Loading

Akhir Sebuah Penantian - Wardhina Ayu Wakhidatun


  Aku hidup bukan untuk menunggu cintamu.
Sulit ku terima semua keputusan itu.
Yang kini hilang tersapu angin senja.
Masih sulit pula untuk ku lupakan.
Suram dan seram jika ku ingat kembali.
Mungkin harus ku biarkan semua kenangan itu,
agar abadi oleh sang waktu.
 

Pagi ini cerah, hangat mentari yang bersinar dan sejuk embun di pagi itu membuat semangat untuk menuntut ilmu makin bertambah. Ku percepat langkahku. Seusai sekolah, ada ekstrakulikuler seni tari dan aku pun mengikutinya. Masih belum beranjak dari tempat duduk ku. Dari arah belakang terdengar suara yang memanggilku.
“Idaaa, tunggu !”

Aku pun melihat ke belakang “Kamu Raff, ada apa kok sampai tergesa-gesa ?” tanyaku penasaran.

“Emmm, ada yang mau kenalan sama kamu !”

“Tapi Raff, udah mau masuk kelas seni tarinya”

“Ya telat dikit kan gakpapa”.

Aku tidak menjawabnya. Aku bergegas pergi menuju kelas seni tari. Aku simpan kata-kata Raffi tapi aku tidak memikirkannya disaat aku sedang mengikuti seni tari.

***

Hari ini aku sengaja berangkat pagi, aku ingin menikmati udara pagi, walaupun jarak antara rumah dan sekolah dekat. Sewaktu istirahat aku kembali ingat dengan kata-kata Raffi kemarin siang. Siapa dia? Anak mana? Namanya siapa? Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di benakku. Hingga aku tak sadar jika aku sedang melamunkannya.

“Heyhey, mikirin siapa sih kamu?” Tanya Ega yang membuyarkan lamunanku.

“Ha? Aku gak mikirin apa-apa tuh!”

“Kok ngelamun sih? Haaa, masih keinget ya sama kata-kata Raffi kemaren?”

“Ehh, apaan sih, mentang-mentang pacar Raffi trus kalian ngejek gitu, ahh gak asyiik”

“Yaya, Cuma bercanda kok”

Tiba-tiba Raffi datang menemuiku. Entah apa lagi yang akan ia sampaikan kembali. Aku sendiri tidak berharap jika kata-kata itu lagi yang akan ia sampaikan.

“Daa, ikut yuk, dia mau ketemu kamu, tuh udah ditunggu di kantin” ajak Raffi.

“Ahh, engga ahh, biarin aja dia samperin”

“Kok gitu? Ya udah deh, ini kesempatan loh, kok malah kamu sia-siain” Ucapan Raffi didengar oleh Layla, yang juga saudara Raffi.

“Ehh, ada apaan nih, keliatannya seru! Ada apa sih Raff, kok gak bilang-bilang?”

“Gak ada apa-apa, udah nanti aku ceritain”

Bel masuk kelas pun berbunyi, aku segera masuk kelas. Dan aku mengikuti pelajaran yang berlangsung hingga usai. Pulang sekolah biasanya aku jalan sendiri, jarak rumah deket.

“Ciiye Idaa” goda Layla

“Ada apa sih?” tanyaku penasaran.

“Tuh, orang yang di depan gerbang pake tas item ada corak biru, itu orang yang mau ketemu kamu.”

“Ha? Siapa dia? Namanya siapa?”

“Dia Tyo, anaknya pendiem banget, dia sahabat karib Raffi sama Adi”

Tanpa kata-kata apapun aku bergegas pulang, dalam perjalananku aku memfikirkan semua hal yang Layla beritahu tadi. Yah, Tyo, aku masih tidak menyangka kenapa dia mau bertemu, kenapa harus lewat temennya? Ah mungkin dia malu. Ya udahlah.

***

Hari ini mulai muncul kabar buruk, banyak yang menyangka bahwa aku ini adalah pacar Tyo, padahal bukan sama sekali. Aku kenal sama dia aja baru kemarin. Di sela-sela pelajaran aku gunakan untuk menuliskan sebuah kata-kata. Sepertinya aku memang benar-benar jatuh hati pada Tyo, “ahhh, kenal langsung aja belum kayaknya mustahil deh” kata itu selalu muncul di benakku.

Saat jam istirahat, aku selalu melewati kelasnya. Aku selalu melihat tingkah lakunya, yang terkadang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Oh mungkin inikah cinta? Aku pernah merasakannya tetapi aku tak ingin merasakannya lagi untuk saat ini.

Setelah kita kenal begitu lama, aku mengenal dia dengan ramah, dengan baik, walaupun diantara kita tak pernah ada satu perkataan. Tiba-tiba semua perasaanku menjelma, berubah entahlah seperti apa isi otakku. Aku menyukainya, aku menyayanginya. Aku yakin dia pun begitu, tapi aku tidak pernah pecaya itu, aku tidak pernah percaya bila ia menyukaiku juga, aku hanya berharap begitu banyak padanya.

Hari ini ekstra pramuka sebenarnya, aku sama Tyo mau bicara tapi dia tetap tidak mau. Dia tetap tak membuka kesempatan untuk perasaan kita. Tapi aku masih yakin bila dia benar-benar mencintaiku. Sore itu aku hanya pulang dengan semua mimpi ku yang telah pupus. Aku tak membawa secuil harapan lagi untuk rasaku ini.

***

Malam ini aku tulis surat untuk nya. Aku harap ada sedikit respon darinya. Dan respon itu tidak membuatku patah hati dan patah semangat. Aku tahu Tuhan pasti mengerti disetiap mimpi dan harapanku.

Setelah selesai aku pun tidur. Hari ini aku sengaja bangun pagi, selain aku piket aku juga ingin melihatnya lebih awal, hehe. Aku datang pertama di sekolah, datang pertama juga di kelas, aku langsung piket, bersihkan semuanya. Setelah selesai, aku kasih surat itu langsung ke dia. Aku tak pernah mengira hal buruk apapun akan menimpa kita setelah surat itu kau baca. Tiba-tiba Imma datang mengetuk pintu kelasku. Dia meminta ijin dahulu, lalu memanggilku untuk menemuinya. Aku yang bingung, langsung saja aku menurut.

“Nich surat dari Tyo!” kata Imma sambil memberikan surat dari Tyo.

“Apa ini? Jawaban suratku tadi pagi ya?”

“Iyaa, baca aja, dia bilang dia minta maaf kalo udah nyakitin perasaan kamu, dia gak bermaksud kayak gitu, ya udah baca aja.”

“Iyaa, makasiih udah ngaterin suratnya, aku titip salam buat dia”

Seketika aku menangis, air mata ini sudah tak bisa ku tahan lagi. Tetes demi tetes mulai membasahi wajahku. Lalu ku hapus lagi begitu pun seterusnya. Aku masuk kelas dan aku lanjutkan pelajaran yang sempat tertunda, aku anggap saja ini semua tidak pernah terjadi.

“Ada apa sih, Yuk?” Tanya Ega.

“Di.. dia.. dia udah jawab semuanya” kataku terbata-bata

“Jawab apa? Bukannya diantara kalian itu tak pernah ada apa-apa?”

“Dia gak suka aku Ga, aku sih fine tapi kenapa sih yang nganter harus Imma, dulu pas kamu sama Raffi putus, Imma juga kan yang nganter?”

“Iya ya, kok aku lupa ya? Ya udah deh, kamu yang sabar aja, cowok itu gak Cuma satu kok, gak Cuma dia doang”

“Iyaa Ga, makasiih” jawabku sambil mengusap air mataku

“Iya sama-sama”

***
Sulit menjalani hari tanpanya lagi, walaupun kita hanya sebatas gebetan, tapi ternyata hal itu membuat kita menjadi bersahabat. Berbulan-bulan aku nanti jawabanmu lagi. Tapi ternyata jawaban itulah yang sudah kamu tetapkan. Aku hanya pasrah, aku menangis, bagaimana tidak jika seseorang yang aku sukai ternyata telah membuatku menangis.

Aku berharap suatu saat nanti Tuhan mempertemukan kita, dan Tuhan izinkan kita bersama. Jika Tuhan tidak mentakdirkan kita bersama biarlah perasaan itu menjadi sebuah kenangan masa SMP kita.


*THE END*
Reff. cerpen.gen22.net

Cerpen Kasih Tak Sampai - Karya Devi Nurmalasari


Haii...hari ini aku baru saja mulai tahun ajaran baru,sekarang aku duduk di kelas 1 SMP swasta d daerah ku. Aku adalah seorang anak bungsu dari 4 bersaudara...nama ku Dera! hari ini,bulan juli 2004,aku mulai MOPD di sekolah baru ku. setelah 2 hari aku melalui masa MOPD,aku merasa tidak ada yang aneh...semuanya berjalan lancar,namun di hari ke 3 aku menjalani MOPD,aku mulai merasakan hal yang aneh..aku bertemu dengan seorang kakak kelas ku...dia sekarang duduk di bangku kelas 3. waktu itu,para peserta MOPD,harus mengumpulkan sebanyak-banyaknya tanda tangan dari kaka kelas. aku pikir,itu akan mudah..namun ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. kakak kelas yang akan aku mintai tanda tangan,tidak begitu saja memberikan tanda tangan mereka dengan percuma,mereka menyuruh ku bernyanyi,membaca puisi,mengatakan cinta,atau apa pun yang mereka ingin kan. sampai suatu ketika,aku berjalan menuju kantin sekolah,aku berniat meminta tanda tangan kepada kerumunan kaka kelas laki-laki yang sedang asik bermain gitar. "kak..maaf gangu,boleh gk minta tanda tangannya?"

Sejenak,mereka berhenti memetik gitar mereka. kemudian mereka tertawa...sungguh malunya aku ketika itu. memang,aku akui,mereka sangat good looking,apa lagi yang satu itu...dia sangat mencuri perhatianku,seorang pria dengan postur badan yang tinggi,kurus,hidung mancung,pokoknya TAMPAN...namanya BAYU.

"boleh kok..boleh banget,tapi ada syaratnya"...kata salah seorang dari mereka yang aku tahu namanya itu niko..

"apa kak syaratnya?? aku mau deh,asal kakak-kakak mau ngasih tanda tangan buat aku" jawab ku. "gampang kok,elu harus nyanyi sambil main gitar! gimana?? mau?" aku terkejut mendengar ucapan dari niko,kata orang-orang,suara ku cukup enak di dengar jika bernyanyi,jadi aku tidak keberatan jika di suruh bernyanyi,tapi yang membuat aku terkejut adalah...BERMAIN GITAR,aku sama sekali tidak bisa bermain gitar..."oh god,gimana ini??" jerit batin ku. "tapi kak,aku gk bisa main gitar,aku nyanyi aja yah...ga apa-apa kan??" pinta ku.

"gk bisa dong..mana enak nyanyi tanpa musik!?" jawab niko...melihat aku yang kebingungan,bayu merebut gitar yang d pegang niko. "udah lah ko,kasian dia...biar gw aja yang maenin gitar buat dia! oh iya,nama kamu siapa?" aku tekejut,dengan membalas uluran tangannya,aku menjawab "makasih kak..nama aku dera. kaka beneran mau maenin gitar buat aku?? makasih banget yah kak..aku bakalan nyanyi lagu kesukaan kaka deh....kaka pngn aku nyanyi apa??" bayu tersenyum melihat tingkah ku yang sangat kekanak-kanakan..
"kamu tau lagu slank yang judulnya KU TAK BISA?" tnya bayu.."tau banget kak,kaka pngn aku nanyi itu??" bayu mengangguk. aku pun bernyayi dengan diiringi petikan gitar bayu.

Niko dan teman-temannya takjub mendengar suara ku. "waaaahhh...suara lu bagus banget der..hebaaatt deh,sini gw kasih tanda tangan!" kata niko. ketika niko memberi tanda tangan di buku ku,teman-temannya pun ikut memberikan tanda tangan mereka. bayu tesenyum kepada ku...senyumannya maniiiis sekali. tuhaannn...jantung ku rasanya mau copot melihat senyumannya. "suara kamu bagus." kata bayu.

Hari itu pun berlalu..akhirnya masa MOPD telah selesai,kini hari pertama ku mengenakan seragam putih biru. waktu itu adalah pengumuman kelas,hasil dari pengumuman itu,aku akhirnya duduk di kelas 7-3,seketika itu,aku dan sahabat ku fitri berhambur masuk kedalam kelas. aku memilih duduk di bangku depan di depan pintu,aku terkejut ketika melihat ke atas,ternyata bayu duduk di deretan bangku paling belakang,dia sangat terlihat jelas. aku senang,ternyata kelas ku dan kelas bayu bersebrangan. setiap hari,aku memperhatikan bayu dari balik jendela kelas. suatu hari,aku cerita tentang perasaan yang selama ini kau pendam kepada sahabat ku fitri.."serius lu der?? emang iya sih..bayu itu ganteng banget,tapi kan cowo ganteng itu pasti banyak yang suka,mustahil banget dia belum punya pacar..secara tampangnya itu loh der...ganteeeng banget,bisa-bisa nanti lu di labrak kaka kelas kalo mereka tau lu naksir sama dia!"

"gw gk peduli fit..yg jelas,gw suka banget sama dia,gw baru ngerasain ini fit..mungkin ini yang di sebut FIRST LOVE yah fit??" jawab ku.
"iya...gw ngerti der. ya udah deh,gw dukung lu. tapi lu harus berani dong ngomong sama dia kalo lu suka sama dia!"

Mendengar ucapan fitri,aku berfikir. aku berencana untuk memberikan hadiah valentine untuk bayu.setidaknya dia tahu kalo selama ini aku mengaguminya.
"fit...hari ini kan valentine,lu tau gk?? gw udh nyiapin hadiah buat bayu." fitri kaget,"nekad lu yah der,ya udah,nanti istirahat,gw panggil bayu buat nemuin lu d depan toilet sekolah!"
yah..itu lah fitri,dia selalu mendukung apa yang aku mau. dia memang shabat yang baik. setelah istirahat tiba,fitri menepati janjinya untuk membawa bayu kedepan toilet sekolah untuk menemuiku.
"dera?? kamu manggil kaka? ada apa?" aku gugup,kaget,senang,bercampur aduk rasa ku saat itu. "eh kak bayu...hhehe. iya kak,aku cuma mau ngasih ini buat kaka." aku menyerahkan bungkusan yang berisi coklat untuknya. "buat apa? kaka kn gk ulang tahun!" aku malu sekali saat itu,dengan gugup aku menjawab,"itu hadian buat kaka,hari ini kan hari kasih sayang,jadi dera cuma mau ngasih hadiah buat org yg dera sayang aja. dera sayang sama kak bayu." sekuat tenaga aku mengerahkan tenaga ku,menyingkirkan rasa malu ku hanya untuk mengatakan itu kepada bayu. tapi reaksi bayu hanya tesenyum. "makasih ya der!" aku kaget...MALU gara-gara melihat reaksi bayu.

Dengan perasaan kacau,aku masuk ke dalam kelas,disana sudah ada fitri yang menunggu cerita ku. aku menangis,aku merasa sangat malu karena aku telah melakukan hal yang bodoh dalam hidup ku.

Hari-hari pun berlalu,ternyata bayu menunjukan perubahan sikapnya terhadapku,dia sangat baik dan perhatian terhadapku. hampir setiap jam dia menelpon ku,aku sangat senang dengan keadaan yang seperti ini,walaupun kini aku dan bayu hanya menjalani hubungi tanpa status,namun gosip yg beredar di sekolah kalau aku dan bayu itu berpacaran,awalnya aku merasa nyaman dengan gosip seperti itu,karena mungkin dengan begitu,tidak akan ada yang berani menggoda bayu,karena yang mereka tahu,dia adalah milik ku. namun pikiran ku salah besar,tidak aku duga,ternyata ada seorang kaka kelas wanita ku,namanya rani,dia melabrak ku dan mengatakan kalau dia sudah lama mengincar bayu. "ya udah sih kak,kita bersaing secara sehat aja!" jawab ku seakan menantang dia. "berani lu sama gw? oke..jangan nyesel kalau nanti bayu ninggalin lu!" kata-kata rani sangat membuat ku sakit hati dan sedih,aku benar-benar takut kehilangan bayu,sangat takut.

Singkat cerita,akhirnya bayu pun lulus dari sekolah kami. aku sedih,sangat sedih karena aku tahu,tidak akan ada lagi sosok bayu di sekolah ku,tidak akan ada lagi sosok yang akan melindungi ku dari ancaman kaka kelas ku,rani.

"kamu jangan sedih dera,kaka janji kok bakalan tetep telponin kamu tiap hari." ucap bayu. aku cukup merasakan ketenangan ketika mendengar kata-kata bayu. tahun pertama dia masuk SMA,dia memang rutin menelepon ku hanya untuk menanyakan keaadaan ku,tapi setelah tahun kedua,bayu menghilang,tidak ada kabar darinya,handphonenya tidak bisa di hubungi,aku kalang kabut mencari tahu tentang bayu. bertahun-tahun aku tidak tau keberadaan bayu,dan juga aku tidak pernah tau kabarnya seperti apa.
 Sampai suatu hari,ketika aku sudah masuk SMA,aku mulai menemukan titik terang tentang keberadaan bayu,ternyata selama ini dia pindah keluar kota.

"dera..udah dong jangan mikirin bayu aja! udah 3 taun lu mikirin dia terus,sekarang lu udah tau kan dia ada di luar kota? jadi udah..jangan harepin dia lagi!" ujar fitri ketika melihat keadaan ku yang sedang sakit. memang,akhir-akhir ini aku sering masuk rumah sakit,tapi aku sendiri tidak tau penyakit apa yang menyerang ku,orang tua ku bilang,aku hanya demam dan anemia biasa,sehingga aku sering merasakan sakit kepala.

Suatu hari,ketika aku sudah merasa sehat,aku mulai kembali masuk sekolah. ketika aku sampai di rumah,mama ku memberi kabar bahwa tadi ada seorang pria yang mencariku,dia hanya menitipkan sepucuk surat untuk ku. setelah aku buka surat itu,aku sangat terkejut,ternyata bayu...dia meninggalkan nomer handphonenya untuk ku. tanpa pikir panjang,aku langsung menelpon dia.
"haloo...kak bayu?"
"iya...dera yah?"
"iya kak..kaka kemana aja? kenapa gk ngabarin dera? mna janji kaka yg bilang mau nelpon dera tiap hari? dera kangen banget sama kak bayu! tadi kak bayu ke rumah yah?"
"iya dera...kaka minta maaf,waktu itu handphone kaka ilang,jadi kaka gk bisa ngabarin dera,mau ke rumah kamu juga gk sempet!"

Kurang lebih 2 jam aku melepaskan rinduku pada bayu lewat telpon,akhirnya kami berjanji untuk bertemu,sekedar melepas rindu. kami bertemu di salah satu mall d daerah ku. "kita mau kemana kak??" tanya ku pada bayu, "kita nonton aja yu?" ajak bayu. dengan semangat,aku mengikuti ajakan bayu.

Selama di dalam bioskop,pandangan ku tidak pernah lepas dari bayu,sungguh,aku sangat mencintai sosok pria yang ada di hadapan ku. ketika aku tengah asik ngobrol dengan bayu,ponselnya pun berbunyi,setelah aku lihat,ternyata tertulis "my love rani memanggil" ada panggilan masuk untuk bayu,dan itu pasti dari wanita,sesaat bayu meninggalkan ku untuk menerima telpon dari wanita yang bernama rani itu. "telpon dari siapa kak? kok pake ada kata-kata my lovenya?" tanya ku pada bayu. "itu pacar kaka der!"
duuuaaarrr...hati ku bagai di serang petir di tengah hari bolong.

"itu namanya rani kak? bukan rani kaka kelas aku waktu di SMP kan kak?" tanya ku dengan berusaha agar tetap tegar. "bukan der..kaka gk mungkin pacarin cewe yang udah nyakitin kamu,yang udh ngusik hidup kamu dera...kaka janji" bayu mencoba menenangkan aku. tapi bukan kata-kata itu yang aku harapkan kaluar dari mulut nya. jujur saja,aku sangat ingin menjerit saat itu,aku sangat terpukul ketika tahu bahwa dia telah mempunyai kekasih,itu artinya penantian aku selama ini sia-sia. "ya udah,gak apa-apa kok kak,sebagai adik,dera cuma pengen yang terbaik buat kaka,selama ini,dera cuma anggap kak bayu kaka dera sendiri kok!" ucap ku membohongi diri dan perasaan ku sendiri. "makasih banget yah dera.." jawab bayu.

Tiba di rumah,aku berdiam diri di kamar,aku menangis,aku tak kuasa menahan rasa kecewa ku..ingin sekali aku membenci bayu yang selama ini tidak menghargai perasaan ku. tapi aku tidak bisa membencinya.

Suatu hari, sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang,aku mampir ke toko buku untuk membeli novel kesukaan ku,disana aku melihat bayu sedang asik membaca komik kesukaannya. "kak bayu..ngapain disini? asiik..dera bisa nebeng pulang dong?" canda ku kepada bayu. "eh dera...." bayu tampak kaget ketika dia tahu kalau aku ada di tempat yang sama dengan dia.
"eh anak kecil..ngapain lu disini??" suara itu mengejutkan aku..betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa suara itu adalah RANI,musuh terbesar ku selama aku di SMP. "lu sendiri ngapain disini?" tanya ku ketus.
"gw nemenin pacar gw beli buku,pacar gw itu bayu!"
duuuuaarr...petir kembali menyambar ku...aku kembali kecewa untuk kesekian kalinya kepada bayu..dia berjanji untuk tidak menjalin hubungan dengan rani,tapi ternyata dia telah menjalin hubungan dengan orng yg paling aku benci. apa maksud semua ini?? aku sangat bingung,kecewa,dan sakit hati. Aku berlari meninggalkan mereka,aku pikir,bayu akan mengejar ku,ternyata tidak. bayu sama sekali tidak mempedulikan aku.

Sampai di rumah,aku mengurung diri di dalam kamar,aku tidak berhenti menangis,sampai aku tertidur karena lelah menangis. sore harinya,aku terbangun dari tidur ku,aku keluar kamar dengan mata yang sembab,ketika aku mulai keluar dan ingin menghirup udara di luar,bayu datang. "dera..kamu kenapa tadi pergi gitu aja?" tanya bayu pada ku. "gk apa-apa kok,dera cuma cape,pengen pulang! kaka mau ngapain kesini?"

"kaka mau ngasih kamu sesuatu,kaka harep,kamu bakalan suka!" aku tersenyum mendengar kata-kata bayu,aku mencoba menebak,apa yang akan bayu berikan pada ku. ternyata bayu memberikan ku surat undangan pernikahan. "siapa yang nikah kak?" tanya ku pada bayu

Setelah aku buka,ternyata bayu akan segera menikah dengan wanita itu..wanita yang sangat aku benci,dan dia juga membenci ku. "kaka mau nikah sama si rani?"
"iya der,kamu harus dateng yah!"

Tanpa menghiraukan bayu,aku masuk kedalam rumah. disana,aku kembali menangis..bayu akan segera menikah,dan itu artinya penantian,perasaan ku selama ini untuknya sangaat sia-sia....entah kenapa,saat itu aku merasakan sakit yang luar biasa pada kepala ku,sampai akhirnya aku jatuh pingsan. entahlah,aku mengira saat itu aku hanya terlalu lelah menangis,ternyata semua salah. selama ini orang tua ku membohongi tentang penyakitku,aku bukan hanya sekedar anemia,tapi aku mengidap penyakit kanker otak. satu minggu belakangan ini aku berada di rumah sakit,aku ingat bahwa besok adalah pernikahan bayu. ingin sekali aku datang untuk mengucapkan selamat untuknya,tapi aku takut tidak dapat membendung air mata ku di hadapan bayu. ketika aku sedang memikirkan bayu,tiba-tiba rasa sakit di kepala ku menyerang begitu hebat,aku rasa aku tidak dapat bertahan lagi saat ini. aku sudah tidak mampu melawan rasa sakit ini,saat itu aku melihat sosok makhluk berbaju putih tersenyum pada ku. saat itu juga aku yakin bahwa aku telah sampai di akhir usia ku.

Yaah...aku meninggal dunia karena kanker otak yg selama ini bersarang d tunbuh ku. aku meniggal tepat ketika bayu menikahi rani..wanita yang sangat membenci ku.

Tapi...FIRST LOVE NEVER DIE,aku membawa pergi rasa cinta ku kepada bayu..aku yakin,rasa cinta ini akan selamanya ada dalam pikiran ku,meskipun jasadku sudah tidak ada dalam bumi ini.


The End


Ucapan Ajaib dari Peri


Dahulu, ada seorang janda yang memiliki dua anak perempuan. Anak yang sulung angkuh dan pemarah seperti ibunya, sedangkan yang bungsu manis dan lemah lembut.

Sang ibu sangat memanjakan anaksulung nya yang memiliki sifat yang mirip dengannya, dan memperlakukan si bungsu dengan sangat buruk. Si bungsu disuruhnya melakukan hamper semua pekerjaan di rumah. Salah satu dari tugas si bungsu yang malang adalah berjalan kaki 1 kilometer jauhnya ke sebuah mata air dan membawa pulang air dalam sebuah ember besar.

Pada suatu hari saat si bungsu sedang mengambil air di mata air, seorang wanita tua datang dan meminta air untuk minum.

“Tunggu sebentar, akan kuambilkan air yang bersih untuk Ibu,” kata si bungsu kepada wanita tua itu. Diambilnya air yang paling jernih dan bersih, lalu diberikannya kepada wanita tua itu dengan menggunakan teko air agar dapat dengan mudah diminum.

Wanita tua yang sebenarnya adalah seorang peri itu berkata, “Kamu sangat sopan dan suka menolong, jadi akan kuberikan keajaiban untukmu. Setiap kata yang kamu ucapkan akan mengeluarkan sekuntum bunga, batu permata, dan mutiara dari mulutmu.”

Si bungsu tidak mengerti maksud wanita tua itu. Ia hanya tersenyum lalu berpamitan dan berjalan pulang.

Sesampainya di rumah, ibunya memarahinya karena terlalu lama membawakan air. Si bungsu meminta maaf kepada ibunya dan menceritakan kejadian yang dia alami, bahwa ia menolong seorang wanita tua yang kemudian memberinya keajaiban. Selama si bungsu bercerita, bunga-bunga, batu permata dan mutiara terus berjatuhan keluar dari mulutnya.

“Kalau begitu, aku harus menyuruh kakakmu pergi kesana.” Kata sang ibu. Lalu disuruhnya si sulung untuk pergi ke mata air dan apabila bertemu dengan seorang wanita tua, disuruhnya si sulung untuk bersikap baik dan menolongnya.

Si sulung yang malas tidak mau pergi berjalan kaki sejauh itu. Namun dengan tegas, ibunya menyuruhnya pergi, “Pergi kesana sekarang juga!!!” sambil menyelipkan wadah air dari perak ke dalam tas si sulung.

Sambil menggerutu si sulung berjalan menuju mata air. Saat tiba disana, ia berjumpa dengan wanita tua itu. Tapi kali ini wanita tua itu berpakaian indah bagaikan seorang ratu. Lalu, wanita tua itu meminta minum kepada si sulung.

“Apa kamu kira aku datang sejauh ini hanya untuk memberimu minum? Dan jangan pikir kamu bisa minum dari wadah air perakku. Kalau mau minum ambil saja sendiri di mata air itu!” kata si sulung kepada wanita tua itu.

Karena sikapnya yang kasar, wanita tua yang sebenarnya seorang peri itu mengutuknya. “Untuk setiap kata yang kamu ucapkan, seekor katak atau ular akan berjatuhan keluar dari mulutmu!”

Saat tiba di rumah, si sulung menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya. Saat bercerita, beberapa ekor ular dan katak berjatuhan keluar dari mulutnya.

“Astaga!”, teriak ibunya jijik. “Ini semua gara-gara adikmu. Di mana dia?”

Sang ibu lalu pergi mencari si bungsu. Karena ketakutan, si bungsu lalu lari dan bersembunyi di hutan.

Seorang Pangeran yang sedang berburu terkejut melihat seorang gadis yang sedang menangis sendirian di hutan. Ketika Pangeran itu bertanya, dengan tersedu-sedu si bungsu menceritakan apa yang terjadi. Saat bercerita, bunga-bunga, mutiara serta batu permata pun berjatuhan dari mulutnya.

Pangeran jatuh hati kepada gadis yang baik itu. Dan Pangeran juga tahu ayahnya tidak akan keberatan mendapatkan seorang menantu yang baik seperti itu, apalagi dengan mutiara serta batu permata yang terus dihasilkannya. Maka Pangeran pun membawa si bungsu ke istana, lalu mereka menikah dan hidup berbahagia.

Sementara itu di rumah, sikap si sulung menjadi semakin memuakkan, dan ia pun terus menerus mengeluarkan katak serta ular dari mulutnya, sampai-sampai ibunya pun mengusirnya dari rumah.

Karena ia tidak tahu harus kemana dan tidak ada seorangpun yang mau menampungnya karena sifatnya yang buruk, ditambah dengan katak-katak dan ular-ular yang terus keluar dari mulutnya, maka akhirnya ia pun tinggal sendirian di tengah hutan.    

A Child Called "It" - Dave Pelzer

5 Maret 1973, Daly City, California—Aku terlambat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan mencuci peralatan makan secepatnya, kalau tidak aku tidak dapat jatah sarapan; dan karena semalam aku tidak makan, jadi sekarang aku harus makan sesuatu. Ibu mondar-mandir sambil berteriak kepada saudara-saudara lelakiku. Aku bisa mendengar langkahlangkahnya yang berat menuju dapur. Cepat-cepat aku membilas lagi. Tapi terlambat. Ibu menarikku dengan kasar. 

Plak! Ibu memukul mukaku, dan aku terjatuh. Aku tahu lebih baik aku menjatuhkan diri daripada tetap berdiri dan dipukul lagi. Kalau aku tetap berdiri, Ibu akan menganggap itu sebagai sikap membantah, dan itu artinya beberapa pukulan lagi atau, yang paling kutakutkan, tidak diberi makan. Baru kemudian aku berdiri pelan-pelan sambil memiringkan mukaku agar tidak menatapnya, sementara Ibu berteriak di telingaku. 

Aku menunjukkan sikap ketakutan, sambil terus-menerus mengangguk seakan memahami arti ancaman-ancaman yang keluar dari mulutnya. "Ya, ya," kataku dalam hati, "asalkan aku boleh makan. Pukul aku lagi, asalkan aku dapat makanan karena aku harus makan." Satu pukulan lagi menyentakkan kepalaku hingga membentur pinggiran dinding. Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak tahan menerima cemoohan Ibu. 

Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkahlangkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah jauh dari dapur, dan aku pun menarik napas lega. Sandiwaraku berhasil. Ibu boleh memukuliku sesuka hatinya, tapi aku tak membiarkannya mengalahkan tekadku untuk bertahan hidup. 

Kuselesaikan mencuci peralatan makan, yang menjadi salah satu tugasku sehari-hari. Sebagai upahnya, aku mendapat sarapan sisa-sisa yang ada di mangkuk sereal salah satu kakakku. Pagi ini sereal Lucky Charms. Cuma ada sedikit sisa sereal dan susu di mangkuk itu, tapi aku harus cepat-cepat menghabiskannya sebelum Ibu berubah pikiran. Itu pernah terjadi. Ibu senang sekali menggunakan makanan Sebagai senjata. Dia senang cepat-cepat membuang sisa makanan ke dalam keranjang sampah, sebab dia tahu aku akan mengais-ngaisnya untuk dimakan. 

Ibu tahu hampir semua siasatku. Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam station wagon tua kami. Karena banyak sekali tugas rumah yang harus kuselesaikan, aku jadi terburu-buru berangkat sekolah. Biasanya aku lari ke sekolah, dan sampai di sana persis pelajaran dimulai sehingga aku tak sempat mencuri makanan dari bekal makan siang anak-anak lain. 

Sampai di depan sekolah, Ibu membiarkan kakak sulungku langsung masuk ke sekolah, tapi aku ditahannya dulu untuk mendengarkan rencananya besok. Dia mau mengirim aku ke rumah kakaknya. Dia bilang Paman Dan akan "mengasuhku". Itu ancaman, jadi aku pura-pura takut. Aku tahu betul pamanku itu tidak akan memperlakukan aku seperti Ibu memperlakukan aku, meskipun pamanku itu memang galak. 

Station wagon belum betul-betul berhenti, tapi aku sudah menghambur keluar. Ibu berteriak, memanggilku kembali. Aku lupa membawa kotak kusam tempat bekal makan siangku, yang sudah tiga tahun ini menunya itu-itu juga, dua tangkup roti isi selai kacang ditambah beberapa potong wortel. Aku ingin langsung berlari lagi, tapi Ibu berkata, "Bilang pada mereka... Bilang pada mereka kau terantuk pintu" . Lalu ia mengatakan sesuatu yang amat jarang ia katakan padaku, "Semoga harimumenyenangkan". Kulihat kedua matanya yang merah. Ia masih agak mabuk, sisa semalam. Dulu matanya bagus, rambutnya sekarang acak-acakan tak terurus. Ia tidak memakai riasan wajah, seperti biasanya. Ia tahu ia gemuk. Ya, begitulah penampilan Ibu. 

Karena terlambat banyak, aku harus melapor ke ruang tata-usaha. Ibu sekretaris di ruang itu menyambutku dengan senyuman. Tak lama kemudian, perawat sekolah muncul dan mengajakku masuk ke ruang kerjanya, lalu kami melakukan hal-hal yang sudah biasa kami lakukan. Pertama, ia memeriksa muka dan lenganku. 

"Bagian atas matamu kenapa?" ia bertanya. 

Agak canggung, aku menunduk sambil menjawab, "Oh, itu terbentur pintu... Tidak sengaja". 

Perawat sekolah itu tersenyum lagi, lalu mengambil clipboard dari atas lemari arsip. Ia membalik selembar atau dua lembar kertas, lalu menunduk dan menunjukkan padaku tulisan di halaman kertas itu. "Coba lihat ini", katanya. "Kau mengatakan hal yang sama hari Senin kemarin. Kau ingat?" 

Cepat-cepat aku ganti ceritaku, "Aku sedang main bisbol, lalu pemukulnya mengenai aku. Tidak sengaja, kok". Tak sengaja. Aku harus selalu berkata begitu. Tapi perawat sekolah itu rupanya lebih tahu. Dengan caranya, ia selalu berhasil membuatku mengatakan kejadian sebenarnya. 

Pada akhirnya aku selalu mengaku sambil terisak, meskipun aku selalu merasa harus melindungi Ibu. Perawat sekolah itu berkata bahwa aku akan baik-baik saja, lalu menyuruhku membuka baju. Ini sudah kami lakukan sejak tahun lalu, jadi sekarang aku menurut saja. 

Lubang-lubang di baju lengan panjangku lebih banyak daripada lubang-lubang di keju Swis. Selama dua tahun ini itulah satu-satunya baju yang kupakai. Ibu menyuruhku memakai baju itu setiap hari. Begitulah caranya menghinaaku. Celana yang kupakai sama jeleknya. Sepatuku berlubang di bagian ujung depan, sampai-sampai aku bisa mengeluarkan dan menggerak-gerakkan jempol kakiku dari salah satu lubang-lubang itu. Lalu aku berdiri hanya dengan mengenakan pakaian dalam, sementara perawat sekolah mencatat luka dan memar di sekujur tubuhku pada clipboard-nya. Ia menghitung sejumlah tanda seperti garis miring di wajahku dengan saksama, jangan-jangan ada yang terlewat dan belum ia catat. Ia teliti betul. 

( Password : Novel I-One )

Angin Dari Gunung - AA Navis


Sejauh mataku memandang, sejauh aku memikir, tak sebuah jua pun mengada. Semuanya mengabur, seperti semua tak pernah ada. Tapi angin dari gunung itu berembus juga. Dan seperti angin itu juga semuanya lewat tiada berkesan. Dan aku merasa diriku tiada. 


Dan dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak juga. Kau berbahagia tentu."
"Aku sendiri sedang bertanya."
"Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."
Dan dia diam lagi. Kami diam. Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan kemudian dia berkata lagi. "Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.
"Kau cinta pada istrimu tentu."
"Anakku sudah dua."
"Ya. Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan kau tentu bahagia."

Dia berhenti lagi. Lalang yang ditiup angin bergelombang menuju kami. Lalu angin menerpa mukaku lagi. Dan aku merasa ketiadaanku pula. Angin pergi.
"Kau ingat, Har?"
"Apa?" kutanya dia dengan gaya suaranya.
"Sembilan tahun yang lalu."
"Ya. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama lampaunya."
"Ya. Sudah lama. Aku tak pernah mau mengingatnya. Tapi kini aku ingat lagi." Dia diam lagi. Dan memandang jauh ke arah gunung itu. "Ketika itu seperti macam sekarang. Kita duduk seperti ini juga. Tapi tempatnya bukan di sini. Aku masih ingat, sekali kau menggenggam jariku erat sekali. Aku biarkan dia tergenggam. Dan dalam tekanan genggamanmu, aku tahu kau mau bicara. Dan aku menunggunya. Tapi kau tak berkata apa-apa."
"Masa itu, masa kanak-kanak kita," kataku. Tapi cepat kemudian aku jadi menyesal telah mengatakannya.
"Ya," katanya dengan suara tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat? Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar kau menggenggamnya kembali. Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi. Tak ada gunanya menangisi masa lampau. Buat apa?"

Aku jadi sentimental dan hatiku berteriak, meneriakkan seribu kenangan yang datang mengharu biru. Kucoba membuang segala kesenduan, tapi aku menjadi tambah tenggelam olehnya. Dan angin meniup lebih syahdu terasa. Serasa ada nyanyian iba besertanya.

"Tak ada gunanya," katanya lama kemudian. Dan aku menunggu dia bicara lagi. Tapi itu saja yang dikatakannya. Tak diteruskannya. Kedua tangannya yang buntung itu diacungkannya ke depan, disilangkan, lalu digesek-gesekannya. Melihat itu, aku mau tersedu. Tersedu seperti ketika pusara Ibu mau ditimbuni.

"Kau punya anak, punya istri. Dari itu kau punya pegangan hidup, punya tujuan minimal. Tapi yang terpenting kau punya tangan. Hingga kau dapat mencapai apa saja yang kau maui. Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai lakilaki, sebagai manusia juga, seperti yang kita omongkan dulu, kau dapat mencapai sesuatu yang kauinginkan. Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan. Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini."

Dan tangan itu diturunkannya lagi. Dia memandang lebih jauh melampaui balik gunung dari mana angin meniup. Kala itu aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sebuah ucapan yang indah dan memberi semangat seperti dulu sering kuucapkan untuk anak buahku di front Barat. Tapi bagaimana aku dapat mengatakan, kalau semangat itu sendiri telah kulemparkan jauh-jauh pada suatu ketika.

"Dulu aku cantik juga, bukan?" katanya pula. "Bahkan tercantik di front Barat itu. Aku tahu semua orang mau menarik perhatianku. Semuanya mau mati-matian dan bekerja berat di depanku. Semuanya mau berjuang membunuh musuh demi mendekatiku. Tapi keitika musuh datang, aku kebetulan tak ada disana, mereka habis lari kehilangan keberanian.

Kalau pemimpin yang datang di front, di waktu tak ada perempuan, aku menjadi sibuk. Aku diminta mengatur tempat tidur mereka. Dan ketika mereka mau pergi, dicarinya aku dulu. Dijabatnya tanganku erat-erat. Dan di ucapkannya kata-kata yang indah berisi keharuan. ‘Kami atas nama pemerintah dan seluruh pemimpin perjuangan revolusi kemerdekaan mengucapkan terima kasih kepada Saudari. Kami sangat merasa bangga dengan adanya patriot wanita seperti Saudari, yang selamanya menyediakan waktu untuk memberi semangat kepada prajurit kita. Kami juga yakin, kalau Saudari tak di sini, tentu front ini sudah lama di duduki musuh.’

Begitulah. Kalau ada orang sakit, aku juga yang merawatnya. Dan di waktu malam-malam yang damai, mereka minta hiburan. Aku bernyanyi. Mereka memetik gitar. Dan mereka dapat melupakan segala hal-hal yang menekan. Dan waktu itu, aku sering merasa jumlah tanganku yang masih kurang. Aku mau tanganku lebih banyak lagi. Kalau boleh sebanyak jari ini.

Tapi sekali pernah juga aku berpikir-pikir, bahwa hidup seperti itu tidaklah akan selamanya berlangsung. Suatu masa kelak akan berakhir juga. Dan kalau perang sudah selesai, aku ingin bersekolah lagi. Sekolah apa? aku tak tahu. Yang aku tahu Cuma, tambah banyak ilmu, tambah banyak yang dapat diperbuat. Ya, itulah semua."

Satu demi satu ucapannya bercekauan dalam hatiku. Dan kini kumandangnya lebih menyayat terasa, lebih menusuk. Aku jadi tak berani mengangkat kepalaku. Makin lama kian terkulai keseluruhan adaku di dekatnya. 

Ikuti cerita selanjutnya Download Cerpen Angin Dari Gunung 
(Password : Novel I-One)


 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: