” sebelum Eta menjawab, Iris buru-buru menambahkan, “Gue nggak mau makan soto depan kampus lagi ah.. bosen gue, ta..”

“Airis, sebenernya gue juga bosen, tapi, satu-satunya tempat makan yang pemandangannya bagus cuma di situ doang! Serasa ada di taman bunga gitu kan. Warna-warninya bikin seger mata... hahahaha!” Iris paham betul arti „pemandangan bagus‟ bagi sahabatnya bukan bunga warna-warni yang kebetulan ada di toko bunga di seberang tukang soto itu, tapi pegawainya!

Pegawai toko bunga itu bernama Egi, lelaki berusia akhir dua puluhan, berkacamata, agak gemuk, dan sedikit berwajah oriental. Eta memang selalu suka cowok-cowok yang agak berdaging. Bikin gemas, katanya. Kalau menurut Iris, Eta suka cowok berdaging hanya untuk memperbaiki keturunan. Ya, tentu saja karena Eta berbadan kecil dan tinggi. Mengingat Egi, membuat Iris ingin tertawa. Cara Eta mengajaknya berkenalan benar-benar konyol sekali. Kala itu, kebetulan Egi sedang membeli soto. Eta pura-pura menanyakan soal bunga-bunga padanya, seolah ingin memesan karangan bunga. Di akhir obrolan, Eta akhirnya menanyakan namanya dan berkenalan. Konyolnya, Eta juga mengatakan: saya mesen karangan bunganya kapan-kapan ya, Koh. Kalau temen saya ini udah dapet jodoh.

“Soto dua ya, pak! Pake nasi!” Suara Eta mengembalikan Iris dari lamunannya.

Tukang soto manggut-manggut dan langsung meracik dua porsi untuk Eta dan Iris. Iris menyenggol kaki Eta pelan, “Kalo nasi nya aja bisa nggak, ta? Enggak usah pake soto...” bisiknya.

“Bisa, kalo lu yang dagang sotonya!”

Lima belas menit kemudian, dua piring nasi sudah tak bersisa, soto pun sudah tinggal kuahnya saja. Eta melirik Iris yang masih sibuk mengais sisa-sisa daging di mangkuk sotonya.

“Bosen-bosen abis juga!!” katanya meledek. Iris cuma nyengir. “Balik yuk, Ta. Sebelum gue berubah pikiran dan mesen satu porsi lagi...”

“Bentar dulu, gue kok belum liat si ndut yaa..” Eta menjulur-julurkan lehernya, berusaha melihat penampakan Egi di seberang sana. Tapi, yang dicari tak kunjung terlihat. Iris ikut menjulur-julurkan lehernya, memicingkan mata. Ia lalu geleng-geleng kepala, “Lagi cuti kali, ta..”

“Tunggu-tunggu.. itu siapa tuh??” Seorang pria keluar dari dalam toko bunga itu, membawa ember yang penuh bunga berwarna kuning. Pria itu bukan si ndut yang ditaksir Eta. Dia lebih tua. Iris merasa belum pernah melihatnya.

“Ndut lu kurusan kali, ta..” kata Iris asal saja. Eta menghadiahkan pukulan di paha Iris atas kata-kata asalnya barusan.


“Beda, odong! Itu mah bapak-bapak!”

“Nyari si ngkoh ya, neng?”

Asisten tukang soto yang sedari tadi memperhatikan mereka sibuk menjulurkan leher, akhirnya bersuara. Eta dan Iris menoleh dengan muka merah. Saling injak kaki. Mereka cuma terkekeh saja, tidak menyahut.

“Dia lagi pulang kampung, neng. Bapaknya sakit. Nggak tau baliknya kapan. Sekarang yang punya jadi ngurus tokonya sendiri dah tuh.”

Iris dan Eta melirik lagi toko bunga itu. Si Pria sedang melihat ke arah mereka. Panik, Iris dan Eta buru-buru beralih lagi ke asisten tukang soto.

“Ini jadi berapa, bang?” Eta cepat-cepat mengeluarkan dompet.

“Delapan belas ribu, neng.” “Nih, makasih ya, bang!” Setelah menyerahkan uangnya, Eta langsung menarik Iris meninggalkan tempat itu.

“Kalo tuh bapak-bapak tau kita nyariin si Egi, trus bilang ke si Egi nya, tengsin gue!!” katanya. Iris cuma mengangguk-angguk. Sebelum pergi, Iris melirik toko bunga itu sekali lagi. Pria tadi sudah berbalik masuk ke tokonya. Pemilik toko bunga?

***** 

Detik itu, tersimpan dalam benakku secara tak sengaja.
Sekelebat bayangmu, kekal dalam memori di kepala.
Aku terpesona…

Pulpen dalam genggaman Iris belum juga berkurang tintanya. Kertas di hadapannya pun masih kosong meski jam kuliah sebentar lagi berakhir. Tak sedikitpun ceramah dosen masuk dalam kepalanya. Ia melanglang buana di dunianya sendiri. Wajah pria yang dua jam lalu ia lihat di toko bunga masih terbayang dalam ingatannya. Ada perasaan aneh dalam hati Iris. Dia tak tahu apa nama rasa itu.

“... yaaa, jadi saya minta makalahnya dikumpulkan minggu depan ya!! Kuliah hari ini cukup sampai di sini, sampai ketemu minggu depan.”
Suara ribut kursi yang bergeser mengembalikan Iris ke kelasnya. Dia melirik Eta,
“Makalah apaan, ta??” Eta geleng-geleng kepala, “Bengong aja sih lu dari tadi!” sahutnya, “Makalah Patofisiologi !”
“Oohh..” Iris mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sendiri-sendiri ta?”
Eta melotot kesal, “Berdua, Ris!! Elu sama gue!! Isshhhh...”

“Sip sipp.. jangan melotot gitu lah, ta.. mata lu mau loncat keluar tuh!” Iris cekikikan. “Abis ini lu langsung balik, kan? Hari ini jatah lu beresin kosan!”

“Oh iya! Soriiiii banget, Ris..” Eta yang sedari tadi sibuk merapikan buku-bukunya menoleh dengan wajah penuh penyesalan, “Gue ada praktek susulan di lab, gantiin dulu ya, nanti jatah lu gue yang ngerjain deh.. bawa motor gue sana nggak papa..soriii banget ya ngerepotin..” Eta menyerahkan kunci motor matic nya pada Iris.

Iris bengong. “Gue kan nggak gitu lancar bawa matic, ta..”

“Bisa dehh, gampang kok.. gas-rem-gas-rem doangan.. okee?? okeee?? Gue ke lab dulu yaaaa!!!”

Eta meninggalkan Iris yang masih memandangi kunci motor dalam genggamannya dengan tampang cemas. Teringat saat terakhir ia mengendarai motor matic, kandang ayam dekat kosannya menjadi korban. Iris menarik napas perlahan. Berusaha untuk tenang. Sudah lima menit ia berdiri di parkiran kampus sambil memandangi motor matic Eta. Gampang, Ris.. gasrem-gas-rem doang.

Iris menyalakan motor, sukses. Sekarang, diarahkannya motor itu keluar dari area parkir, sukses. Sedikit menyenggol kaca spion motor orang, tapi tak masalah. Kini ia berhenti di depan gerbang kampus. Ia harus melawan arus sebentar untuk pindah jalur ke seberang kampusnya. Segumpal ludah tertelan sudah. Gas-rem-gasrem.. gumamnya dalam hati.

Gas diputar dan wuuuuuuuuusssssssssshh, saking gugupnya Iris lupa menekan rem. Motor melaju cepat menyeberang jalur. Tidak berhenti, terus bergerak maju dengan sangat cepat!

“MINGGIIIIIIIIIIIIRRRRR!!! AWAAAAASSS AWAAAAAAASSSS!!!” Bunyi roda-roda kendaraan berdecit di jalanan. Semua dihentikan paksa oleh pengendaranya untuk menghindari motor matic yang melaju dengan gila-gilaan.
“AWAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSS!!!!!!!! MINGGIR WOIIIIIIII!!!” Dan..
BRUAKKKKKK!!!! Ember-ember bunga terguling di sana-sini. Bunga-bunga yang berwarna-warni itu pun berserakan ke mana-mana. Iris mengelus-elus lutut dan sikunya yang lecetlecet.

Ia meringis kesakitan. Orang-orang mengerubunginya. Tiba-tiba seseorang menyeruak kerumunan itu,
“IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!!” Eta memegangi pipinya sendiri dengan panik.
“LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!!” “Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic..” sahut Iris masih sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang kini terasa sangat perih. Iris bersyukur ia tak lupa memakai helm tadi. Seorang petugas polisi datang dan membubarkan kerumunan orang yang menontoni kekacauan akibat kecerobohan Iris itu. Pria pemilik toko bunga tampak syok melihat bunga yang akan ia jual sudah menjadi sampah jalanan.

“Anda butuh ke rumah sakit, mbak?” si petugas polisi berjongkok di samping Iris. Eta menyingkirkan motor matic nya ke trotoar.

Iris menggeleng, “Enggak usah, pak.. nanti diobatin teman saya aja..” katanya. “Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini?” pria pemilik toko bunga tiba-tiba bersuara. Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya. “Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak..” kata petugas polisi itu, ia melirik Iris, “gimana, mbak?” Iris bengong. Eta menoleh ke arahnya. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, gue enggak ada duit.. Iris merasakan bulir keringat mengalir dari dahi ke dagunya. “Duh, maaf Pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan, Pak..” Iris meratap, melirik ke arah si pemilik toko bunga, seorang pria berambut pendek dengan kumis dan janggut tipis seperti habis dicukur kasar. Cukup tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini. Cu-kup. Pria itu menggeleng, “Terus nasib bunga saya gimana, Mbak? Saya pasti rugi kalau enggak diganti..”

Iris menggigit bibir bawahnya sedikit. Bingung. Dia tak mungkin menghubungi orang tuanya di rumah dan minta uang untuk ganti rugi. Ibunya pasti akan sangat marah sekali. Tapi, dia sendiri juga tak ada uang lebih untuk mengganti bunga-bunga yang ia lindas barusan.

“Begini saja Pak, Mbak, ” si petugas polisi tampaknya memahami posisi Iris yang seorang anak mahasiswi kosan berkantong pas-pasan, “Mbak bisa meninggalkan identitas Mbak ke Bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana, bisa mbak dan bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang kurang baik seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, Mbak? Pak?”

Iris melirik Eta yang langsung angguk-angguk kepala tanda setuju. Ia beralih ke si pemilik toko bunga yang tampak berpikir. Lantas pria itu mengangkat bahunya,

“Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma itu satu-satunya jalan keluar untuk saat ini..”

Iris lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya, menuliskan nama dan nomor ponselnya di sana. Ia menyerahkan kertas itu pada si pemilik toko bunga, “Maaf banget ya, Pak.. pasti saya ganti kok, Pak.. sekali lagi, maaf ya, Pak..”

Petugas polisi memapah Iris untuk berdiri, “Lain kali hati-hati, Mbak..” Kali ini, Eta yang mengendarai motor sementara Iris duduk di belakangnya.

Kata „maaf‟ masih keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak hati. Eta menyalami petugas polisi dan pemilik toko bunga, “Maaf Pak, atas kecerobohan teman saya ini..mari..” Dari kejauhan, Iris sempat melirik lagi ke arah si pemilik toko bunga itu. Pria itu masih memperhatikannya. Tampan..

Ikuti Cerita Selanjutnya....!!!!


Password : Novel I-One




 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: