Loading

Gadis Hari Ketujuh

Suasana terasa nyaman.
Angin menerbangkan daun-daun yang menguning. Satu per satu daun kuning melepaskan diri dari dahan yang kokoh dan pergi bersama angin kering yang panas. Tirai-tirai jendela yang terbuka bergerak turut dipermainkan angin.
 
Orang-orang berlalu lalang di halaman tanpa mempedulikan teriknya matahari siang musim gugur. Pohon-pohon besar menaungi bangunan istana putih yang megah.

Wanita-wanita cantik terlihat berkerumun sibuk berbicara. Kipas bulu mereka yang berwarna-warni menutupi wajah cantik mereka ketika mereka tertawa. Gaun mereka yang lebar bagai bunga yang berwarna-warni. Bunga indah yang terus menghiasi Istana Welyn sepanjang tahun.

Prajurit berdiri tegak di tempat mereka masing-masing. Kegagahan mereka menambah maraknya istana yang tak pernah sepi.

Pelayan-pelayan berlalu lalang. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tak satu orangpun yang terlihat menganggur. Semua sibuk.

Berbagai macam suara terdengar di istana. Tawa para wanita cantik, bisik-bisik wanita penggosip, langkah kaki para pelayan yang sibuk. Semua ada di Welyn. Suara-suara itu membentuk suatu nyanyian kesibukan yang tiada pernah berhenti dari Istana Welyn. Nyanyian yang melantun pelan.

Di tengah-tengah kesyahduan nyanyian kesibukan itu tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi.
“TIDAK!!!!!”
Segala kegiatan Welyn terhenti sejenak. Mereka yang berada di luar  segera menatap jendela lantai tiga tempat suara itu berasal.
Di dalam Maiden Room, Ratu membelalak kaget melihat putra satu-satunya.
“Tidak! Aku tidak mau!” ulang Pangeran tegas.
“Dengarkanlah dulu, Eduardo.”
“Apa yang harus kudengarkan?” sahut Pangeran.
“Aku yakin engkau akan menemukan gadis yang kaucari selama ini di antara mereka,” kata Ratu lembut, “Mereka semua gadis cantik yang menarik, tak mungkin engkau tidak mencintai seorang di antara mereka.”
 
Pangeran mendengus.
“Aku mengenal mereka semua. Belum pernah aku bertemu gadis-gadis secantik mereka dan secerdas mereka. Tak seorang priapun di dunia ini yang tidak tertarik pada mereka. Termasuk engkau.”
“Aku bersumpah aku tidak akan jatuh cinta pada seorangpun dari mereka.”
“Tidak akan menjadi masalah bagimu untuk bertemu mereka semua.”
“Ini ide tergila yang pernah kutemui. Dalam seminggu, aku harus menemani gadis yang membosankan. Satu hari satu gadis hingga genap tujuh gadis! Tidak, aku tidak akan melakukannya.”
“Apa sulitnya bagimu untuk bertemu mereka semua?” tanya Ratu, “Engkau sendiri yang telah bersumpah tidak akan jatuh cinta pada mereka. Untuk apa engkau takut menemui mereka? Engkau hanya perlu bertemu mereka masing-masing. Hanya itu yang kuinginkan darimu.”
“Mengapa ini semua terjadi padaku?”
“Ingatlah, engkau adalah Putra Mahkota Kerajaan Evangellynn. Hanya engkau satu-satunya pewaris tahta. Bila engkau tidak mempunyai keturunan, siapa yang akan menggantikanmu kelak? Aku juga telah lama ingin menggendong cucuku.”
“Aku tahu kedudukanku. Aku takkan lupa untuk mencari istri tetapi tidak sekarang.”
“Harus sekarang!” sahut Ratu, “Ingat, engkau sudah bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sudah…”
“Aku tahu,” potong Pangeran, “Tak perlu diteruskan. Aku sudah dewasa dan sudah saatnya untuk menikah.”
“Jadi, bagaimana keputusanmu?”
“Baiklah, aku menurut. Aku dapat meyakinkan diriku aku akan menghadapi hari-hari yang membosankan selama seminggu. Setelah itu, aku akan menyingkir jauh-jauh. Aku akan pergi untuk menyenangkan diri!”
“Setelah engkau menemui mereka, aku takkan melarangmu untuk melakukan segala yang engkau sukai,” Ratu tersenyum puas, “Mulai besok, engkau tidak boleh meninggalkan Istana. Besok pagi, Carmen, anak tertua keluarga Horthrouth, akan datang. Berikutnya adiknya hingga semua genap tujuh gadis.”
“Seminggu gadis yang membosankan.”
“Tujuh gadis cantik Evangellynn,” Ratu membenarkan, “Mereka akan menjadi seminggu gadis yang menarik bagimu.”
“Seminggu yang menjemukan. Seminggu gadis yang memuakkan,” kata Pangeran tegas. Kemudian Pangeran meninggalkan Maiden Room dengan suara bantingan pintu yang keras.
Ratu hanya menghela nafasnya.
Apa yang dapat ia lakukan untuk merubah ketetapan hati putranya?
Tanpa membuang waktu sedikitpun, Ratu bergegas memanggil prajurit
untuk segera mengirim kabar kepada keluarga Horthrouth.


************
 
“Apa yang dikatakan prajurit itu, Papa?” tanya para gadis serempak.
Earl Horthrouth kewalahan menghadapi putri-putrinya yang mengerumuni dengan sinar mata penuh keingintahuan.
“Kalian duduklah diam,” kata Countess Dasida, “Biarkan ayah kalian duduk dan menceritakan apa yang dikatakan prajurit itu.”
“Baik, Mama,” sahut mereka bersama-sama. Mereka duduk di sofa panjang dan menatap serius Earl.
Earl memandang putrinya satu per satu. Mereka sudah tidak sabar menanti apa yang dikatakannya.
“Prajurit itu diutus Ratu untuk mengatakan bahwa Pangeran telah setuju untuk menemui kalian masing-masing.”
“Benarkah itu, Papa?” sahut mereka.
“Aku tidak berbohong.”
Gadis-gadis itu sibuk berbicara satu sama lain.
“Pangeran akan menemui kita,” kata Nelly.
“Apakah ia akan jatuh cinta pada seorang dari kita?” tanya Coudy.
“Siapakah di antara kita yang akan dicintainya?” Emilie turut bertanya.
“Oh, apakah yang harus kulakukan?” sahut Carmen, “Besok aku yang pertama kali akan menemui Pangeran. Aku harus mengenakan gaun apa? Apakah aku akan menarik perhatian Pangeran?”
“Kalian semua pasti menarik perhatian Pangeran,” Countess Dasida membesarkan hati mereka. “Kalian putri-putriku yang cantik. Kalian semua mendapat kesempatan untuk menjadi istri Pangeran.”
“Aku tidak sabar menanti besok, Mama,” kata Carmen.
“Kalian semua harus bersabar. Kalian akan mendapat giliran,” Earl menyambung, “Setiap hari aku akan mengantar seorang dari kalian semua ke Istana hingga hari ketujuh.”
“Aku harus mempersiapkan diriku sekarang, Mama. Besok aku harus tampil cantik,” rujuk Carmen.
“Tentu, Carmen. Kalian harus tampil cantik dan anggun di Istana sebab kalian akan bertemu dengan keluarga kerajaan.”
“Aku akan mengenakan gaun merah muda yang minggu lalu baru kubeli. Oh… aku harus menyiapkan segalanya sekarang.”
Carmen bergegas meninggalkan keluarganya.
“Kami akan membantumu!” gadis lainnya mengikuti.
Earl menatap Countess. “Mereka semua sangat antusias menanti saat bertemu Pangeran.”
“Sejak mengetahui Ratu ingin mempertemukan mereka semua dengan Pangeran, mereka dengan antusias menanti hari ini.”
“Aku senang melihat mereka seantusias ini. Belum pernah mereka sangat ingin bertemu dengan seorang pria muda.”
“Siapa yang tidak tertarik untuk bertemu dengan pria muda yang tampan, gagah dan akan menjadi seorang Raja?” tanya Countess. “Mereka belum pernah dipertemukan dengan pria yang lebih menarik daripada Pangeran. Selama ini tidak seorang pria pun yang dapat menarik perhatian mereka.”
“Mereka terlalu pemilih,” komentar Earl.
“Mereka hanya ingin memiliki suami yang sempurna menurut mereka.
Engkau maupun aku tidak boleh mencegah keinginan mereka. Suatu saat nanti mereka akan menemukan pria yang ditakdirkan untuk mereka.”
“Kurasa selama seminggu ini, kita semua akan direpotkan putri-putri kita,” Earl tersenyum geli membayangkan apa yang akan terjadi selama seminggu ke depan.

Belum sampai satu hari Earl membayangkannya, semua yang dibayangkannya terjadi. Sepanjang hari itu para gadis ramai membicarakan pertemuan dengan Pangeran.
Setiap gadis mengatakan apa yang akan dikenakannya untuk menemui Pangeran. Mulai dari hiasan rambut hingga sepatu, mereka sebutkan. Mereka tidak sabar lagi menanti saat tiba giliran mereka. Hingga makan malam, pembicaraan para gadis itu tetap tidak berubah.

Earl dan Countess hanya tersenyum melihatnya. Pembicaraan para gadis itu seperti tidak akan pernah berakhir. Satu belum selesai, yang lain segera menyahut dan memberi komentar.

Mereka sibuk membayangkan apa yang akan dikatakan Pangeran pada mereka. Mereka menceritakan keinginan mereka bila bertemu Pangeran.

Masing-masing dari mereka akan memperoleh satu hari penuh berdua bersama Pangeran. Tidak seorangpun boleh menganggu mereka selama itu.

Ratu dengan para prajuritnya akan mencegah seorangpun yang ingin mengusik mereka. Ratu menginginkan selama sehari penuh Pangeran berdua dengan seorang di antara tujuh Pelangi Evangellynn yang terkenal akan kecantikan dan kecerdasannya itu.

Selama seminggu Pangeran akan dijauhkan dari sahabat-sahabatnya dan segala kesibukannya. Selama seminggu, Pangeran harus mengenal setiap Pelangi Evangellynn. Selama itu pula Pangeran harus menuruti segala keinginan para gadis.

Pangeran membayangkan hari-hari itu dengan penuh kengerian dan kemuakkan tetapi para gadis Horthrouth membayangkannya dengan penuh antusias.

Keputusan Ratu, membuat Pangeran tidak dapat tidur sepanjang malam. Dalam hatinya terus muncul perasaan muak dan enggan. Pangeran ingin pergi jauh menghindari semua gadis-gadis itu. Apapun sebutan mereka, Pangeran tidak tertarik.

Pagi hari seusai makan pagi, Pangeran harus menanti kedatangan gadis pertama Pelangi Evangellynn.

Pangeran berdiri di depan pintu masuk sambil terus menggerutu dalam hatinya. Ia tidak mengerti mengapa Ratu tega melakukan hal ini padanya. Ratu menyuruh Pangeran menyambut kedatangan tiap gadis dengan cara seperti ini.

Ketujuh gadis itu benar-benar harus diperlakukan dengan istimewa oleh Pangeran. Pangeran tidak boleh membantah semua keinginan mereka. Pangeran harus mengikuti semua keinginan mereka.

Membayangkan kedatangan para gadis itu sudah membuat Pangeran ingin pergi apalagi ditambah harus mengikuti keinginan para gadis yang macam-macam.

Tak berapa lama kemudian, kereta keluarga Horthrouth tiba di depan Pangeran.

Dengan enggan, Pangeran mendekati kereta itu dan membantu gadis di dalam turun dari keretanya.

Carmen tersipu-sipu mendapat sambutan langsung dari Pangeran. Pangeran meraih tangannya dan menciumnya dengan segala hormat.

“Selamat datang, Lady Carmen,” kata Pangeran memberi salam, “Silakan mengikuti saya. Ratu telah menanti Anda sejak tadi.”
 
Sengaja Pangeran melanggar ajaran Ratu. Ratu memerintahkannya untuk berkata, “Saya senang bertemu dengan gadis secantik Anda. Saya telah menantikan kedatangan Anda sejak tadi.”

Semalaman Ratu mengajari Pangeran untuk menghafal kata-kata itu. Pagi ini Pangeran ingat apa yang harus diucapkannya berdasarkan ajaran Ratu tetapi ia tidak mengucapkannya. Pangeran tidak tertarik untuk menanti para gadis itu dan ia tidak mau berbohong pada dirinya sendiri.

Dari semua orang di Istana, yang paling mengharapkan kedatangan para gadis itu adalah Ratu. Semua orang tahu itu. Dan, yang paling tidak menginginkan kedatangan mereka tentu saja sang Pangeran.

Dengan enggan Pangeran mengantar Carmen ke Ruang Tahta di mana Ratu dan Raja telah menanti.

“Hamba, putri pertama Earl of Horthrouth, Carmen, menghadap Paduka Raja dan Paduka Ratu Evangellynn.”
“Berdirilah, Carmen,” kata Raja.
Carmen mengangkat punggungnya. Ia berdiri dengan anggun di depan Raja dan Ratu.
Ratu tersenyum dalam hati melihat Carmen. Tidak salah gadis itu banyak dipuja lelaki.
Matanya yang hijau seperti daun yang telah matang. Rambutnya yang emas kecoklatan berombak dengan indah. Wajahnya yang putih memancarkan kelembutan. Matanya memancarkan kecerdasan. Rambutnya yang digelung rapi membuatnya tampak dewasa. Bibirnya yang memerah tersenyum ramah.
“Siapa yang tidak tertarik pada gadis secantik dia?” tanya Ratu pada dirinya sendiri.
“Aku senang engkau bersedia datang,” kata Raja, “Silakan engkau menghabiskan waktumu di Istana. Anggap istana adalah rumahmu sendiri.”
“Hamba akan berusaha, Paduka Raja. Istana jauh lebih besar dari rumah kami. Akan sulit menyamakannya dengan gubuk kami.”
Ratu tersenyum. “Ajaran orang tuamu selalu melekat pada dirimu. Aku takkan bisa melupakan bagaimana mereka mengajarkan setiap putrinya untuk bersikap rendah hati. Aku tak heran kalian tidak sombong walau kalian sangat cantik.”


( Password : Novel I-One ) 
 
 
 

Sumber : ac-zzz.blogspot.com

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar

Senja telah mengukir kejayaannya di ufuk barat. Di antara warna pelangi yang merekah seperempat lingkaran singgasananya terbangun. Renai hujan di pucuk-pucuk pinus menjadi rahmat bagi semut merah yang lama merindukan air dari langit. Wajah hutan pinus yang berdebu perlahan tersaput tetesan air dari pasukan awan sore itu. Namun, istana senja dengan mahligai mega-meganya tetap menawan tak terkalahkan.
 
 “Tantri! Tantri,” dari dalam bilik bambu yang reot samar-samar terdengar seorang wanita kurus yang sudah setengah baya memanggil anak gadisnya. “Ya, Bu,” jawabnya singkat. Lalu gadis kecil berumur enambelas tahun itu melangkah menuju bilik ibunya,”ada apa ibu memanggil saya?” 
 
“Duduklah di sini, nduk.” Kata wanita setengah baya itu sambil memandang tepian ranjang bambu tempatnya terbaring lemah. 
 
Tantri adalah anak semata wayang bagi bu Diah yang sudah satu tahun ini terbaring lemah karena penyakit jantung. Kemiskinan yang membelenggu kehidupannya memaksanya harus terkurung di dalam bilik bambu itu tanpa dapat berbuat banyak. Untuk menghidupi anak semata wayangnya pun dia sudah tak mampu. Padahal mencari nafkah untuk puterinya itu harusnya sudah menjadi tanggung jawabnya setelah setengah tahun yang lalu pak Rahman suaminya meninggal karena jatuh dari pohon Enau saat ia hendak mengambil air nira hasil deresan-nya. 
 
“nduk, apakah kamu sudah selesai mencari kayu bakar untuk pesanan pak Karman?” 
“sudah bu, Alhamdulillah masih ada juga persediaan jika nanti ada tetangga yang memesan kayu bakar lagi.” 
“Terimakasih nduk, kamu anak yang sangat berbakti. Maafin ibu, karena ibu tidak bisa berbuat yang terbaik untuk kehidupanmu semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia di sisiNya karena baktimu pada orang tua.” Ujar bu Diah sambil meneteskan air matanya. 
 
Gadis kecil itu pun kembali terkenang masa-masa indah saat ayahnya masih hidup, dia leluasa untuk bermain bersama teman-teman sebayanya. Tapi, semua itu kini hanya tinggal sebuah jejak kenangan yang hanya dapat di selipkan dalam hatinya. Saat ini dia di hadapkan dengan kehidupan yang keras, ia harus mencari kayu bakar setiap hari untuk sekedar dapat membeli beras dan ikan asin. Malam harinya dia musti belajar ngaji pada seorang ustadz di langgar timur. “Tantri, Tuhan tidak akan memberi cobaan pada hamba-Nya melainkan Dia sudah memperhitungkan kemampuan hamba-Nya itu.” Pesan ustadznya itulah yang selalu menguatkan hatinya untuk menjalani kerasnya hidup dalam kemiskinan. Apalagi di zaman edan ini susah mencari kerja bagi wanita yang hanya tamatan MTS seperti Tantri. Kehidupan yang miskin itu tak membuatnya terpuruk, malah di sela-sela malam dia masih sempat terbangun sekedar untuk bersujud pada Sang Pencipta. 
.
“Bu, jangan pernah berkata itu lagi. Tantri tidak merasa disusahkan oleh ibu, ya smoga kedepannya kita dapat hidup lebih mapan dari sekarang ini. Bukankah Dia Maha Kaya yang kekayaan-Nya meliputi seluruhnya?” 
“Benar nak, tak ada satupun mahluk di bumi ini yang terlewatkan dari menerima rahmat-Nya.” 
 
Bilik itu kembali sunyi, ada beberapa tetes air mata di pipi ibu dan anak itu. Kemiskinan telah menyeret mereka dalam kepedihan relung hati. Namun, jauh di dasar jiwa mereka masih tersimpan semangat dalam melewati duri-duri perjuangan untuk mempertahankan hidup. Peluh telah berpadu dengan do‟a, lelah telah bersatu dengan ikhtiar. 
 
Perlahan malam telah merayapi tanah jawa, gedung-gedung pemerintahan di kota Nampak terang dengan aneka macam bolam. Ruangan tanpa penghuni di malam haripun tak lepas dari cahaya yang begitu terang, tetapi tidak dalam gubuk kecil itu karena yang ada hanyalah sebuah pelitad yang mulai redup kehabisan minyak. 
 
Di sebuah surau pun hanya ada dua buah lampu Petromak yang digunakan menerangi ayat-ayat suci Al Qur‟an ketika santri-santri itu belajar untuk membacanya. Seorang kyai yang sudah sepuh tampak membaca ayat-ayat Al Qur‟an dengan tenang. Jenggot dan kumisnya yang sudah memutih dengan surban yang dikalungkan seolah berpadu mendukung kearifannya. Suaranya masih nyaring ketika ia mulai membaca ayat-ayat suci tersebut. Makhraj dan tajwidnya juga terdengar fasih, hati akan menjadi bergetar saat melafadzkan firman Allah itu. Pengajian itu di bagi menjadi sembilan kelompok dimana tiap kelompok itu terdiri dari lima sampai tujuh santri yang dipimpin serta diajar langsung oleh santri yang dianggap sudah mumpuni dalam ilmu baca Al Qur‟an dan juga ilmu-ilmu lain yang diajarkan oleh sang kyai. Jadi tampak jelas sekali di dalam surau tersebut meskipun sederhana system organisasinya sudah terlihat jelas. 
 
“Tantri!” kyai itu memanggil santrinya yang baru saja usai membaca surah Annisa yang di simak oleh ustadz Heru sebagai pemimpinnya. 
 “Dalem Kyai,” jawab gadis itu sambil menghadap pada Kyai Rahman. Beberapa pasang mata memandang ke arahnya, betapa tidak. Kejadian itu sangat jarang dilakukan oleh Kyai Rahman. Biasanya beliau kalau ada keperluan langsung memanggil salah satu pemimpin santri. Namun, saat Tantri sudah berada di hadapan Kyainya secara perlahan santri-santri yang lain sudah memalingkan wajahnya dan juga telinganya. Mereka semua ingat pesan sang Kyai, “mendengar pembicaraan yang bukan menjadi haknya itu tidak baik, apalagi mengatakan hal-hal yang bukan haknya untuk mengatakannya. Karena telinga itu akan menjadi sumber malapetaka ketika lidah juga sudah mencuri apa yang sudah di dengar oleh telinga.” 
 
“Tantri, ketahuilah nak keabadian itu tidak ada di dunia ini. Kekayaan dan juga kemiskinan itu sejatinya hanyalah sebuah bahan ujian yang diberikan Tuhan bagi mahluknya,” Tantri yang tidak biasanya mendapat wejangan seperti itu hatinya terasa damai, apalagi wejangan itu di dapatnya langsung dari Kyainya sendiri. Ada setetes rona kebahagiaan di wajahnya mendengarkan wejangan tersebut, tak terasa beberapa tetes air mata telah membasahi pipinya. “aku sudah sering melihat dan mendengar baktimu kepada orang tuamu, itu semua sudah menjadi bukti bahwa kamu sudah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah. Jangan bersedih dengan keadaan yang slama ini kau alami karena segala sesuatunya sudah tertulis sebelum engkau dilahirkan di bumi ini. Dan ketahuilah bahwasanya Tuhan juga memberikan ujian karena Dia juga tahu kepada siapa dia harus memberikan ujian tersebut. Banyak rahasia-rahasia-Nya di balik apa yang sudah menjadi ketentuan-Nya oleh karena itu bersabarlah dan selalu belajar untuk merasa ikhlas atas tiap-tiap sesuatu yang engkau terima, karena dengan anugrah keikhlasan dalam hati nabi Ibrahim AS tidak dapat terbakar oleh panasnya api, karena anugrah keikhlasan dalam hati juga, nabi Ayyub AS tetap beribadah dalam sakitnya dan karena anugerah keikhlasan dalam hati itu juga nabi yusuf terhindar dari perbuatan Zina yang oleh moral tidak dibenarkan. Ikhlas juga yang mendasari ketabahan Rosulullah Muhammad ketika beliau kehilangan istrinya Siti Khadijah. Ingatkah kamu ketika Rosulullah Muhammad mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar? Semua itu menggambarkan bahwasanya orang yang dicintai Allah sekalipun tidak pernah luput dari yang namanya ujian. Namun, tidak ada beban yang mampu meggoyahkan kedamaian hati meskipun azab dan sengsara yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada Beliau. Beliau malah menganggap azab dan sengsara itu sebagai bukti kekuasaan Dia Yang Maha Bijaksana, karena sejatinya tidak ada yang sia-sia dari apa yang pernah di ciptakan-Nya.”

“Matur nuwun Yai Atas nasehatnya,” suaranya melemah. Lalu katanya, “memang kemiskinan yang selama ini saya rasakan teramat berat yai. Namun, disisi lain saya bersyukur karena Allah masih tidak henti-hentinya merahmati saya dengan nikmat batin.” 
 
“Syukurlah kalau kamu juga memahaminya, nak. Sekarang pulanglah! Biar kamu diantar oleh empat orang ustadzmu. Bersabarlah! Karena kesabaran itu tidak ada batasnya dan kesabaran.” 
 
Mendengar petuah kyainya yang terakhir itu, dadanya menjadi sesak seketika. Banyak pertanyaan keanehan yang ia rasakan menghunjam jantungnya,”Malam ini aku tiba-tiba dipanggil oleh yai untuk mendapatkan petuah yang sangat jarang dilakukan. Dan tiba-tiba juga aku diperkenankan untuk pulang dan diantar langsung oleh ustadz, apa maksud yai sebenarnya?” Katanya dalam hati. 
 
Di sepanjang jalan ia masih merenungi kejadian yang terasa janggal itu. Berbagai syak wasangka di hatinya mulai menggerayangi. Keempat ustadz yang sengaja diperintahkan untuk mengiringinyapun di sepanjang jalan tak berkata apa-apa. Hanya suara langkah kaki mereka berlima saja yang sejak tadi berusaha memecah kesunyian.

Sesampainya dihalaman gubuk yang menjadi tempat tinggalnya, Tantri menjadi sadar dan mulai mengerti arah Wejangan kyainya. Dan tanpa pikir panjang lagi dia langsung masuk kedalam gubuk yang gelap gulita itu.


( Password : Novel I-One )



Ada Rindu di Mata Peri - Asma Nadia

Bagi Neta, Mama adalah teman curhat dan partner belanja paling asyik.

Sementara Peter, teman sekelas Ken yang sering dijuluki sebagai Anak Mami, dengan mata mengristal bercerita, "Punya Mami itu spesial, Ken. Pelukan Mami paling oke, tempat paling hangat paling..."

Ketika Peter kehilangan kata-kata, Ken merasa rindunya terhadap ibu semakin membukit.
Seandainya saja ia terlahir sebagai seorang peri.
Dua kepak sayap keemasan menopang tubuh mungil melayari langit tiap matahari terbit. Menuju rindu hingga langit ketujuh.

Rindu. Sangat rindu

Tapi bagaimana mengeja rindu kepada yang sudah tiada?

Mereka bilang ibunya meninggal ketika Ken masih berusia satu tahun.

Mereka juga bilang, ibunya cuma masa lalu.

Mungkin karena itu tak satu pun pertanyaan Ken diangap penting untuk dijawab.

Bagaimana ibu meninggal? Di belahan mana bumi mendekapnya?

Sebab mereka, dengan cara yang sempurna, telah memutus semua jejak, hingga tak ada lagi yang bisa dikenang.

Ken sedih, frustrasi. Setiap malam harus melukis wajah Ibu dalam kanvas imajinasi, dalam khayal dan mimpi-mimpi.

Seandainya saja terlahir sebagai seorang Peri, mungkin ia bisa memilih dongeng yang lebih indah.
 
-Ken lahir.

-Punya ibu tiri, papa menikah dengan mama Alia (yang sudah punya anak namanya Anggun dan Cantik.

-Rumah Ken yang sebelumnya sepi, kini ramai oleh keributan-keributan yang dibuat Anggun dan Cantik(karena iri dan benci pada Ken)

-Papa lebih memihak Anggun dan Cnatik daripada Ken=> Ken selalu disalahkan, namun Mbok Nah tidak hanya diam, Mbok Nah mengaku kalau semua itu kesalahan-kesalahannya(untuk melindungi Ken). Ken kesepian, teman-temannya punya ibu sedangkan ia tidak.

-Kaka(tetangga Ken) datang bersama adiknya(Rere) dan ibunya(Indah). Kaka lebih sreg
dengan Ken daripada dengan Anggun atau Cantik.

-Rasa kesepian Ken mulai meluntur dengan adanya si kecil Rere dan kakaknya. Ken biasa bermain dengan Rere, Ken juga diajari beberapa bahkan banyak hal mengenai dunia fotografi oleh Kaka; lelaki yang biasa mengunyah rumput di sela-sela giginya dan memakai topi baseball. Anggun dan Cantik merasa dirugikan, mereka memutar otak agar Kaka dekat dengan mereka. Mulai dari ngaku-ngaku barang koleksi Ken punya mereka hingga mengkambhinghitamkan Ken di depan Rere.

-Usia Ken 17 tahun. Pagi hari ketika ia genap 17 tahun, ia telah menemui rambutnya dipotong pendek tak beraturan. Mbok Nah membuka rahasia yang akan menuntaskan dahaga Ken, yaitu tentang ibunya. Mbok Nah menyerahkan foto Ken kecil bersama ibunya;Ayuningsih dan memberikan amplop yang disitu tertera alamat ibundanya. Ken tak tau kalau ibunya masih hidup, yang ia tau ibunya telah tiada. Ken memutuskan untuk mencari alamat yang tertera di amplop itu.

-Di dalam perjalanan ke Jakarta, Ken berkenalan dengan Adji(tepatnya sebaliknya). Dan Adji pun mmenolong Ken.

-Di alamat itu, ibunya nihil, namun masih beruntung ada orang yang masih memberi tau alamat ibunya; di Yogya.

-Ken meluncur ke Yogya. Ia terlelap di perjalanan, hingga seorang ibu memberinya tumpangan di rumah ibu beranak keterbelakangan mental itu. Tak lupa Ken mengabadikan sang ibu itu bersama anaknya yang mengurusinya dengan penuh kasih sayang

-Ken menerima telepon dari kawannya; Neta, ia angkat sebelum ia matikan beberapa kali. Neta bertanya, Ken memberi kabar bahwa ia sudah di Yogya, Neta dkk menyusul Ken ke Yogya

-Setelah mereka bertemu di station, mereka bersama-sama mencari alamat ibu Ken. Di alamat itu, beberapa saat mereka mengetuk pintu dan mengucapkan salam namun tak ada jawaban, yang aada hanya perembuan tergopoh-gopoh mendekati mereka dan menjelaskan kalau ayuningsih telah tiadadan menunjukkan makam tanpa nisan. Walau sedih Ken tatap puas, ia tau yang sebenarnya.



1. Tokoh:
a. Tokoh utama: Ken
b. Tokoh lain : Mbok Nah, Papa, Mama Alia, Anggun, Cantik, Kaka, Neta, Upi, Iwan, Adji

2. Karakter:
a. Ken : Baik, tabah, sabar namun ketika menyangkut ibunya ia tak tinggal diam, pintar, bersahaja.
b. Anggun dan Cantik : Iri, dengki, mudah marah, sewwenang-wenang.
c. Papa : Acuh tak acuh, pilih kasih, tidak adil.
d. Mama Alia : Iri, fashionable, pilih kasih, dan mudah marah.
e. Mbok Nah : Penyayang, Pengasih, dan baik.
f. Neta : Rapi.
g. Upi : Baik.

3. Alur: Progresif-regresif.

4. Setting:
a. Tempat : Di rumah papa Ken, Jakarta, Yogya, Bandung.
b. Suasana : Mengharukan dan menyedihkan
c. Waktu : Ketika masih ada academia(kontes menyanyi yang diadakan salah satu tv swasta)

5. Amanat:
a. Untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan harus dengan perjuangan yang melelahkan.
b. Setelah kesulitan ada kemudahan.
c. Kasih ibu kepada beta tak terhingga.
d. Bakti anak pada ibu.


( Password : Novel I-One )



Rahasia Diri - Dennise


Cantik, muda, dan cerdas. Kesan ini terlihat pada Vivi Natali. Berbekal segala kesempurnaan fisik dan kepandaian, jalannya di dunia entertainment makin mulus. Ia bukan artis sinetron yang hanya muncul sesekali saja sebagai bintang figuran. Nama Vivi memiliki nilai jual yang tinggi.

Kemampuan aktingnya tidak diragukan. Ia mampu menyihir penonton untuk tidak beranjak dari layar televisi.

Setelah dirinya berhasil meraih predikat Pemeran Wanita Terbaik di sejumlah ajang penghargaan, namanya makin melambung sehingga jadi rebutan banyak produser sinetron. Tak peduli berapa pun harga yang diminta Vivi untuk setiap episodenya, pasti akan dikabulkan. Karena, namanya sudah menjadi jaminan bahwa sinetron yang dibintanginya akan sukses.

Di usianya yang tergolong masih belia, hidup Vivi sudah bergelimang harta. Sebut saja 2 rumah mewah di kawasan elite Jakarta yang jika ditaksir harganya di atas 3 miliar, beberapa mobil mewah, deposito, dan investasi berupa tanah. Kerja kerasnya selama 10 tahun di dunia hiburan membuahkan hasil yang menakjubkan.

Padahal, ketika masih duduk di bangku SMP, Vi hanyalah seorang gadis dari keluarga sederhana. Selama ini ia tinggal bersama Henny, ibunya, yang bekerja sebagai penjahit. Sedangkan ayahnya tidak jelas keberadaannya. Karena, sejak terlahir ke dunia, Vi tidak pernah mengenal sosok seorang ayah dalam kehidupannya.

“Ma, hmm… apakah saya punya papa?” tanyanya suatu hari dengan takut-takut.

Henny, yang saat itu sedang membuat pola pakaian, berhenti sebentar, lalu menengok sekilas ke arah putrinya. “Punya,” jawabnya singkat. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya

“Kalau punya, kenapa saya tidak pernah melihatnya?” protes Vivi.
“Papamu pergi berlayar jauh ke luar negeri,” jawab Henny, tak acuh.
“Luar negeri?” tanya Vivi, takjub.

Benarkah ayahnya seorang pelaut? Berarti, ia anak orang kaya. Karena, pelaut kan uangnya banyak. Tapi, mengapa sampai saat ini ibunya masih banting tulang menjahit hingga larut malam demi mendapatkan uang? Lalu, dikemanakan uang yang dari ayahnya?
“Ma, kalau Papa seorang pelaut, mengapa Mama masih bersusah payah mencari uang? Bukankah Papa mengirim uang setiap bulan?” tanya Vivi, menyelidik.

“Sudahlah, Vi, Mama lelah. Besok saja kita ngobrol lagi. Mama ngantuk! Sekarang, kamu tutup gorden, periksa pintu, apakah sudah terkunci semua.
Akhir-akhir ini di daerah kita banyak maling!” ujar Henny, sambil menguap.

Begitulah. Henny selalu menghindar setiap kali putri semata wayangnya bertanya tentang keberadaan ayahnya, Bram. Cerita kelamnya itu sudah lama dikubur dalam-dalam. Untuk mengingatnya saja, ia merasa sakit hati, sedih, dan kecewa, apalagi untuk menceritakan kepada putrinya. Ah… bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan mental. Membuka aib masa lalu sama saja dengan menelanjangi dirinya. Belum tentu Vivi bisa terima penjelasan tentang mengapa mereka hanya hidup berdua saja.

Sering kali, perasaan berdosa menyelimuti hatinya. Rasanya, ia tidak tega untuk selalu berbohong dan menghindar setiap kali Vivi menanyakan ayahnya. Tapi, apa mau dikata, ketika itu Vivi masih terlalu muda untuk mengetahui persoalan orang dewasa.

Henny takut, jiwa putrinya akan terguncang, jika ia tahu siapa dirinya, ayahnya, dan wanita lain dalam kehidupan ayahnya, yang telah merusak kebahagiaan Henny. Sekitar 10 tahun lalu, Henny meninggalkan Medan, kota tempat ia tinggal bersama Bram, suaminya. Namun, sejak kehidupannya hancur, ia meninggalkan kota itu

dan merantau ke Jakarta. Sedangkan Vivi, Henny baru berani mengambilnya dari rumah kakaknya, ketika ia sudah mendapat pekerjaan tetap sebagai penjahit di perusahaan konfeksi.

“Benar kamu sudah mempunyai pekerjaan tetap di Jakarta?” tanya Kak Uli, ketika Henny mengutarakan maksudnya untuk mengambil putrinya yang sejak bayi ia titipkan.

“Benar, Kak. Aku sekarang bekerja di perusahaan konfeksi,” ujar Henny.
“Tapi, apa gajimu bisa untuk menghidupi kalian berdua? Ingat, Hen, hidup di Jakarta itu 
susah. Apalagi, kalau penghasilan kamu pas-pasan.

Cobalah pikirkan kembali keputusanmu itu!”

“Kak, aku berterima kasih selama ini Kakak bersedia merawat Vivi dengan penuh kasih sayang. Namun, untuk menebus dosaku selama ini, yang telah menelantarkannya, izinkan aku untuk membesarkannya. Bisa atau tidak bisa, aku harus bertahan hidup di Jakarta. Aku yakin, kalau ada kemauan, pasti Tuhan membukakan jalan. Yakinlah, Kak, aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri!”

Walaupun berat, Uli akhirnya melepaskan Vivi, yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, untuk diasuh oleh ibu kandungnya.

“Hen, jaga Vivi! Jangan biarkan ia bergaul dengan sembarang orang. Ingat! Jakarta itu rawan! Jika salah pergaulan, ia bisa terjerumus. Aku ingin Vivi punya masa depan. Menjadi orang yang bisa dibanggakan. Setelah kau melangkahkan kaki dari kota ini, lupakan semua kehidupan kelam yang pernah kau lalui. Biarlah itu menjadi buku hitammu. Harapan Kakak, kau dan Vivi bisa hidup bahagia,” kata Kak Uli, panjang lebar.

“Terima kasih, Kak. Doakan aku berhasil dengan kehidupan baruku.”

Suara Vivi membuyarkan lamunan Henny. “Ma, sudah rapi. Semua pintu sudah dikunci. Kok, Mama bengong?”

“Tidak, Sayang…. Ya, sudah, kalau semua sudah beres, kita sekarang tidur, yuk!” ajak Henny, sambil menggandeng Vivi menuju kamar.

Ponsel Vivi berdering keras saat ia sedang bersantai membaca skenario, yang baru diterimanya dari produser.

“Vivi, ya? Ini aku, Tumpak. Aku ingin wawancara dengan Anda besok. Ada waktu?”

“Hmm… Tumpak? Dari majalah Wanita, ya?” Vivi coba mengingat-ingat. Selama ini ia cukup selektif dalam hal wawancara. Ia tidak mau sembarangan menerima wawancara dari media. Bukan karena sombong. Tapi, ia tidak mau karier yang sudah dirintisnya dari bawah hancur karena pemberitaan media yang simpang siur.


( Password : Novel I-One )


Sumber : ac-zzz.blogspot.com

Cinta Buta Sang Penulis Muda - Bios


Kring…! Kring...! Kring...! "Duuuh... telepon lagi. Pasti deh itu dari
pemuja rahasia. Dasar gak punya kerjaan. Emangya enak apa ditelepon melulu, mana gak penting lagi. Mentang-mentang gua ganteng, trus dia bisa senaknya neleponin gua terus. Ah, masa bodolah... pokoknya gua gak mau angkat, biar yang lain aja yang angkat tuh telepon. Dia gak tau kali kalo gua lagi nulis sesuatu yang penting, sesuatu yang bisa mencerahkan diri gua biar lebih sabar ngadepin orang kayak dia. Tuh kan, lupa deh... Hmmm... sampe dimana tadi ya?" Boy tampak garuk-garuk kepala (maklum banyak ketombe), lantas spontan (Uhuiii) melihat ke luar jendela yang saat itu tampak sudah gelap gulita. Seketika pemuda itu tersentak, dilihatnya bayangan putih tampak berkelebat cepat, melintasi pohon belimbing yang ada di samping kamar.

"Wedew...! I-itu tadi apaan ya? Ja-jangan-jangan, tadi itu hantu atawa dedemit? Hiii... bulu kuduk gua ampe merinding. Kalo gitu, mending gua tidur aja deh. Daripada tuh hantu lewat lagi, trus ngasih liat mukanya yang serem. Hiiii... Bisa-bisa ntar gua sumaput lagi." 


Esok paginya, Boy sudah lupa dengan kejadian semalam. Maklumlah, Boy itu memang pelupa, dan itu akibat dampak narkoba yang sudah dikonsumsinya sejak masih remaja. Namun kini dia sudah bertobat, dan itu lantaran ulah Lala, gadis manis ber-body seksi yang sudah membuatnya tergila-gila. "Lala... ya ampun, kenapa gua sampe lupa. Kemarin kan dia udah kirim naskah yang kudu gua baca. "

Karena itulah, Boy pun buru-buru mandi dan berbusana dengan sangat rapi. Maklumlah, di warnet langganannya kan banyak cewek-cewek cantik. Malu dong kalau berpenampilan ala kadarnya.

Begitulah Boy... pemuda ganteng yang memang suka tebar pesona. Kini pemuda itu sudah tiba di warnet dan sedang melihat-lihat email yang masuk, dan yang paling menarik perhatiannya adalah email dengan subject "Naskah Lala". Lantas dengan bersemangat, pemuda itu pun segera membukanya.

Assalam... Alo, Kak Boy! Lala dah kangen banget nich. Kapan
dunk main ke rumah? O ya, Kak. Maaf ya kalo Lala lom bisa kasih jawaban. Itu loh, mengenai surat Kakak tempo hari. Hihihi...! Abis pertanyaannya susah banget sih. Kayaknya aku butuh waktu deh buat ngejawabnya. Sekali lagi maaf ya, Kak.
Eng... Kakak gak marah kan? Kalo enggak, tentunya mau dunk baca naskah aku, trus jangan lupa kasih kritik dan sarannya. Biar kelak aku bisa jadi penulis handal yang sukses.
Udah ya, Kak. Dah malem nih, mo bobo. Dah, Kak Boy.... Mmuuuuuacccchhh!!! Wassalam…

Usai membaca, Boy langsung geleng-geleng kepala. "Wedew... Kenapa ngasih jawaban cuma satu kata aja susah banget sih. Kan dia tinggal bilang ya ato enggak, begitu aja kok repot. Mmm... kalo soal kritik-mengkririk gua emang jagonya, tapi kalo gua sendiri dikritik tar dulu deh."

Kini pemuda itu sedang melihat-lihat komentar atas tulisannya yang dimuat di sebuah milis.
"Wedew... apa ini? Mmm... Siapa sih Bang Jojo? Sok banget pake nasihatin gua. Hmm... Paling juga, dia itu penulis pemula yang kudu banyak belajar. Awas ya! Kalo ada kesempatan, pasti akan gua bales. Itu orang emang kudu dinasihatin, biar dia nyadar kalo masih pemula tuh jangan sok nasihatin orang," kata Boy jengkel.

Begitulah, Boy... dia itu emang paling anti dikritik, apalagi dinasihati oleh orang yang dikiranya pemula itu. Dia tidak tahu, kalau Bang Jojo itu seorang penulis andal yang sudah banyak makan garam kepenulisan.

"Huh! Skarang gua jadi gak mood deh, padahal tadi gua udah mau nulis sesuatu yang penting. Dasar,

penulis pemula yang sok tau. Pasti tuh orang gak pernah makan bangku sekolaan," umpat Boy dengan hati yang bak terbakar api.

Lantas dengan hati yang masih berkobar, pemuda itu segera meninggalkan warnet. Kini pemuda itu sedang dalam perjalanan pulang, melangkah dengan gontai di jalan raya yang lumayan ramai. Hatinya yang semula panas membara, akhirnya dengan perlahan dingin kembali. Dan itu semua karena dampak dari melamunkan Lala—seorang cewek manis berambut ikal sebahu yang membuatnya tergila-gila.

"Hmm... gua gak mau nunggu, gua harus dapat jawaban segera. Tapi... ah, udalah. Gue kan belon coba, ngapain gua mikirin peristiwa yang belon jelas itu."

"Awaaas Masss!!!" teriak seseorang tiba-tiba. Cieeetttttt....!!!! "Astaga naga, makan nasi pake garem enak juga,"

ucap Boy terkejut luar biasa. "Woi! Goblok..!!! punya mata gak si lu??? Lu pikir
nih jalanan punya bapak moyang lu apa! Untung gua

sempet ngerem, kalo kagak udah mati lu," maki seorang supir angkot kepadanya.
Saat itu Boy cuma diam, dia tidak berani berkata-kata  lantaran tampang supir angkot itu galak abis. Setelah angkot menjauh, Boy kembali melangkah.

"Dasar supir angkot sialan! Seenaknya aja makimaki gua. Emang dia gak tau apa, kalo gua lagi ngelamun. Namanya juga orang ngelamun, wajarkan dong kalo gak konsen merhatiin jalan," gerutu Boy dalam hati.

"Huff…!!! Hampir aja tadi gua mati, padahal kan gua belon kawin. Hmm… Gimana ya kalo tadi gua bener-bener mati. Masa sih belon kawin udah mati, kasian banget deh gua. Mending kalo masuk surga, bisa kawin ama 40 bidadari. Tapi, kalo gua masuk neraka. Wah, itu namanya udah ketrabrak terlindas pula. Jangan sampe deh…"

Begitulah Boy… Walapun dia takut masuk neraka, tapi masih saja berani berbuat dosa. Seperti waktu itu, ketika dia lagi nongkrong di depan warnet. Dengan asyiknya dia memperhatikan cewek seksi berjilbab bahkan dengan agak bernafsu dia begitu tekun memperhatikan lekuk-lekuk tubuh indah nan menggoda itu, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Diperhatikannya wajahnya yang manis, bibirnya yang sensual, yang saat itu ingin sekali diciumnya. Dan yang paling membuatnya menelan ludah adalah bagian pinggul di cewek yang benar-benar seksi, mengenakan jeans ketat berstel kemeja lengan panjang merah muda. Kemejanya yang agak ketat dan hanya sebatas pinggang itu tampak matching, menutupi kaos u can see (but you can’t touch) putihnya. Sungguh sebuah perpaduan yang sangat serasi dan membuat pemuda itu lupa dengan dosa. Saat itu, hasrat primitif dan juga insting lelakinya tampaknya sulit dikendalikan. Maklumlah, Boy itu memang masih banyak dosa, hatinya pun belum sebening mata air, yang bisa dengan mudah membedakan antara pasir dan permata. Sebagai manusia awam yang masih harus banyak belajar, Boy memang sangat kesulitan untuk membeningkan hati. Katanya, bagaimana mungkin hatinya bisa bening kalau setiap hari terus dikotori dengan hal-hal yang demikian. Manusia sekelas AA Gym saja masih suka pusing dengan hal-hal yang demikian. Apalagi gua, manusia bodoh yang kurang pemahaman agama. Hmm… Rasanya memang hanya hidayah Allah saja yang mampu membeningkan hati Boy dari kekotoran seperti itu. Maklumlah, sistem di negeri ini memang masih belum bisa membantu orang-orang seperti Boy, yang bak buih di lautan terus terombang-ambing tak tentu arah.


Ikuti Cerita Selanjutnya.....!!!



( Password : Novel I-One )



 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: