Loading

Ebook Fast Hypnosis

IDEOLOGI FAST HYPNOSIS 
Jaman boleh modern, tapi bukan berarti setiap penghuninya dapat memiliki pemikiran yang modern juga. Salah satu bukti yang paling mencolok belakangan ini adalah fenomena hipnotisme yang bisa ditemui di hampir setiap sudut kehidupan sehari-hari.

Ketika memulai pagi, tidak sulit untuk manusia Indonesia menemukan headline berita kejahatan bermodus hipnotisme di koran, radio, atau televisi. Lalu ketika pergi ke mall untuk makan siang, kemungkinan kita akan bertemu dengan poster / flier tentang seminar hipnosis di toko buku dan countercounter sejenisnya. Ketika menjelang sore, sang boss atau dosen mungkin akan berbicara tentang perlunya mempelajari self-hypnosis untuk meningkatkan performa bekerja dan belajar. Saat malam hari, seseorang juga mungkin bertemu dengan tayangan entertainment seputar hipnotisme, mulai dari yang bersifat reality show sampai ke sinetron dan talkshow.
 
Hipnotisme merupakan gelombang tren berwajah dua yang semakin menjangkiti masyarakat Indonesia baru-baru ini. Wajah pertamanya berbicara tentang peningkatan intelektualisme massa tentang hal-hal yang bersifat teknologi dan ilmu pengetahuan. Sementara wajah keduanya adalah mesin bisnis yang kuat; setiap hari terus bertambah jumlah pemain baru -mulai dari kalangan hipnoterapis profesional hingga hipnotis karbitan haus kekuasaan yang ingin mencicip keuntungan tanpa memberikan kualitas seimbang- memunculkan produk kursus hipnotisme terhebat, terbaru, dst dengan semangat kapitalisme.

Garis bawahi Virus Pembodohan. Garis bawahi juga Hipnotis Karbitan Haus Kekuasaan. Lalu garis bawahi juga Kapitalisme. Itulah formula situasi yang mengusik saya selama bertahun-tahun. Sampai detik ini, masyarakat awam Indonesia masih terpuruk dengan pengertian hipnotis yang bersifat mistik dan ngawur. Mereka berpikir bahwa hipnosis merupakan sebuah ilmu sakti yang didapat lewat transfer energi atau meditasi gaib. Jika formula tersebut ditambah dengan Media Massa Yang Payah yang terus mendengungkan berita kriminalitas hipnotisme, maka kita memiliki fondasi yang kuat untuk terus memastikan bangsa ini terus hidup dalam keterbelakangan mental.

Dan kalaupun ada orang-orang yang bisa meluruskan pengetahuan tentang hipnosis, mereka melakukannya hanya untuk orang-orang dari kalangan terbatas, yakni mereka yang memiliki akses finansial berkecukupan. Para instruktur dan lembaga hipnoterapi ini memiliki otoritas untuk membagikan pengetahuan yang berharga kepada sebanyak mungkin orang. Tapi bukan saja mereka tidak peduli dengan terus menagih biaya yang besar, mereka juga mempersulit konsep-konsep hipnosis sehingga terdengar lebih kompleks dan mewah daripada yang seharusnya. Mereka harus merampok harta kita dahulu sebelum bersedia mengajarkan konsep hipnosis yang benar dan bertanggungjawab.
 
FAST HYPNOSIS adalah usaha sederhana yang saya lakukan untuk menjawab kealpaan pengetahuan tersebut. Selama bertahun-tahun menggeluti dunia psikologi manusia, mempelajari ratusan artikel, buku, dan video, mengikuti berbagai pelatihan, serta bereksperimen dengan variasi materi yang ada, dia semakin diyakinkan bahwa studi hipnosis telah bergeser dari esensinya yang utama. 
Hipnosis adalah sebuah seni kehidupan yang sudah berkembang selama ribuan tahun, dapat ditemui pada hampir setiap lapisan kebudayaan manusia di dunia. Hipnosis dan seluruh kesederhanaan praktisnya adalah milik semua orang, bukan kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengeruk kapitalisme atasnya. 

Seusai mengikuti pelatihan ini, Anda layak menyebut diri sebagai FAST HYPNOSIS PRACTITIONER, serta membagikan pengetahuan dan melakukan aplikasinya dengan cara-cara yang praktis, mudah, dan terjangkau untuk semua orang.


( Password : Novel I-One )


Karunia Mutiara Cinta - Bois

Malam terlihat cerah, di depan gerbang sebuah rumah besar, dua orang pemuda tampak sedang berbicara dengan seorang pembantu yang bekerja di rumah itu.

"Selamat malam, Mbak. Kami temannya Lisa. Boleh kami bertemu dengannya?" pinta Bobby  perihal maksud kedatangannya.

"Betul, Mbak. Bukankah dia menginap di sini?" timpal Randy yang sudah tak sabar ingin berjumpa dengan kekasihnya.

"O... kalau begitu, tunggu sebentar ya!" pinta si pembantu seraya bergegas masuk. 

Tak lama kemudian, si pembantu sudah kembali dan mempersilakan keduanya menunggu di beranda. Saat itu Randy langsung duduk seraya menyalakan sebatang rokok, sedangkan Bobby masih berdiri—memperhatikan sebuah patung aneh yang ada di situ. 
 
Beberapa menit kemudian, Lisa sudah keluar bersama Nina—sahabatnya yang tinggal di rumah besar itu. Lisa yang mengetahui maksud kedatangan Randy segera mengajaknya menuju ke kursi taman, sedangkan Bobby dan Nina menunggu di beranda. Sambil menunggu, mereka berbincang-bincang, mengingat semua kenangan manis yang mereka alami.
 
Maklumlah, sudah lama sekali mereka tidak bertemu, dan terakhir bertemu ketika mereka masih anak-anak, saat itu Nina dan keluarganya pergi keluar negeri untuk waktu yang cukup lama.
 
"Nin... kau masih ingat saat kita main pengantinpengantinan?" kata Bobby membuka pembicaraan sambil memberanikan diri memandang wajah Nina yang sedang tertunduk, sungguh tampak manis dan mempesona. Dalam hati, pemuda itu merasa takjub,

"Nin.. Aku tidak menyangka, kalau sekarang kau sudah menjadi gadis dewasa," katanya membatin.
 
Namun belum sempat pemuda itu menarik pandangan, tiba-tiba Nina sudah menatapnya. Sebuah tatapan yang dirasakan Bobby begitu hangat dan membuat jantungnya kian berdebar kencang. Lantas dengan segera keduanya mengalihkan pandangan sambil meninggalkan kesan di benak masing-masing, yaitu perasaan bahagia yang begitu mendalam. Saat itu Bobby mengalihkan pandangannya ke arah taman, sedangkan Nina tampak tertunduk malu.
 
Sementara itu di kursi taman, Randy dan Lisa masih membicarakan masalah mereka. Keduanya tampak saling berpandangan dengan tangan saling berpegangan.

"Lis... Benarkah kau mau memaafkanku?" tanya Randy memastikan.

"Iya, Kak. Aku menyadari kalau itu memang bukan salahmu."
"Terima kasih, Lis," ucap Randy seraya meremas tangan Lisa dengan lembut.

"Janji ya, kau tidak akan memberi kesempatan padanya untuk menemuimu lagi !" pinta Lisa seraya membalas remasan tangan pemuda itu. 
 
Randy mengangguk, kemudian dia segera mencium kening Lisa dengan penuh kasih sayang. Setelah pertemuan malam itu, Bobby sering berkunjung ke rumah Nina, hingga akhirnya mereka saling menyatakan cinta. Malam minggu pertama terasa begitu indah, bagaikan bunga warna-warni yang senantiasa harum mewangi. Tiada perasaan yang terucap selain cinta dan sayang, dan tiada perasaan yang terungkap selain peluk dan cium.

Bahkan keduanya sudah berjanji untuk saling menyayangi dan mencintai dengan sepenuh jiwa. Dan di setiap malam Minggu, mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan saling berbagi.
 
"Nin… Aku sangat mencintaimu. Cintaku padamu setinggi langit dan sedalam lautan," ucap Bobby seraya membelai rambut Nina yang panjang sebahu.

"Begitu pula aku, Kak. Setiap yang ada pada dirimu merupakan bagian dari diriku, rasanya... aku ingin selalu berada di sisimu," ucap Nina seraya merapat di pelukan pemuda itu.

"Nin ! Bolehkah aku menciummu sebagai ungkapan rasa cintaku!" pinta Bobby seraya menatap mata kekasihnya dengan hangat.

Nina tidak menjawab, saat itu dia terus menatap Bobby dengan tatapan penuh cinta. Lalu dengan perlahan kedua matanya tampak terpejam—tanda yang biasa diutarakan atas kesediaannya dicium oleh Bobby. Kemudian dengan perasaan cinta yang bergelora, keduanya tampak berciuman dengan mesranya. Sungguh saat itu keduanya sudah terjerat oleh cinta yang membutakan, sehingga apa yang mereka lakukan itu seakan ungkapan saling mengasihi, padahal apa yang mereka lakukan itu justru saling meracuni hati. Sementara itu di sebuah taman yang berada di tengah kota, Randy tampak sedang mengejar Lisa yang berlari sambil mengucurkan air mata. 
 
"Lis! Lisa…! Tunggu Lis! Mengapa kau tidak mau mengerti? Apa lagi yang harus kujelaskan padamu?" teriak Randy dengan nafas terengah-engah.

Lisa tidak menghiraukan teriakan itu, dia terus berlari dan berlari—berusaha menghindar dari kejaran pemuda yang sudah begitu dibencinya. Ketika sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba gadis itu menghentikan larinya, kemudian melangkah menghampiri Randy. "Kak, sepertinya aku memang harus bicara padamu," katanya kepada Randy yang kini sudah berdiri dihadapannya.
 
"Syukurlah, Lis…! Akhirnya kau mau mengerti juga," kata Randy dengan mata berbinar.

"Ia, Kak. Kini aku telah mengerti dan menyadari kekeliruanku," kata Lisa seraya menghapus air matanya. "Ke-ketahuilah, Kak! Sesungguhnya kita memang sudah tidak cocok dan tak mungkin bisa bersatu lagi," sambungnya kemudian dengan kedua mata yang menatap Randy dengan penuh kebencian.
 
"Ini! Kukembalikan tanda cinta darimu, dan jangan pernah engkau menemuiku lagi!" larangnya seraya melemparkan kalung dan cincin yang pernah diberikan padanya sebagai tanda kesungguhan cinta Randy, kemudian gadis itu segera berpaling dan berlari meninggalkan pemuda itu.
 
Pada saat yang sama, Randy hanya terpaku memperhatikan kepergian Lisa, di dadanya bergejolak perasaan sedih yang begitu mendalam, terasa sesak dan menyakitkan.


( Password : Novel I-One )


Misteri Kehadiran Arwah - Bois

Branden terpaku melihat istrinya. Dilihatnya wanita itu tampak begitu cantik. Rambutnya yang sepinggang dibiarkannya tergerai. Gaun cokelat yang dikenakannya pun tampak begitu serasi. Kini Wanita itu duduk di sebelah Branden seraya meletakkan koper besar yang dibawanya. Koper itu diletakkan di lantai teras, bersebelahan dengan tempat duduknya.

"Kau cantik sekali, Sayang..." puji Branden seraya mengecup kening istrinya dengan mesra.
"Terima kasih, Bran!" ucap Yana seraya tersenyum.
"O ya, pukul berapa bismu akan berangkat?" tanya Branden.
"Pukul 10.30 WIB," jawab Yana.

Branden melirik arlojinya, dilihatnya jam baru menunjukkan pukul 9.00 WIB. "Ngomong-ngomong, kapan Nak Jodi akan menjemputmu?" tanyanya kemudian.
 "Sebentar lagi," jawab Yana singkat.

Pada saat itu, putri mereka yang bernama Rani Dewina datang membawa tiga cangkir teh dan langsung meletakkannya di atas meja. Bersamaan dengan itu, sebuah sedan biru metallic tampak memasuki pekarangan dan berhenti persis di muka rumah. Pengemudinya yang bertubuh tegap terlihat turun seraya tersenyum kepada keluarga Branden.

Dialah Jodi Darmawan, pemuda tampan yang akan menjemput Yana. Sejenak pemuda itu melihat ke sekelilingnya—memperhatikan pekarangan yang tampak begitu asri, lalu dengan segera pemuda itu menghampiri mereka. "Selamat pagi, Pak, Bu!" ucapnya seraya berjabatan tangan dengan keduanya.
 
"Selamat pagi, Nak Jodi! Mari, Nak! Silakan duduk dulu!" tawar Branden ramah.
"Iya, Nak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar. Masih ada cukup waktu kok," timpal Yana seraya memandang pemuda itu sambil tersenyum tipis, kemudian pandangannya segera beralih ke arah Rani.
"Nak, sana ambilkan minum!" pintanya kepada gadis itu.

Rani yang sejak tadi berdiri di samping ibunya langsung bergegas ke dapur. Sementara itu, Jodi, Branden, dan Yana sudah duduk kembali. Kini mereka tengah berbincang-bincang, mengisi suasana ceria yang tampak menyelimuti keluarga itu. Beberapa menit kemudian, Rani sudah kembali. Setelah menyuguhkan minuman yang dibawanya, dia pun ikut berbincang-bincang.
 
Tak terasa 30 menit telah berlalu. "Wah, sudah pukul 9.30. Ayo, Nak Jodi! Sudah saatnya kita berangkat," ajak Yana tiba-tiba.

Jodi melirik arlojinya, "Iya benar. Kalau begitu... mari, Bu!" ucap Jodi seraya beranjak bangun dan bergegas membawa koper Yana ke mobil. Pada saat yang sama, Yana langsung berpamitan dengan suami dan putrinya, kemudian menyusul Jodi dan duduk di jok belakang. Bersamaan dengan itu, Branden dan putrinya tampak melambaikan tangan—melepas kepergian orang yang begitu mereka cintai. Saat itu, Yana pun segera membalas lambaian mereka sambil tersenyum lebar.

Kini Jodi dan Yana sedang dalam perjalanan, keduanya berbincang-bincang dengan begitu
akrabnya. Membicarakan soal kuliah Jodi dan mengenai hubungannya dengan Rani. Lama mereka berbincang-bincang, hingga akhirnya mereka tiba di terminal Lebak Bulus.

Kini mereka sedang melangkah ke ruang tunggu terminal. Setibanya di tempat itu, tiba-tiba Yana menghentikan langkahnya. "Nak Jodi, kau tunggu di sini ya! Ibu mau ke toilet sebentar," pamitnya kepada pemuda itu.

Jodi mengangguk, setelah itu dia duduk di kursi yang berada dekat tiang penyangga.
Beberapa menit kemudian, Yana sudah kembali, saat itu dia melihat Jodi sedang berbicara melalui HPnya.
 
Ketika Yana hendak menemuinya, tiba-tiba dia menangkap pembicaraan yang membuatnya sangat penasaran. Yana pun tidak segera menemui pemuda itu, dia justru berdiri di balik tiang penyangga untuk mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut. 

Lama juga Yana mendengarkan percakapan Jodi yang bicara lewat HP, hingga akhirnya...
"Ya… iya… terus...? ...baiklah kalau begitu! Aku janji, besok pagi aku pasti pulang ke Tokyo. Sudah ya! Bye…" ucap Jodi seraya memutuskan  sambungan dan segera menyimpan HP-nya.
 
Sementara itu, Yana masih berdiri di tempatnya, dalam hati dia terus bertanya-tanya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia bergegas menemui pemuda itu.

"Maaf ya, Nak Jodi! Ibu agak lama," ucapnya kemudian.
"Tidak apa-apa kok, Bu. Mari...!" ajak Jodi seraya mengangkat koper yang tadi diletakkannya.
 
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di bis yang akan mengantar Yana.
"Terima kasih ya, Nak. Kau sudah mau mengantarkan Ibu," ucap Yana seraya tersenyum ramah.



( Password : Novel I-One )
 
Subscribe to Novel I-One

Enter your email address: